BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Syubhat
Anak syubhat adalah anak
yang lahir dari suatu hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan atas dasar kekeliruan dan harus benar-benar terjadi karena
kekeliruan, artinya bukan karena disengaja atau rekayasa. Seorang anak syubhat
akan memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya jika si laki-laki yang
telah membenihkannya mengakui si anak. Kedudukan tentang anak syubhat
sebenarnya masih dalam perdebatan karena beberapa ulama’ tetap mengatakan
sebagai anak sah sebagaimana anak yang lahir dari perkawinan yang sah,
sedangkan ulama’ yang lainnya menggolongkan anak syubhat sebagai anak
luar kawin kecuali jira anak tersebut di akui oleh ayahnya.[1]
Anak syubhat dibagi
menjadi dua golongan antara lain:
1.
Anak syubhat karena syubhat
perbuatannya.
Anak syubhat ini lahir karena seorang laki-laki telah
keliru menyetubuhi wanita yang sebenarnya bukanlah isterinya, misalnya dalam
suatu rumah seorang suami salah masuk kedalam kamar yang dikira adalah kamar
isterinya, ternyata adalah kamar adik iparnya dan adik iparnya menyangka bahwa
laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya sehingga terjadilah persetubuhan
yang keliru. Jika perbuatan itu terjadi semata-mata memang karena kekeliruan
dan tidak ada unsur kesengajaan, maka dari persetubuhan itu akan melahirkan
anak, anak syubhat dalam kategori syubhat perbuatannya.
2.
Anak syubhat karena syubhat
hukumnya.
Anak syubhat dalam kategori ini lahir karena
kekeliruan tentang hukum yang seharusnya tidak boleh dilanggar, misalnya
seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, yang dikemudian hari
ternyata baru diketahui bahwa wanita yang dinikahinya itu adalah adik
kandungnya sendiri atau saudara sepersusuan dengannya, padahal berdasarkan hukum
perkawinan hal itu dilarang. Pada saat diketahui bahwa sebenarnya ada larangan
bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut harus
segera diputuskan jika atas perkawinan seperti itu telah melahirkan anak, aka
anak yang dilahirkan anak, maka anak yang dilahirkan akan menyandang status
sebagai anak syubhat.
Anak
syubhat ini juga tergolong anak luar kawin. tentang anak subhat akad maknanya
hampir sama dengan anak sumbang atau incest. Meski hubungan incest, yaitu hubungan sexual yang terjadi
pada pasangan yang memiliki hubungan darah, telah terjadi sejak zaman dahulu
kala, namun sampai kehidupan modern seperti sekarang, masyarakat umumnya masih
menggap hal ini tabu. Dalam syubhat hukum, setelah diketahui adanya
kekeliruan itu, maka isterinya haruslah diceraikan, karena merupakan wanita
yang haram dinikahi dalam Islam.[2] Maka,
apabila keduanya tidak mengetahui fasid (rusak) dan batilnya akad keduanya, maka
keduanya tidak berdosa dan tidak dikenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada
bapaknya seperti pernikahan yang sah meskipun keduanya langsung dipisahkan
karena fasidnya akad keduanya. Sedangkan apabila mereka telah mengetahui tentang
fasid dan batilnya akad tersebut, maka tidak syak lagi tentang dosanya dan
wajib bagi mereka dikenakan hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada
bapaknya.[3]
Oleh
karena masalah syubhat ini sesuatu yang diragukan keadaannya (ada kesamaran
antara yang hak dan batil), maka perlu syubhat ini tidak
dikenakan sanksi had (yaitu pukul 100 kali bagi yang belum kawin sebelumnya atau rajam
bagi yang telah kawin) apabila syubhat betul-betul terjadi dengan tidak dengan
sengaja, sama sekali tidak direkayasa.
2.2 Hak Waris Anak Syubhat dalam KUHPerdata & KHI
Dari penjelasan diatas tentang anak syubhat akad
maknanya hampir sama dengan anak sumbang. Anak sumbang adalah anak-anak yang
dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah yang
dekat, sehingga antara mereka dilarang undang-undang untuk menikah.[4] Sedangkan pengertian
incest ada beberapa pengertian:
1. Incest = Penodaan darah.[5]
2. Incest (zina dengan saudara) ialah
relasi-relasi seksual diantara orang-orang berbeda jenis kelamin yang berkaitan
darah dekat sekali, lewat ikatan darah.
3. Incest adalah hubungan seks antara pria
dan wanita di dalam atau diluir ikatan perkawinan, di mana mereka terkait
hubungan kekerabatan atau keturunan yang dekat sekali. Sebenarnya secara hukum
dan kesehatan tidak diizinkan terjadinya hubungan seks tersebut.[6]
4. Incest adalah kekerasan seksual yang
terjadi antar anggota keluarga. Pelaku biasanya adalah anggota keluarga yang
lebih dewasa dan korbannya anak-anak.[7] Kejadian incest yang
paling banyak dilaporkan adalah antara bapak dan anak perempuannya.
Tentang hak pemberian harta terhadap anak subhat
berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan, di dalam hukum Islam,
Muhammad Jawad Mughniyah menyatakan bahwa orang yang dilahirkan dari hubungan subhat
itu merupakan anak sah sebagaimana halnya dengan anak yang lahir melalui
perkawinan yang sah, tanpa ada perbedaaan sedikit pun, baik subhat tersebut
merupakan subhat akad maupun perbuatan, maka anak itu mempunyai hubungan
kekerabatan dengan laki-laki tersebut.[8][9]
Ø Berdasarkan KUH-Perdata
Dalam KUH Perdata juga sama, hal ini sesuai dengan
Pasal 95 bahwa “Suatu perkawinan, walaupun telah dinyatakan batal, mempunyai
segala akibat perdatanya, baik terhadap suami istri, maupun terhadap
anakanak mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik
oleh kedua suami istri itu.”. Alasan pembatalannya sesuai dengan
Pasal 90 yang menyebutkan “Semua perkawinan yang dilakukan dengan melanggar
ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 30, 31, 32 dan 33, boleh dimintakan
pembatalan, baik oleh suami istri itu sendiri, maupun oleh orang tua mereka
atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, atau oleh siapa pun yang
mempunyai kepentingan dengan pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan”,
Pasal 31 berbunyi “Juga dilarang perkawinan:
1. Antara ipar laki-laki dan ipar permpuan,
sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya
periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau
si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal
untuk melakukan perkawinan lain;
2. Antara paman atau paman orang tua dengan
anak perempuan saudara, sepertipun antaa bibi atau bibi orang tua dan anak laki
saudara atau cucu laki saudara, yang sah
atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan
dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.”
Namun yang menjadi permasalahan adalah anak
sumbang (termasuk anak luar kawin yang tidak dapat diakui).[10] Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pasal 867 berbunyi: “Ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini
tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari perzinaan atau penodaan darah. Undang–undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka”.
Dalam
pasal di atas ada dua status anak yang mana tidak berhak menuntut atas waris
dari kedua orang tua mereka selama mendapat asupan nafkah selama hidupnya anak
tersebut yaitu; Anak zina (Overspeleg kind) dan anak sumbang (Bloed
Schenneg/ darah yang dikotori). Pasal 868 KUH Perdata juga menjelaskan
tentang hak waris terhadap sumbang. Undang-undang hanya memberikan kepada anak
sumbang hak menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap harta yang besarnya
tidak tertentu tergantung dari Keadaan ahli waris yang sah, apakah mereka mampu
atau miskin, turut menentukan besarnya hak alimentasi anak-anak zina atau
sumbang hal ini sesuai dengan pasal 868 KUH Perdata, yaitu nafkah diatur sesuai
kekayaan bapak atau ibu. Harus ditegaskan pula, bahwa tuntutan anak seperti itu
akan memperoleh sesuatu dari harta warisan, bukanlah merupakan sesuatu tuntutan
sebagai ahli waris, tetapi sebagai suatu tuntutan seperti dari seorang piutang
(kreditur). [11]
Adakalanya
anak semacam ini oleh si ibu atau si bapak pada waktu mereka masih hidup, sudah
dijamin penghidupanya. Kalau ini terjadi maka menurut pasal 869 KUH Perdata,
untuk anak seperti ini sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan
bagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sanak keluarga dari atau si bapak.[12]
Ø Berdasarkan Kompilasi Hukum
Islam
Didalam KHI pasal 76 disebutkan bahwa batalnya
suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan
orang tuanya. Salah satu alasan batalnya perkawinan dalam pasal 70 KHI
disebutkan adanya perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah. Dalam KHI dinyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan
hanya memiliki nasab dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 100 KHI) sehingga
anak luar kawin tersebut hanyalah mewarisi dari ibu dan keluarga ibunya (Pasal
186 KHI), karena pada prinsipnya setiap perkawinan harus didaftarkan/dicatatkan
(Pasal 5 Ayat 1 KHI). Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010
menyatakan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayahnya jira
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti berdasarkan teknologi, hanyalah
berakibat bahwa si anak tersebut barhak atas nafkah sehari-hari dan biaya
sampai dia dewasa. Hal ini juga ditegaskan MUI yang menyatakan bahwa anak luar
kawin hanyalah berhak atas wasiat wajib.
Adapun pembuktian asal usul anak, Undang-Undang
Perkawinan mengaturnya dalam pasal 55, dan Kompilasi menjelaskannya dalam pasal
103 yang isinya sama:
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran atau akta lainnya
tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama
tersebut ayat (2) maka Instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
Ketentuan hukum perlunya akta kelahiran sebagai
bukti otentik asal-usul anak, meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama,
secara metodologis ia merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum
dalam hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal-usul anak dapat diketahui dengan
adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan minimal atau
maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka pembuktian secara formal
kendati ini bersifat administratif, asal-usul anak dengan akta kelahiran atau
surat kelahiran. Penetuan perlunya akta kelahiran tersebut, didasarkan atas
prinsip maslahat mursalah, yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain
anak akan mengetahui secara persis siapa orang tuanya, juga apabila suatu saat
timbul permasalahan, dengan bantuan akta anak tersebut dapat melakukan upaya
hukum.
[1] D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan
Kedudukan Anak Luar kawin, Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2012, h. 47-48.
2008, h. 80..
pukul 17.00
WIB.
[4] J. Satrio, Hukum
Waris, Bandung: Paramita, 1988, h. 173
[5] Kartini
Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar
Maju, 1989, Cet. VI, h. 255.
[6] Moh.
Rasyid, Pendidikan Seks Mengubah Seks Abnormal Menuju Yang Lebih Bermoral ,
Kudus: Syiar Media Publishing, 2007, Cet. I, h. 151.
[7] Elli Nur Hayati, Panduan
Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender), Yogyakarta:
Rifka Annisa, 2000, Cet. I, h. 39.
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit. h.
80.
[9] J. Satrio, loc. Cit
[10] Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat
Cerdas, mudah dan Bijak Memahami masalah Hukum Waris, Cet.1, Bandung:
Kaifa, 2012, h. 108.
[11] J. Satrio, op. cit. hlm. 173.
[12] ibid
bisa minta cpnya mbak? atau akun fbnya.
BalasHapus