BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam
rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat.
Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan
semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan
beragam pula kebutuhan penduduk itu.
Termasuk dalam
kegiatan pembangunan Nasional itu adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Penduduk
yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya
membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas
pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas
keselamatan umum dan sebagainya.
Pembangunan
fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas, memerlukan tanah sebagai
wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum
tersebut tidak menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan sumberdaya
alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang
tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara
sudah sangat terbatas persediaannya.
Pada masa sekarang
ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas
tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil
tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut
dengan pengadaan tanah.
Melihat uraian
diatas, maka kami tertarik untuk menulis makalah yang membahas tentang
persoalan-persoalan diatas dengan judul: “PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN”
I.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
1. 2.1 Pengertian Pengadaan Tanah ?
1. 2.2 Panitia Pengadaan Tanah ?
1. 2.3 Musyawarah untuk Menentukan
Ganti Rugi ?
1. 2.4 Kriteria
dan Macam-macam Kepentingan Umum ?
1. 2.5 Macam dan
Bentuk Ganti Rugi ?
1. 2.6 Upaya Hukum
?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini
ditulis dengan tujuan :
1. 3.1 Untuk mengetahui pengertian Pengadaan Tanah.
1. 3.2 Untuk mengetahui panitia
Pengadaan Tanah.
1. 3.3 Untuk mengetahui musyawarah untuk Menentukan
Ganti Rugi.
1. 3.4 Untuk mengetahui kriteria dan
Macam-macam Kepentingan Umum.
1. 3.5 Untuk mengetahui macam dan Bentuk
Ganti Rugi.
1. 3.6 Untuk mengetahui upaya Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Pengadaan Tanah
Pengertian
Pengadaan Tanah Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 :
Pasal 1 :
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti kerugian kepada orang yang berhak atas tanah tersebut”.
Pengertian
Pengadaan Tanah Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 :
Pasal 1
angka (3) : “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada orang yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau
dengan pencabutan hak atas tanah”.
Pengertian
Pengadaan Tanah Menurut Perpres No. 71 Tahun 2012 :
Pasal 1
angka (2) : Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi Ganti Kerugian yang layak dan adil kepada Pihak yang Berkaitan”.
Pengadaan
Tanah adalah perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah untuk berbagai
kepentingan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya pengadaan
tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan
pemenang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiataan pembangunan.[1]
2.2 Panitia Pengadaan
Tanah
a. mengadakan
penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda‑benda lain yang ada kaitannya
dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
b. mengadakan
penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan,
dan dokumen yang mendukungnya;
c. menaksir dan
mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
d. memberikan
penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena, rencana pembangunan
dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah
tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak
maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat .yang
terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
e. mengadakan
musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi;
f.
menyaksikan pelaksanaan penyerahan
ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang ada di atas tanah;
g. membuat berita
acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
h. mengadministrasikan
dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak
yang berkompeten.
Tugas lain Panitia Pengadaan Tanah:
1.
Memberikan penjelasan dan penyuluhan
kepada masyarakat;
2.
Mengadakan penelitian dan inventarisasi
atas bidang tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah, yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
3.
Mengadakan penelitian mengenai status
hukum bidang tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang
mendukungnya;
4.
Mengumumkan hasil penelitian dan
inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c;
5.
Menerima hasil penilaian harga tanah
dan atau bangunan dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dari
tim penilai harga tanah dan pejabat yang bertanggung jawab menilai bangunan dan
atau tanaman dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
6.
Mengadakan musyawarah dengan para
pemilik dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan
bentuk dan atau besarnya ganti rugi;
7.
Menetapkan besarnya ganti rugi atas
tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
8.
Menyaksikan pelaksanaan penyerahan
ganti rugi kepada para pemilik;
9.
Membuat berita acara pelepasan atau
penyerahan hak;
10. Mengadministrasikan
dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada
instansi pemeritah yang memerlukan tanah dan kantor pertanahan kabupaten;
11. Menyampaikan
permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada bupati
apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.
Ketentuan Umum Panitia Pengadaan Tanah
(1) Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia
pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
(2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dibentuk oleh Gubernur.
(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau
lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk
oleh Gubernur.
(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih,
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri
Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah
terkait.
(5) Susunan keanggotaan panitia
pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
terdiri atas unsur perangkat daerah
terkait.[3]
2.3 Musyawarah untuk
Menentukan Ganti Rugi
Ketentuan Umum
Musyawarah Pengadaan Tanah:
(1) Pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui
musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai:
a. pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
di lokasi tersebut;
b. bentuk dan besarnya ganti rugi.
(2) Musyawarah
dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.[4]
Ketentuan lain:
(1) Musyawarah dilakukan secara langsung antara
pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda‑benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan
tanah, dan instansi Pemerintah atau pernerintah daerah yang memerlukan tanah.
(2) Dalam
hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif,
maka musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia
pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan
tanah dengan wakil‑wakil yang ditunjuk
di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak
selaku kuasa mereka.
(3) Penunjukan
wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala
Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang
berwenang.
(4) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.[5]
Ketentuan lain:
(1) Dalam
hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau
dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka
musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung
sejak tanggal undangan pertama.
(2) Apabila setelah diadakan musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia
pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.
(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah
penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia
menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya
meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.[6]
Apabila dalam
musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dan
instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah, panitia
pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
sesuai dengan kesepakatan tersebut.
2.4 Kriteria
dan Macam-macam Kepentingan Umum
Pengertian Kepentingan Umum Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 :
Pasal 1 angka (3) : “Kepentingan Umum adalah kepentingan seluruh
lapisan masyarakat “.
Pasal 5 : “Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keppres ini
dibatasi untuk :
1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki
pemerintah serta tak digunakan untuk mencari keuntungan dalam bidang-bidang
antara lain :
a.
jalan umum, saluran pembuangan air.
b. waduk,
bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.
c. rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan
masyarakat.
d. pelabuhan,
bandar udara atau terminal.
e. peribadatan.
f.
pendidikan atau sekolahan.
g. pasar umum atau
pasar INPRES.
h. fasilitas
pemakaman umum.
i.
fasilitas keselamatan umum seperti
antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana.
j.
pos dan telekomunikasi.
k. sarana olah
raga.
l.
stasiun penyiaran radio, televisi
beserta sarana pendukungnya.
m. kantor
pemerintah.
n. fasilitas
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
2. Kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum selain yang dimaksud dalam angka (1) yang ditetapkan dalam
Keputusan Presiden.
Pengertian
Kepentingan Umum Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005:
Pasal 1
angka (5) : “Kepentingan umum adalah kepentingan umum sebagian masyarakat”.
Pasal 5 :
Pembangunan kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah
daerah meliputi :
a. jalan umum, jalan tol, rel kereta
api ( di atas tanah, di ruang atas tanah atau pun di ruang bawah tanah),
saluran air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
b. waduk,
bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya.
c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan
masyarakat.
d. pelabuhan,
Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan atau
sekolah.
g. pasar umum.
h. fasilitas
pemakaman umum.
i.
fasilitas keselamatan umum.
j. pos dan
telekomunikasi.
k. sarana olah
raga.
l.
stasiun penyiaran radio, televise dan
sarana pendukungnya.
m. kantor
pemerintah, pemerintah daerah, Perwakilan Negara Asing, Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan/ atau lembaga-lembaga Internasional di bawah naungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
n. fasilitas
Tentara Negara Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya.
o. lembaga pemasyarakatan
dan rumah tahanan.
p. rumah susun
sederhana.
q. tempat
pembuangan sampah.
r. cagar alam dan
cagar budaya.
s. pertamanan.
t. panti sosial.
u. pembangkit,
transmisi, distribusi tenaga listrik.
Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65
Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari
kepentingan umum yaitu :
a. Jalan umum dan
jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang
bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b. Waduk,
bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan,
bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas
keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan
lain-lain bencana;
e. Tempat
pembuangan sampah;
f.
Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit,
transmisi, distribusi tenaga listrik.
2.5 Macam dan
Bentuk Ganti Rugi
Ganti rugi dalam
rangka pengadaan tanah diberikan untuk:
a. hak atas tanah;
b. bangunan;
c. tanaman;
d. benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah.[7]
Bentuk ganti rugi
dapat berupa:
a. uang; dan/atau
b. tanah pengganti; dan/atau
c. pemukiman kembali.
Dalam hal pemegang
hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ganti
rugi, maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]
Ganti kerugian
dengan uang adalah menyangkut besarnya ganti kerugian dikaitkan dengan harga
tanah, bangunan, tanaman yang akan diganti. Pasal 15 memberikan arahan mengenai
ini:[9]
Dalam Perpres Pasal
15 di jelaskan:
1. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan
atas:
a. Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai
nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan
berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
panitia;
b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh
perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
c.
nilai jual tanaman yang
ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
2.
Dalam rangka menetapkan dasar
perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh
Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ganti rugi diserahkan langsung kepada:
a.
pemegang hak atas tanah atau
yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau
b.
nadzir
bagi tanah wakaf.
Dalam hal tanah, bangunan, tanaman, atau
benda yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang,
sedangkan satu atau beberapa orang pemegang hak atas tanah tidak dapat
ditemukan, maka ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak dapat ditemukan
tersebut dititipkan di pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi
tanah yang bersangkutan.
Pasal 17 Perpres dijelaskan:
1.
Pemegang hak atas tanah yang
tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan
kepada BupatilWalikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai
kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab‑sebab dan alasan keberatan tersebut.
2.
Bupati/Walikota atau Gubernur
atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan
keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya.
3.
Setelah mendengar dan
mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan
panitia pengadaan tanah, Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam
Negeri sesuai kewenangan mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau
mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya
ganti rugi yang akan diberikan.
Pasal 18:
1.
Apabila upaya penyelesaian yang
ditempuh Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri tetap tidak
diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang bersangkutan
tidak dapat dipindahkan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam
Negeri sesuai kewenangan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan
hak atas tanah berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak‑hak Atas Tanah Dan Benda‑benda Yang Ada Di Atasnya.
2.
Usul penyelesaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri Dalam
Negeri sesuai kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan
tembusan kepada menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
3. Setelah menerima usul penyelesaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Badan Pertanahan
Nasional berkonsultasi dengan menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
4. Permintaan untuk melakukan pencabutan hak
atas tanah tersebut disampaikan kepada Presiden oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional yang ditandatangani oleh menteri dari instansi yang memerlukan tanah,
dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Terhadap tanah
yang digarap tanpa izin yang berhak atau kuasanya, penyelesaiannya dilakukan
berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
2.6 Upaya Hukum
Di Indonesia, yang memiliki daratan
(tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu
persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran, pasca
Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu
adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA
Suatu terobosan yang sangat revolusioner
diakukan oleh UUPA yaitu dihapusnya sistem “Domain Verklaring”. Domain
Verlklaring adalah sistem yang menentukan bahwa tanah yang tidak dapat
dibuktikan secara autentik maka dengan sendirinya menjadi milik negara. Jelas
hal ini sangat bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat indonesia yang
berbasis adat, dimana bukti autentik tidak dikenal sebelumnya dan hanya
mengandalkan asas saling kepercayaan.
Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya
Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa :
“
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal
di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah
pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum UUPA disebutkan
bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai tanah.
Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah
pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi
kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang
menegaskan, kewenangan negara adalah :
a. Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan atau pemeliharaannya ;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang
dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu ;
c. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.
Sebagai bagian dari hukum agraria
nasional, peraturan pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria
nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat
dibenarkan, kalau tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, melainkan wajib pula memperhatikan
kepentingan umum. Ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa kepentingan pribadi
akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Kepentingan umum dan
kepentingan pribadi haruslah saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai
tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagian rakyat seluruhnya. Itulah yang
menjadi tujuan dari UUPA.
Dalam menjawab persoalan pengadaan tanah
ini, di Indonesia telah diundangkan beberapa aturan yang antara lain
1. UU No 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan
Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
2. Permendagri No 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan-ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah, yang disusul
Permendagri No 2 Tahun 1976 dan Permendagri No 2 Tahun 1985.
3. Keppres No 55 Tahun 1993 Tentang
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Demi Pembangunan.
4. Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ; dan yang terakhir
5. Perores No 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam implementasinya aturan-aturan diatas
tidak boleh bertentangan dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang tata ruang yang di
dalamnya juga mengatur hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat dalam pengadaan
tanah yang dibahas pada :
Pasal 60 : Setiap orang berhak untuk :
mengetahui Rencana Tata Ruang;
menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan perencanaan Tata Ruang;
mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tak sesuai dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Sarans
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum
Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum
Keputusan Presiden
No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Keputusan Presiden
No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
Maria S.W. Sumardjono. 2008.
Tanah Dalam PerspektifHak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: Kompas
Soejono, dkk. 1998. Prosedurpendaftaran
Tanah: tentang Hak Milik, Hak Sewa Guna dan Hak Guna Bangunan . Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar