BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kelembagaan hukum Islam di
Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keinginan masyarakat Indonesia
untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis yang isinya merupakan wujud
dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat, baik itu
hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan agama yang ada.
Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan
Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum
perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan
disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Keberhasilan yang dimulai dengan dibentuknya
UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses 24 tahun sejak mulai
perancangan,[1]
disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang secara resmi mengakui eksistensi
Peradilan Agama serta disusul oleh perundang-undangan lainnya. Namun, secara
keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu belum bisa
memuaskan kebutuhan masyarakat. Hal menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di
lingkungan peradilan ini. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya
sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991,
yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
Melihat diatas maka dalam makalah
ini, kami akan mencoba untuk memaparkan tentang produk hukum islam mengenai
pengadilan agama dan hukum keluarga dalam perundang-undangan di Indonesia.
1.1 Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang
kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut
1.
Apa produk hukum islam mengenai
peradilan agama dalam perundang-undangan di indonesia?
2.
Apa produk hukum islam mengenai
hukum keluarga dalam perundang-undang di indonesia?
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan ini adalah:
1.
Mendeskripsikan produk hukum
islam mengenai peradilan agama dalam perundang-undangan di indonesia.
2.
Mendeskripsikan produk hukum
islam mengenai hukum keluarga dalam perundang-undangan di indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Produk Hukum Islam Mengenai Peradilan Agama Dalam Perundang-Undangan Di
Indonesia
Dua
tipe pemimpin Islam yaitu
ulama
dan pejabat agama, memainkan peranan yang sangat penting dalam proses
Islamisasi di Indonesia. Mereka mengaktualisasikan kepemimpinannya melalui
pranata politik. Ketika Islam menjadi kekuatan politik, yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Islam yang memerintah, terjadi suatu
hubungan simbiotik ulama-ulama dan pejabat agama yang menjadi pusat kekuatan
Islam.[2]
Lembaga
Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan keyakinana umat Islam
jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Usaha Belanda menghapuskan lembaga
tersebut tidak berhasil, dan karenanya, wajar apabila umat Islam sangat
mendambakan segera keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama sejak Indonesia memperoleh
kemerdekaan.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah
mengakui Peradilan Agama setara dengan peradilan lainnya. Ini terdapat pada
pasal 10 ayat 2, yaitu: “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum, (b)
Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara”.
Hal ini membuat umat Islam semangat untuk membuat Undang-Undang yang mengatur
Peradilan Agama.
Makna
kekuasaan kehakiman sama artinya dan tujuannya dengan kekuasaan peradilan atau judicial power yakni
kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas pokoknya
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya.[3]
Usaha
untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai oleh
Departemen Agama sejak tahun 1961, yaitu sejak dibentuknya sebuah panitia
dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961. Dalam masa 28 tahun sejarah
pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu selama 27 tahun
(1961-1988) dan pembahasannya di DPR Republik Indonesia selama satu tahun,
yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut melalui amanat Presiden Nomor
R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR
Republik Indonesia guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui dalam sidang
pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989.
Dalam
kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat dibagi kedalam tiga periode,
yaitu:[4]
1.
Tahun (1961-1971), dalam periode ini
kegiatan terbatas dalam lingkungan intern Departemen Agama sendiri dan belum
dilakukan langkah-langkah keluar;
2.
Tahun (1971-1981), dalam periode ini
sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama, namun belum diperoleh
sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui gagasan dipersiapkannya
RUU PA;
3.
Tahun (1981-1988), dalam periode ini
gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh Departemen Agama
langsung mendapat persetujuan dari instansi terkait yang lain. Persetujuan
tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung pada tahun 1981 dan kemudian oleh
Departemen Kehakiman pada tahun 1982, yaitu melalui Keputusan Menteri Kehakiman
tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim
pembahas dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk sebagai ketua tim adalah
Prof. Dr. Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama
Mahkamah Agung saat itu).
Dengan
keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun 1982 yang berisi keputusan untuk
membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Peradilan
Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai peradilan ini mulai ditanggapi.
Dengan menunjuk Prof. Dr. Bustanul Arifin sebagai ketua tim pembahas RUU. Untuk
menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam negara Republik Indonesia,
pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden Republik Indonesia menyampaikan RUU
Peradilan Agama kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai
Undang-Undang menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang peradilan
agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dan Undang-Undang tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.[5]
Setelah
dibicarakan secara mendalam, dibahas dan diuji dengan berbagai wawasan
perundang-undangan
yang berlaku di negara kita, akhirnya pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989,
RUU Peradilan Agama itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Peradilan Agama. Lima belas hari kemudian, tanggal 29
Desember 1989, Undang-Undang tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 oleh Presiden RI, diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri
Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembar Negara Nomor 49 Tahun 1989.
2.2
Produk Hukum Islam Mengenai Hukum Keluarga Dalam Perundang-Undangan Di
Indonesia
Di Indonesia persoalan
perkawinan di samping dapat dijumpai dalam kitab-kitab fiqh juga telah diatur
dalam perundang-undang perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974[6] dan Kompilasi Hukum Islam
Indonesia.[7]
·
Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang
perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari
kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang didominasi pemahaman fikih klasik
atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[8] kemudian mereka
merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi permulaan lahirnya Undang-Undang
Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres
perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang
keburukan-keburukan[9]
yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[10] Kemudian hal tersebut
juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).
Kemudian pada akhir tahun 1950
dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober
1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan
Rujuk bagi umat Islam yang diketuai Mr.
Teuku Muhammad Hasan. Sementara itu berbagai
organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat
mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang
masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja
Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konfrensi Badan Penasihat Perkawinan,
Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan
Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).[11]
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang
Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso
Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan
RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian
DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke
pemerintah. Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang
perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu
tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya
undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita
Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan
tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah
Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972
salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan
kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan
Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil
bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[12]
Akhirnya, setelah bekerja keras,
pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan
No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru
kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga)
pasal. RUU ini
mempunyai tiga tujuan. Pertama,
memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum
adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum
wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang
sesuai dengan tuntutan zaman.[13]
Keterangan Pemerintah tentang
Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada
tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan
oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari
Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu,
banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut
disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU
tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.[14]
Kemudian pada tanggal 17-18
September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU
tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada
tanggal 27 September 1973.[15] Pada intinya
pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait
dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk
memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara
fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai
suatu kesepakatan antara lain:[16]
1. Hukum agama Islam dalam
perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2. Sebagai konsekuensi dari poin
pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan
tidak akan diadakan perubahan.
3.
Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan
dengan undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR segera akan
dihilangkan.
Adapun hasil akhir undang-undang
perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi
dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[17]
·
Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Bustanul Arifin adalah seorang
tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia.
Gagasan-gagasan ini didadasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut :
1.
Untuk
berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan
dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.
Persepsi
yang tidak seragam tentang syari’ah akan
menyebabkan hal-hal:
a.
Ketidak
seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam,
b.
Tidak
mendapat kejelasan bagaimana menjalankan hukum Islam, dan
c.
Akibat
kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang
tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.[18]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati
dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua
Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bushtanul
dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan
yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI,[19]
yang ditindak lanjuti dengan keluarnya intruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada
Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku
I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentangPerwakafan. Inpres
tersebut ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22
Juli 1991.
Dengan keluarnya Inpres dan SK
tersebut menurut Abdul Gani Abdullah sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu
dicatat:[20]
1.
Perintah
menyebarluaskan KHI tidak lain adalah kewajiban masyarakat Islam untuk mengfungsikan
ajaranIslam sepanjang mengenai normatif sebagai hukum yang harus hidup dalam masyrakat.
2.
Rumusan
hukum Islam dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda dari keberlakuan hukum
Islam yang ditunjuk oleh Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
UU Tahun 1989 tentang segi-segi HukumFormalnya.
3.
Menunjuk
secara tegas wilayah keberlakuan KHI dengan sebutan Instansi Pemerintah dan masyarakat
yang memerlukannya, dalam kedudukan sebagai pedoman penyelesaian masalah di
tiga bidang hukum dalam KHI.
Kemunculan KHI di Indonesia
dapat dicatat sebagai sebuah perstasi besar yang dicapai umat Islam. Menurut
Yahya Harahap, KHI diharapkan dapat:
1.
Melengkapi
Pilar Peradilan Agama.
2.
Menyamakan
persepsi penerapan Hukum.
3.
Mempercepat
proses taqrib bainal ummah.
4.
Menyingkirkan
paham private Affair.[21]
Setidaknya dengan adanya KHI
itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan
Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama
adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat
Islam Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah
diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi
bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat
Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas,maka
dapat disimpulkan:
· Produk peradilan agama dalam perundang-undangan di indonesia.
Setelah dibicarakan secara
mendalam, dibahas dan diuji dengan berbagai wawasan perundang-undangan yang berlaku di
negara kita, akhirnya pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, RUU Peradilan
Agama itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Peradilan Agama. Lima belas hari kemudian, tanggal 29 Desember 1989,
Undang-Undang tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
oleh Presiden RI, diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris
Negara dan dimuat dalam Lembar Negara Nomor 49 Tahun 1989.
· Produk hukum keluarga dalam perundang-undangan di indonesia.
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang
cukup panjang. Kurang lebih mengalami proses 24
tahun sejak mulai perancangan dan akhirnya berhasil membentuk UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Namun secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu
belum bisa memuaskan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut menimbulkan tidak
adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan. Kenyataan-kenyataan ini
mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil
disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan
oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
DAFTAR
PUSTAKA
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 1978. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. 1978. Hukum
Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang
Cansil, C.S.T. 1989. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Abdullah, Abdul Ghani. 1994. Peradilan Agama
Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V. Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI
S.
Praja, Juhaya.
1994. Hukum Islam di
Indonesia (pemikiran dan praktek). Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya
Harahap, M. Yahya. 1997. Kedudukan,
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini
Zarkasyi, Muchtar.
1997. Kerangka
Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989. Bandung:
Ulul Albab Press
Bisri,MS, Cik Hasan. 1998. Peradilan
Agama di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Halim, Abdul. 2002. Peradilam Agama dalam
Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers
Manan, Abdul. 2006. Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana
Hadikusuma, Hilman. 2006.
Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Kencana
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,1 993/1994. Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
Harahap, Yahya. 1991. Informasi Materi Kompilasi
Hukum Islam: Memotifikasikan Abstarksi Hukum Islam. Jakarta: Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Departemen Agama.
[1] Abdul Halim, Peradilam Agama dalam Politik
Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, cet. II, 2002),
h. 9
[2] Drs. Cik Hasan Bisri,MS, Peradilan Agama di
Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 126
[3] M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), cet.
Ke-3, h. 89
[4] Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis
Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), h.
305
[5] Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (pemikiran
dan praktek), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), h. 76.
[6] Undang-undang ini
merupakan undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam
perkawinan dan perceraian
[7] KHI memuat tiga buku
yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal
171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229)
[8] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989, cet. II), h. 224-225
[9] Keburukan-keburukan yang dimaksudkan yaitu antara
lain: perkawinan kanak-kanak (anak di bawh umur), kawin paksa, poligami, talak
sewenang-wenang dan lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon
perempuan Indonesia terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai
ketentuan hak dan kewajiban suami isteri disebabkan oleh ketentuan yang
mengatur bahwa; a. suami berhak menahan isteri untuk tetap di rumah; b. bahwa
isteri wajib patuh kepada suami; c. bahwa suami berhak memberikan pelajaran kepada
isteri; d. bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan seks suami.
[10] Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 9
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.4
[16] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), h. 24-25
[17] Yaitu undang-undang Perkawinan yang berlaku sampai
saat sekarang ini yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1974, dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019. lebih lanjut
lihat C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h.
222
[18] Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum
Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bushtanul Arifin, SH,i (Jakarta : GemaInsani Pers,1996), h.11-12.
[19] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama,1 993/1994, h.129-130.
[20] Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam
di Indonesia‛ dalam Mimbar
Hukum No. 1 tahun V (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam
Depag RI, 1994) h. 94-106.
[21]Yahya
Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum
Islam : Memotifikasikan Abstarksi Hukum Islam, (Jakarta : Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Departemen Agama,1991), h.27-29.
share ya..??
BalasHapus