BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di
tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun
kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya. Rasa aman
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran
akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antar individu dalam
masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian
sebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini mencakup tubuh yang juga
terkait dengan nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau
keadaan psikis.
Maka di makalah ini kami akan membahas
“Macam-macam Pidana/Hukuman”. Sebagai salah satu cara untuk mengatur dan memperingatkan
masyarakat bahwa setiap tindakan akan dimintai sebuah pertanggung jawaban.
I.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana pembagian pidana/hukuman di
Indonesia?
1.2.2 Bagaimana
perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini
ditulis dengan tujuan :
1.3.1 Untuk
mengetahui pembagian pidana/hukuman di Indonesia.
1.3.2 Untuk
mengetahui perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembagian Pidana di Indonesia
Berdasarkan Pasal
10 KUHPidana terdapat 2 (dua) jenis pidana, yaitu:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda;
e. Pidana tutupan.
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang
tertentu;
c. Pengumuman putusan hakim.
Adapun
mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah
didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah
yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai
tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif
(artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi
kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan
Pasal 275 KUHPerdata menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Berikut
ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai
berikut :
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Pidana
ini adalah yang terberat dari semua pidana yang diancamkan terhadap berbagai
kejahatan yang sangat berat[1],
misalnya pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHPerdata).
Sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHPidana yaitu : “Pidana mati dijalankan oleh
algojo di tempat gantunngan pada leher
terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
b. Pidana Penjara
Menurut
Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang
berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan
kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa
pengasingan.[2] Dengan adanya pembatasan
ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan
yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam
kaitannya dengan pemilihan umum).
Hukuman
penjara ditujukan kepada penjahat yang menunjukkan watak buruk dan nafsu jahat.[3] Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum
seumur hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHPidana yang berbunyi sebagai
berikut:
(i) Pidana penjara ialah seumur
hidup atau selama waktu tertentu.
(ii) Pidana penjara selama waktu
tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun
berturut-turut.
(iii) Pidana penjara selama waktu
tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal
kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur
hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara
seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal
batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan,
pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
(iv) Pidana penjara selama waktu
tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
c. Pidana Kurungan
Pidana
kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Sifat pidana kurungan pada dasarnya
sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan
kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang
terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga
Pemasyarakatan.
Pidana
kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini
ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHPidana, bahwa berat ringannya pidana
ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHPidana yang ternyata pidana
kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah
sekurang-kurangnya satu hari dan paling
lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHPidana, bahwa
:
“Paling
sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena
gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi
satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu
tahun empat bulan”.
d. Pidana Denda
Pidana
denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadapan
kejahatan. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana
denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh
karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Menurut
P.A.F. Lamintang bahwa:[4] Pidana denda dapat dijumpai di dalam
Buku I dan Buku II KUHPidana yang telah diancamkan baik bagi
kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran.
Oleh
karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana.
Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika
denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
Mengenai
pidana denda diatur dalam pasal 30 KUHPidana yang berbunyi sebagai berikut:
(i) Pidana denda paling sedikit
tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
(ii) Jika pidana denda tidak
dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
(iii) Lamanya pidana kurungan
pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
(iv) Dalam putusan hakim, lamanya
pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya tujuh
rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari
lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling
banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh
sen.
(v) Jika ada pemberatan pidana
denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan
pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
(vi) Pidana kurungan pengganti
sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Jika si terpidana
tidak mampu atau tidak mau membayar denda yang dijatuhkan kepadanya, maka ia
mesti menjalani pidana kurungan pengganti. Lamanya hukuman kurungan pengganti
itu sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya enam bulan (Pasal 30
(2) dan (3)).[5]
2. Pidana Tambahan
Pidana
tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan,
tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan
barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat
dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
a. Pencabutan hak-hak tertentu.
Hal
ini diatur dalam Pasal 35 KUHPidana yang berbunyi:
(1)
Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah
:
1. Hak memegang jabatan pada
umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. Hak memasuki Angkatan
Bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam
pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. Hak menjadi penasehat hukum
atau penguruss atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan
bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6. Hak menjalankan mata pencarian
tertentu.
(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat
dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus di tentukan penguasa lain
untuk pemecatan itu.
Lamanya
pencabutan hak tersebut harus ditetapkan oleh hakim (Pasal 38 KUHPidana)
b. Perampasan barang tertentu.
Karena
putusan suatu perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu
adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk
melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 39 KUHPidana yang
berbunyi sebagai berikut:
(1) Barang-barang
kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang
tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan
putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang
bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang
yang telah disita
c. Pengumuman putusan hakim,
Pidana
tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar
dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terpidana.
Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali,
yang semuanya atas biaya si terpidana. Jadi, cara-cara menjalankan “pengumuman
putusan hakim” dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHPidana).
2.2 Perbedaan Pidana Pokok dan Pidana
Tambahan
Menurut
Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan
bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah:[6]
1. Pidana tambahan hanya dapat
dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh
dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2. Pidana tambahan hanya dapat
dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan
tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3. Pada setiap jenis perbuatan
pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4. Walaupun diancamkan secara
tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana
tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk
menjatuhkannya atau tidak.
Perbedaan pidana pokok dan
pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a. Pidana tambahan hanya dapat
ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barang-barang
tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan
ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b. Pidana tambahan tidak
mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari
pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak).
(Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan
Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau
keharusan).
c. Mulai berlakunya pencabutan
hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan
sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
§ Dalam Pasal 10 KUHPidana terdapat 2 (dua)
jenis pidana, yaitu:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati; penjelasan (Pasal
11 KUHPidana).
b.
Pidana penjara; penjelasan (Pasal 12 KUHPidana)
c.
Pidana kurungan; penjelasan (Pasal 18 KUHPidana)
d.
Pidana denda; penjelasan (Pasal 30 KUHPidana)
e. Pidana tutupan; hanya
digunakan dalam profesi dan tidak terlalu dipakai dalam penjatuhan sanksi hukum
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang
tertentu;
c. Pengumuman putusan hakim.
d. Perbedaan pidana pokok dan tambahan,
seperti: Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan
sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini
adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan
terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis,
261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
DAFTAR PUSTAKA
Hardiati Koeswadji,
Hermien. 1980. Kejahatan Terhadap Nyawa,Asas-asas kasus dan permasalahannya.
Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Hamzah, Andi.
1993. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Lamintang, P.A.F.
1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Kansil, C.S.T.
2007. Latihan Ujian Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Marpaung, Leaden.
2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
[1] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset. 2008), hal. 107.
[2] Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Pradnya
Paramita. 1993), hal. 36.
[4] P.A.F Lamintang,, Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 711.
[6] Hermien Hardiati Koeswadji,
1980.Kejahatan Terhadap Nyawa,Asas-asas kasus dan permasalahannya. Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga. hal. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar