BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu esensi hukum yang terkandung
dalam kaidah asasi berkenaan dengan keyakinan dan keraguan adalah keharusan
untuk menjalankan syari’at Islam diatas keyakinan. Rasulullah menyatakan bahwa
hendaklah seseorang berpegang kepada hal yang meyakinkan dan membuang hal yang
meragukan.
Pada asalnya, setiap perbuatan yang
diharamkan terlarang dilakukan bagi setiap orang dalam keadaan umum, kecuali
syara’ melihat sebagai kekecualian sehingga hukuman dapat dihapuskan. oleh
sebab itu perlu dikajinya makalah ini untuk mengetahui seperti apakah syubhat dan hal-hal yang dapat
mempengaruhi hukum tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Had dan Syubhat?
2. Bagaimana
kaidah gugurnya pertanggung jawaban pidana berkenaan dengan adanya maksud tertentu?
3. Bagaimana
Syubhat dan hal-hal yang dapat mempengaruhi hukuman?
4.
Bagaimana tata cara
penetapan hukuman Had?
C.
Tujuan
1. Menggetahui
pengertian Had dan Syubhat.
2. Mengetahui
kaidah gugurnya pertanggung jawaban pidana berkenaan dengan adanya maksud
tertentu.
3. Mengetahui
Syubhat dan hal-hal yang dapat mempengaruhi hukuman.
4. Mengetahui
tata cara penetapan hukuman Had.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Had dan Syubhat
Had
adalah hukuman yang telah ditentukan batas kadarnya, karena melanggar jarimah
yang merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman
dera atau rajam bagi pezina, dan sebagainya.[1]
Ibnu
Syurayh menjelaskan bahwa syubhat adalah sesuatu yang tidak diketahui dengan
pasti kehalalannya atau keharamannya. Sementara Ibnu Nujaym menyatakan bahwa
syubhat adalah sesuatu yang tetap sehingga menjadi tidak ada kepastian lagi.[2]
Salah
satu esensi hukum yang terkandung dalam kaidah asasi berkenaan dengan keyakinan
dan keraguan adalah keharusan untuk menjalan-kan syari’at Islam diatas
keyakinan. Rasulullah menyatakan bahwa hendaklah seseorang berpegang kepada hal
yang meyakinkan dan membuang hal yang meragukan.
Rasulullah
SAW bersabda:
حدثنا
عبد الرحمن بن الأسود أبو عمرو البسري حدثنا محمد بن ربيعة حدثنا يزيد بن زياد
الدمشقي عن الزهري عن عمرة عن عائشة قالت قال رسول الله عليه وسلم ادرءوا الحدود
عن المسلمين ما استطعتم فإن كان له مخرج
فخلوا سبيله فإن الإمام أن يخطئ في الفوخيرمن أن يخطئ في العقوبة.
Artinya:
“… dari Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: hindarilah hukuman
hudud dari kaum muslimin sedapat mungkin, jika ada jalan keluar bagi tersangka
(untuk bebas dari hukuman) maka bebaskanlah. Sesungguhnya kesalahan imam
(hakim) dalam member pemaafan itu lebih baik disbanding dengan kesalahannya
dalam memberikan hukuman.”
Berdasarkan
hal itu para ulama menyusun kaidah:
اَلْحُدُوْدُ
تَسْقُطُ بِالشُّبْهَاتِ
“Hudud
gugur karena ada syubhat”
Contoh
hukum yang masih syubhat adalah adanya hubungan seksual laki-laki terhadap
wanita yang dikira istrinya, hubungan nikah mut’ah dimana sebagian ulama
memperbolehkan sedang yang lain mengharamkan, nikah tanpa wali dimana sebagian
ulama’ memperbolehkan sedang yang lain
mela-rangnya, kesemuanya tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih
syubhat.
B.
Kaidah Gugurnya
Pertanggung Jawaban Pidana Berkenaan dengan Adanya Maksud Tertentu.
Pada asalnya, setiap perbuatan yang
diharamkan terlarang dilakukan bagi setiap orang dalam keadaan umum, kecuali
syara’ melihat sebagai keke-cualian, yaitu membolehkan sebagian perbuatan yang
diharamkan bagi yang memenuhi syarat dalam keadaan-keadaan yang khusus. Seperti
telah diungkapkan sebelumnya bahwa pada asalnya membunuh adalah terlarang bagi
setiap orang. Akan tetapi bagi Algojo[3]
merupakan kewajiban dalam kerangka melaksanakan syari’at. Perbuatan Algojo
tersebut dibenarkan oleh syara’.
Demikian juga, ada
perbuatan-perbuatan yang dibenarkan oleh syara’ sehingga tidak ada pertanggungjawaban
pidana meskipun dalam tampak lahirnya seperti perbuatan terlarang, karena da
maksud baik yang terkandung didalamnya. Perbuatan-perbuatan tersebut
diantaranya adalah perbuatan yang dilakukan dalam kerangka pengajaran atau
pendidikan dan permainan atau olahraga.
a.
Pengajaran atau
Pendidikan
Mendidik
atau mengajar adalah upaya mentransmisikan ilmu dan sikap terhadap peserta
didiknya. Adakalanya dalam me-ngajar atau mendidik diperlukan tindakan-tindakan
tertentu agar tercapai tujuan. Tindakan-tindakan tersebut mulai dari yang
paling halus sampai yang paling keras seperti memukul atau menampar.
Tindakan-tindakan tersebut dibenarkan oleh syara’ demi tercapai-nya tujuan
pendidikan. Tentunya, tindakan-tindakan itu disesuai-kan dengan tingkat pendidikan
dan dalam batas-batas kewajaran, sesuai dengan kaidah:
لايسأل
جنائيا ولامدنيا عن التأديب مادام في حدوده المشروع
“tidak ada
pertanggungjawaban pidana dan perdata dalam melakukan pengajaran selama
dilakukan dalam batas-batas syari’at yang diajarkan”
Kaidah ini
didasarkan atas Firman Allah SWT:
...
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نَشُوزَهُنَّ فَعِظَوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
المَضَاجِعِ وَاضْرِبُو هُنَّ فَاٍنْ أطعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلاَ إنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيَّا كَبِيرًا
“wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nase-hatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.[4]
Rasulullah SAW
bersabda:
أخبرنا
أبو يكر بن الحارث أنبأ علي بن عمر ثنا محمد بن مخلد ثنا أحمد بن منصور زاج ثنا
النضر بن شميل أنبأ أبو حمزة الصير في وهو سوار بن داود عن عمرو بن شعيب
عن أبيه عن جده قال قالرسول الله عليه وسلم مرواصبيانكم
بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع
“dari Amr bin
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya r.a., ia berkata : Rasulullah bersabda:
Suruhlah anak-anak kalian untuk melak-sanakan shalat ketika berumur tujuh tahun
dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun dan pisaahkan tempat tidur
mereka”.
b.
Olah Raga
Olah
raga merupakan kebutuhan manusia agar tetap terpelihara kesehatannya. Adakalnya
didalam olah raga terjadi benturan-benturan fisik sehingga menyebabkan cedera
bahkan tidak jarang terjadi kematian. Selama benturan-benturan fisik itu masih
dalam batas-batas yang ditentukan dalam olah raga tersebut maka tidak ada
pertanggungjawaban pidana, sesuai dengan kaidah:
الألعاب
التي تستلزم استعمال القوة مع الخصم فلا عقاب عليه إذالم يعتد محدثها الحدود المرسومة
للعب
“permainan (olah
raga) yang memerlukan pemakaian kekuatan terhadap lawannya, maka tidak ada
hukuman (akibat penggunaan kekuatan tersebut) selama tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.
Kaidah-kaidah
ini didasarkan Firman Allah SWT:
وَأعِدُّوالَهُمْ
مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قَوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ
عَدُوَّ الله وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لَا تَعْلَمُوْنَهُم
“Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya”.[5]
Sabda Rasulullah
SAW:
حدثنا
أبوبكربن أبي شيبة وابن نمير قالا حدثنا عبد الله بن إدريس عن ربية بن عتمان عن
محمد بن يحيى بن حبان عن الأعرج عن أبي هريرة قال قال رسولالله صلى الله عليه وسلم
المؤمن القوي خير وأحب المؤمن الضعيف
“… Dari Abu
Hurayrah r.a., ia berkata: Rasulullah bersabda: Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”.
Sebagai contoh kasus, misalnya
petanding pencak silat dengan lawannya. Masing-masing peserta tentunya
menggunakan kekuatan untik saling mengalahkan. Pertanggungjawaban pidana
menjadi gugur walaupun lawannya menjadi cedera, jika penggunaan kekuatan itu
masih dalam ketentuan yang ditetapkan.
C.
Syubhat dan Hal-hal
yang dapat Mempengaruhi Hukuman
Hukum dapat dihapus apabila:
a.
Pelaku meninggal
dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan harta.
b.
Hilangnya anggota
badan yang harus dikenai hukuman, maka hukumannya berpindah kepada diyat dalam
kasus jarimah qishash.
c.
Taubat dalam kasus jarimah
hirabah, meskipun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila
kemaslahatan umum meng-hendakinya.
d.
Perdamaian dalam
kasus jarimah qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir bila
kemaslahatan umum menghendaki.
e.
pemanfaatan dalam
kasus qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir yang berkaitan dengan
hak adami.
f.
Diwarisinya
qishash. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menja-tuhkan hukuman ta’zir.
g.
kadaluwarsa.
Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad didalam hudud tidak ada kadaluwarsa.
Sedangkan dalam jarimah ta’zir mereka memperbolehkan adanya kadaluwarsa bila
Ulil Amri menganggap padanya kemaslahatan umum.[6]
D. Tata
Cara Penetapan Hukuman Had
1. Pembunuhan
Harus terbukti tanpa ada keraguan
sedikitpun bahwa pembunuhan itu benar-benar dilakuan dengan sengaja sebagai
tindak kriminal. pelaksanaan hukuman mati tidak boleh terjadi kecuali ada
beberapa orang yang jujur atau adil telah memberikan buktinya, si pembunuh itu
mengakui perbuatannya.
Namun jika ada seorang putra dari anak
laki-laki korban dalam kasus pembunuhan memutuskan untuk memaafkan si pembunuh,
maka ia tak dapat dihukum mati. Namun para ahli waris itu tetap dapat berhak
memperoleh bagian dari Diyat yang ditetapkan.[7]
Apabila dalam kasus pembunuhan itu para
ahli warisnya terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka yang perempuan
tidak diperkenankan oleh undang-undang untuk membatalkan tuntutan Qishas ataupun memberikan maaf. Bila
pembunuhan itu dimaafkan, namun ia tetap harus dihukum seratus kali canbukan
dan dipenjara selama satu tahun.[8]
2. Pencurian
Misalnya harta milik seseorang oleh
ayahnya sendiri. Di sini prasangkaan tentang hak ayah terhadap hak milik
anaknya muncul.
Keragun tentang kasus pencurian dapat
muncul karena kekurangan bukti-bukti. Hal ini
dapat terjadi jika seseorang melakukan suatu perbua-tan yang diancam
hukuman had dan bukti satu-satunya adalah pengaku-annya sendiri. Akan muncul
keraguan apabila ia menarik keraguannya itu.
Dalam kejahatan-kejahatan hudud, keraguan membawa pembe-basan si
terdakwa dan pembatalan hukuman had.
Akan tetapi, ketika membatalkan hukuman had
ini, hakim masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir kepada terdakwa.[9]
3. Persetubuhan
a. Menyetubuhi
Binatang
لاحدعلى
من وطء البيمة
“tidak ada had
bagi yang menyetubuhi binatang”
Hanafiah berpendapat bahwa
menyetubuhi binatang tidak dapat dikatakan zina karena persetubuhan itu tidak
sempurna. Demikian juga Hanabilah berpendapat bahwa ada perbedaan antara farji
binatang dengan farji manusia sehingga persetubuhan itu bukan sesuatu yang
disenangi oleh kebanyakan manusia. Oleh karena itu, tidak perlu ada had
terhadap penyetubuh binatang. Meskipun demikian, persetubuhan itu tetap haram
hukumnya dan harus dikenai ta’zir.
b. Laki-laki
Menyetubuhi Mayat Perempuan
لاحد
على من وطء المرأة الميتة
“tidak ada had
terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perem-puan”
Sebagaimana halnya pada pesetubuhan
dengan binatang, Jumhur berpendapat menyetubuhi mayat perempuan bukan termasuk
zina yang harus dikenai had, karena persetubuhan itu bukan kecenderungan
(keinginan) dari keumuman manusia. Oleh karena itu, hukuman had menjadi tidak
perlu. Orang yang melakukan persetubuhan dengan mayat cukup dikenai sanksi
ta’zir.
Berbeda dengan Jumhur, Malikiyah dan
sebagian Hana-bilah berpendapat bahwa:
وجوب
الحد على من وطء المرأة الميتة
“had wajib
ditegakkan terhadap lak-laki yang yang menyetubuhi mayat perempuan”.
Mereka beralasan bahwa persetubuhan
tersebut kedudukannya sama dengan persetubuhan wanita yang hidup. Hal ini
dikarenakan kebutuhan syahwat dapat terpenuhi dengan menyetubuhi perempuan
sebagaimana menyetubuhi perempuan yang hidup.
c. Perempuan
yang Menyetubuhi Mayat laki-laki
لايحد
من ادخلت ذكر ميت في فرجها
“tidak ada had
bagi perempuan yang memasukkan kelamin laki-laki yang sudah meninggal ke dalam
farjinya”.
Menurut Malikiyah, hal ini
didasarkan bahwa persetubu-han itu tidak
mendatangkan kenikmatan.
d. Menyetubuhi
Istri yang Sedang Haid
Nabi Muhammad
SAW bersabda:
حدثنا
محمد بن يحيى قال ثنا يزيد بن هارون قل ثنا حماد بن سلمة عن حكيم الأثرم عن أبي
تميمة الهجيمي عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من
أتى كاهنا فصد قة بما يقول أو أتى امرأة في دبرها أو أتى امرأة وهي حائض فقد برئ
بما أنزل الله على محمد صلى الله عليه وسلم
“Dari Abu
Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang mendatangi
kahin (dukun)lalu membenarkan ucapannya; atau menyetubuhi istrinya melalui
duburnya; atau menyetubuhi istri yang sedang haid, maka ia telah berlepas diri
(tidak beriman) terhadap apa yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad
SAW”.
Hadits diatas sekaligus menunjukkan bahwa bersetubuh
dengan istri yang sedang haid adalah perbuatan terlarang yang tidak dikenai
dengan had melainkan ta’zir.
BAB III
KESIMPULAN
Had adalah hukuman yang telah ditentukan batas
kadarnya sedangkan syubhat adalah sesuatu yang tidak diketahui dengan pasti kehalalannya
atau keharamannya. Rasulullah menyatakan bahwa hendaklah seseorang berpegang
kepada hal yang meyakinkan dan membuang hal yang meragukan. Berdasarkan hal itu
para ulama menyusun kaidah:
اَلْحُدُوْدُ
تَسْقُطُ بِالشُّبْهَاتِ
“Hudud
gugur karena ada syubhat”
Pada asalnya, setiap perbuatan yang diharamkan
terlarang dilakukan bagi setiap orang dalam keadaan umum, kecuali syara’
melihat sebagai keke-cualian, yaitu membolehkan sebagian perbuatan yang
diharamkan bagi yang memenuhi syarat dalam keadaan-keadaan yang khusus. Seperti
halnya dalam pengajaran atau pendidikan dan olahraga.
Hukum dapat dihapus apabila
pelaku meninggal dunia,
hilangnya anggota badan yang harus dikenai hukuman, taubat, perdamaian, pemanfaatan, diwarisinya qishash,
kadaluwarsa. Dalam hal ini
hukuman terhapus namun masih dikenai ta’zir.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso,
Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta. Gema Insani.
Rahman,
Abdur. 1992. Tindak Pidana dalam Syariat
islam. Jakarta. Rineka Cipta.
Djazuli.
1997. Fiqh Jinayah. Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada.
Mubarok,
Jaih dan Enceng Arif Faizal. 2004. Kaidah
Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam). Bandung. Pustaka Bani Quraisy.
Usman,
Muhlish. 2002. Kaidah-kaidah Ushuliyah
dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam. Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada.
[1] Muhlish Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 151
[2] Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinyah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka
bani Quraisy, 2004), hlm. 62
[3] Algojo adalah orang yang ditugasi untuk membunuh terhukum.
[4] Q.S An-Nisa’: 34
[5] Q.S Al-Anfal: 60.
[6] Djazuli, Fiqh Jinayah,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 33
[7] Besarnya diyat dihubungkan dengan orang yang memiliki unta sama
dengan seratus ekor unta. Sedangkan bagi orang yang mempunyai emas kadarnya
adalah seribu keeping emas.
[8] Abdur Rahman, Tindak Pidana
dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 30
[9] Topo santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar