BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Futiya atau fatwa, ialah menjawab sesuatu pertanyaan yang
tidak begitu jelas hukumnya yang berarti jawaban atas pertanyaan atau hasil
ijtihad atau ketetapan hukum. Maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum
tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid
sebagai hasil ijtihadnya.
Berijtihad tidak mungkin dilakukan oleh seluruh kaum muslimin.Pada
masa dahulu mujtahid merupakan orang yang dianggap ahli dalam semua disiplin
ilmu, sehingga semua masalah dan peristiwa ditanyakan hukumnya terhadap mereka,
lalu peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Diantara Siyasah Syar’iyah yang harus diketahui adalah lembaga Al-futya
Maka di makalah ini kami akan membahas tentang
“Lembaga Al-futya”
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam
makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian dari Lembaga Al-Futya?
1.2.2 Apa Sumber Hukum Fatwa?
1.2.3 Bagaimanakah Tingkatan-tingkatan
Fatwa?
1.2.4 Apakah
Lembaga Fatwa di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini
ditulis dengan tujuan :
1.3.1 Untuk mendeskripsikan pengertian
Lembaga Al-Futya
1.3.2 Untuk mendeskripsikan Sumber Hukum
Fatwa.
1.3.3 Untuk mendeskripsikan
Tingkatan-tingkatan Fatwa.
1.3.4 Untuk mendeskripsikan Lembaga Fatwa di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Lembaga Al-Futya
Futiya atau fatwa,
ialah menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya. Fatwa juga
dapat diartikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang
merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa dan tidak mempunyai daya ikat.
Jadi dapat
disimpulkan lembaga al-futya adalah sebuah wadah yang menaungi para penjawab
pertanyaan yang tidak jelas hukumnya.
Ma’ruf Amin dalam bukunya Fatwa dalam Sistem
Hukum islam berpendapat bahwa terdapat dua hal penting di dalam fatwa, yaitu:[1]
1.
Fatwa bersifat responsive. Ia
merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya
suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand).
2.
Dari segi kekuatan hukum, fatwa
sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat mengikat.
Unsur-unsur dalam proses pemberi fatwa,
yaitu:
1.
Mustafti Fih, yaitu masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan
status hukumnya.
2.
Mustafti, yaitu individu,
kelompok atau lembaga yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa.
3.
Fatwa, artinya jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian
yang ditanyakan
4. Al ifta atau al futya, yaitu
kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas pertanyaan yang
di ajukan.
5.
Mufti, yaitu orang yang memberi jawaban atas pertanyaan tersebut atau
orang yang memberi fatwa.
2.2
Sumber Hukum Fatwa
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam syariat
Islam. Didalamnya tertuang kalimat-kalimat Allah SWT yang menerangkan berbagai bidang
kehidupan dunia sampai akhirat. Dalam memahami Al-Qur’an terdapat empat prinsip dasar, yaitu:
a. Al-Qur’an merupakan keseluruhan syari’at
dan sendinya yang fundamental. Setiap orang yang ingin mencapai hakikat agama
dan dasar-dasar syari’at, haruslah menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat tempat
berputarnya semua dalil yang lain dan Sunnah sebagai pembantu dalam memahaminya
b. Sebagian besar ayat-ayat hukum Turín
karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya, sehingga perlu memahami asbabun
nuzulnya.
c. Setiap berita kejadian masa lalu yang
diungkap
2. As-Sunnnah atau Hadis
As-Sunnah atau
Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah SAW yang
berposisi sebagai petunjuk dan tasyri. Hadits terbagi menjadi tiga, yaitu Hadis
mutawatir, Hadis masyhur, dan Hadis ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang dengan
sendirinya mempunyai efek ilmiah dan kekuatan yang menentukan disebabkan karena
jumlah banyaknya perawinya sehingga tidak mengandung kemungkinan adanya
kepalsuan atau kedustaan. Hadis masyur adalah hadis yang asalnya pada zaman
sahabat diriwayatkan satu dua orang sahabat Rasulullah tapi kemudian tersebar
luas oleh umum. Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
(dalam genrasi saabat, tabi’in dan tabi’ittabi’in) yang tidak mencapai tawatur
3. Ijtihad
Sumber ukum islam
setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah ijma’ dan qiyas. Dalam menetapkan hukum
yang dilakukan dengan berijtihad, hal-hal yang harus dilakukan adalah:
a. Mengetahui penetapan dalia-dalil dan
syarat-syaratya yang dengan syarat ini dalil tersebut bisa menjadi bukti-bukti.
b. Mengetahui bahasa dan tata bahasa.
c. Mengetahui nasikh dan mansukh dlam
Al-Qur’an dan al-Sunnah.
d.
Mengetahui riwayat dan dapat
membedakan kesahihan l-Sunnah.
2.3
Tingkatan fatwa
Abdul Wahab Khallaf membagi periode tasyri’
(pembentukan hukum Islam) kepada 4 (empat) periode,[2] yaitu:
1.
Masa Rasul. Masa ini disebut juga dengan
masa pemunculan dan pembentukan. Periode ini berlangsung selama
lebih kurang 22 tahun (610-632 M).
2.
Masa Sahabat. Masa ini disebut juga
dengan masa penafsiran dan penyempurnaan. Periode ini berlangsung selama 90 tahun,
mulai wafatnya Nabi Muhammad sampai akhir abad pertama hijriyah.
3.
Masa pembukuan dan munculnya imam-imam
mujtahid. Masa ini berlangsung selama 250 tahun, dimulai dari kira-kira tahun
100 H sampai tahun 350 H.
4.
Masa taqlid. Masa ini disebut juga dengan
masa terhentinya ijtihad. Masa ini dimulai dari berakhirnya periode ketiga di atas.
Sebenarnya, munculnya fatwa para ulama dan mujtahid
berkaitan erat dengan periode di atas. Orang yang pertama kali melakukan tugas
berfatwa dalam Islam adalah Nabi Muhammad SAW., dimana fatwa-fatwa Nabi
tersebut adalah merupakan wahyu dari Allah SWT. dan merupakan sesuatu yang
diyakini kebenarannya[3]. Fatwa-fatwa Nabi tersebut dikenal dengan sebutan sunah.
Pada masa sahabat, materi fatwa itu dapat dibagi kepada 2
(dua) bentuk, yaitu:
1.
Fatwa yang materinya hanya pengulangan
kembali apa yang telah jelas disebutkan di dalam al-Qur‟an dan sunnah Nabi SAW, artinya materi
hukum yang di fatwakan oleh para sahabat itu memang sudah jelas dan terang.
2.
Fatwa yang materinya merupakan hasil
ijtihad para sahabat itu sendiri. Dalam berijtihad tersebut, para sahabat tentu
saja tidak melepaskan diri dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an
dan sunnah. Bentuk kedua inilah yang lebih dikenal dengan sebutan “Fatwa
Shahabi” seperti disebutkan di atas.
Pada masa sahabat ini, masalah fatwa itu melembaga dalam
pemerintahan, artinya khalifah menampung semua permasalahan yang memerlukan
penentuan status hukum, kemudian khalifah memberikan fatwanya tentang
masalah-masalah itu.
Khalifah Abu Bakar misalnya, apabila ia tidak menemukan
hukum di dalam kitab Allah dan sunnah, kerap kali ia mengumpulkan para ulama
sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian jika para ulama itu telah sepakat untuk
menetapkan suatu pendapat, Abu Bakar lalu menghukum menurut pendapat yang
disepakati itu.[4] Hal inilah yang dinamai dengan Ijma’.
1. Umar Ibn Khattab;
2. Abdullah
Ibn Mas’ud;
3. Aisyah;
4. Zaid
Ibn Tsabit;
5. Abdullah
Ibn Abbas; dan
6.
Abdullah Ibn Umar.
Selain itu dikenal juga beberapa orang
sahabat lain yang tingkatan jumlah fatwanya di bawah sahabat-sahabat Nabi
tersebut di atas. Diantaranya ialah:
1. Abu
Bakar;
2. Ummu
Salamah;
3. Anas
Ibn Malik
4. Abu
Sa’id al-Khudri;
5. Abu
Hurairah;
6. Utsman
Abdullah Ibn Amru Ibn Ash;
7. Abdullah
Ibn Zubeir;
8. Abu
Musa al-Asy’ari;
9. Sa’ad
Ibn Abi Waqqash;
10. Salman
al-Farisi;
11. Jabir
Ibn Abdullah;
12. Muaz
Ibn Jabal;
13. Thalhah;
14. Zubeir
Ibn Awwam;
15. Abdurahman
Ibn Auf;
16. Amran
Ibn Hussein;
17. Ubadah
Ibn Shamit;
18. Mu’awiyah
Ibn Abi Sofyan
Kemudian pada masa tabi’in dikenal ulama-ulama
pemberi fatwa yang tersebar di negeri-negeri Islam yang pada masa itu juga
telah berkembang. Di Madinah terkenal Sa’id Ibn al-Musayyab, di Mekah terkenal
Atha’ Ibn Abi Rabah, di Kufah terkenal Ibrahim al-Nakh’i dan Say’biy, di Bashrah
terkenal Hasan al-Bisri, di Yaman terkenal Thaus Ibn Kisan dan di Syam terkenal
Makhul.
Di masa periode ketiga dari periode tasyri’,
yaitu masa munculnya Imam-imam Mujtahid besar, pembangun mazhab-mazhab dan
masalah-masalah fiqh mulai dibukukan. Masalah-masalah fiqh yang dibukukan itu
merupakan masalah-masalah hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan
sunnah, fatwa sahabat dan fatwa-fatwa mujtahidin sebagai hasil ijtihad mereka
pada masa itu. Masalah-masalah fiqh dikelompokkan dalam bentuk yang tersusun
baik, sehingga memudahkan pembacanya mencari masalah yang diinginkannya.
Pada periode ketiga ini pula munculnya
perbedaan-perbedaan faham diantara para mujtahid dalam berijtihad, sehingga
tentu saja fatwa-fatwa yang dihasilkannya berbeda pula. Dari perbedaan faham
itulah muncul fatwa-fatwa para mujtahid sebagai hasil ijtihad mereka.
Faktor-faktor ini dihimpun dalam kitab-kitab fiqh yang merupakan sistematisasi
dari hukum syari’at itu sendiri. Kitab-kitab fiqh itulah yang
sekarang terkenal dengan sebutan “kitab kuning.”
Diantara ulama-ulama mujtahid pada masa
ini ada 13 (tiga belas) orang ulama besar mempunyai kemampuan berfikir dan
berijtihad yang luar biasa.[6] Mereka itu adalah:
1.
Sufyan Ibn Uyainah (182 H) di Mekah;
2. Anas
Ibn Malik (179) di Madinah;
3.
Hasan al-Bishri di Bashrah;
4. Abu
Hanifah (150 H) di Kufah;
5.
Sofyan al-Tsauri (161 H) di Kufah;
6.
Al-Syafi’i (204 H) di Mesir;
7.
Al- Auza’i (157 H) di Syria;
8. Al-Laits
(175 H) di Mesir;
9. Abu
Tsaur di Baghdad;
10. Ahmad
Ibn Hambal (241 H) di Baghdad;
11. Daud
al-Zahiry (270 H) di Baghdad;
12. Ibn Jarir (310 H) di Baghdad;
13.
Ishaq Ibn Rahawaih (238 H) di Naisabur.
Setelah periode ini muncullah periode taqlid dalam tubuh umat
Islam. Pada periode ini umat Islam mulai hidup bermazhab-mazhab, mengikuti
imam-imam mujtahid yang terdahulu, maka dari itu terkenallah empat mazhab yang
termahsyur:
1. Mazhab
Syafi’i, pengikut Imam Syafi’i;
2. Mazhab
Hanafi, pengikut Imam Abu Hanifah;
3. Mazhab
Maliki, pengikut Imam Malik bin Anas;
4. Mazhab
Hambali, pengikut Imam Ahmad bin Hambal.
Pada periode taqlid
ini, fatwa-fatwa yang muncul dikalangan umat Islam adalah fatwa-fatwa mazhab.
Keadaan seperti ini berlaku terus keseluruh penjuru dunia Islam sampai sekarang
ini, termasuk Indonesia.
Namun demikian patut juga dikemukakan di sini, kira-kira pada
pertengahan abad ke 18 bangkitlah sejumlah ulama yang dengan tegas dan penuh
tanggung jawab menyerukan perlunya dikalangan umat Islam, demi kemajuan Islam
dan umat Islam itu sendiri. Hal ini dikarenakan mereka menyadari akibat-akibat
yang negatif dari pada tetap dipertahankannya fatwa ulama tentang tertutupnya
pintu ijtihad.
Diantara ulama-ulama itu adalah:
1.
Syah Waliyullah Dihlawi (1703-1768 M), dari New Delhi-India;
2.
Syah Ahmad Khan (1817-1898), dari India;
3.
Syah Jamaluddin al-Afghani (1849-1897),
dari Afganistan;
4. Muhammad
Abduh (1849-1905), dari Mesir;
5. Muhammad
Iqbal (1873-1938), dari Fakistan.[7]
Pada umumya sejak Islam masuk ke indonesia, maka umat Islam
Indonesia adalah penganut mazhab Syafi’i. Namun demikian sejak munculnya
ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam (termasuk dalam masalah-masalah hukum),
pengaruhnya juga sampai ke Indonesia. “Hal ini ditandai dengan munculnya
organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah (18 November 1912 M),
Nahdhatul Ulama (1926) dan lain-lain.[8]
Dengan kata lain dapatlah dikatakan pada tahun-tahun
berdirinya organisasi ini terjadi pergeseran sikap umat Islam dalam memahami
hukum Islam. Kalau pada waktu sebelum adanya organisasi-organisasi ini, para
ulama lebih terikat pada aturan-aturan mazhab Syafi’i saja, maka sejak
munculnya organisasi-organisasi ini keterikatan kepada mazhab dirasakan
melonggar. Oraganisasi-organisasi ini mempengaruhi faham hukum Islam yang
dianut masyarakat.
Muhammadiyah misalnya, mempunyai Majelis Tarjih yang bertugas
mentarjih masalah-masalah hukum Islam yang hasilnya disebarluaskan kepada umat
untuk dijadikan pedoman. Begitu juga Nahdhatul Ulama mempunyai Majelis Syari’ah.
Kedua badan ini dapat dikatakan sebagai Majelis Ifta’[9] atau Dar
al-Ifta‟
dalam kehidupan umat Islam Indonesia.
Selain badan-badan resmi dari organisasi-organisasi di atas,
masalah fatwa dalam kehidupan umat Islam Indonesia juga muncul dalam bentuk
fatwa perorangan. Peran ulama-ulama besar yang hidup di
tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri sangat berpengaruh. Fatwa-fatwa
mereka secara pribadi-pribadi dengan taat dan patuh diikuti oleh umat
pendengarnya. Hal ini umumnya terdapat disetiap daerah, dengan kharismanya yang
kuat ulama-ulama itu dengan tekun membimbing umat Islam untuk menjalankan hukum
Islam itu dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2.4
MUI
Penggunaannya
dalam kehidupan beragama di Indonesia, Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai suatu keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang
terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan pelaksanaan ibadah umat Islam di
Indonesia. MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama,
cendikiawan Islam di Indonesia
untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
fungsi MUI dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang intinya adalah memberi nasihat,
fatwa, dan saran kepada pemerintah; mempererat hubungan sesama, dan menjadi
mediator antara pemerintah dan masyarakat dengan tidak masuk ke dalam hal-hal
praktis baik dalam dunia politik maupun sosial.
Untuk mewujudkan itu semua, MUI kemudian
mencanangkan lima perannya dalam masyarakat, yaitu :
1.
sebagai
pewaris tugas-tugas para nabi;
2.
sebagai
pemberi fatwa;
3.
sebagai
pembimbing dan pelayan umat;
4.
sebagai
gerakan islāh wa al-tajdīd; dan
5.
sebagai
penegak amar ma’ruf dan nahyi munkar.
Sampai saat ini Majelis Ulama
Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan
mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:
No
|
Nama
|
Awal Jabatan
|
Akhir Jabatan
|
1
|
Prof. Dr. Hamka
|
||
2
|
KH. Syukri Ghozali
|
||
3
|
KH. Hasan Basri
|
||
4
|
Prof. KH. Ali Yafie
|
||
5
|
KH. M. Sahal Mahfudz
|
sekarang
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut:
Ø Pengertian Lembaga Al-Futya: sebuah
wadah/lembaga yang bertugas menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas
hukumnya.
Ø Sumber Hukum Fatwa: Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad.
Ø Tingkatan-tingkatan Fatwa: Fatwa Rasulullah SAW, Fatwa para sahabat,
Fatwa para tabi’in, Fatwa para mujtahid, Fatwa para imam mazhab.
Ø Lembaga fatwa yang ada di Indonesia adalah MUI. perannya dalam
masyarakat, yaitu : sebagai pewaris tugas-tugas para nabi, sebagai pemberi
fatwa, sebagai pembimbing dan pelayan umat, dan sebagai gerakan islāh wa
al-tajdīd; dan
Ø sebagai penegak amar ma’ruf dan nahyi
munkar.
3.2 Saran
Kepada lembaga-lembaga pemberi fatwa
disarankan agar:
Ø Dalam menetapkan hukum terhadap suatu persoalan atau
permasalahan yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat, benar-benar
dapat duduk bersama guna mencapai kesatuan pandangan dalam pertimbangan dan
kesimpulan, sehingga fatwa yang dikeluarkan dapat memenuhi kemaslahatan umat.
Ø Dalam menetapkan hukum, pertimbangannya benar-benar
berdasarkan ketentuan dalam sumber-sumber hukum Islam, bukan karena adanya
kepentingan lain tertentu, sehingga kebutuhan masyarakat tentang hukum
betul-betul terlindungi.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1963. Pengantar Hukum
Islam. Cet. III Jakarta:Bulan
Bintang.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1997. Peradilan
& Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Salma Barlinti, Yeni. 2010. Kedudukan Fatwa Dewan
Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia. Jakarta:Badan
Litbang Diklat Kementerian Agama RI.
Salam Mazkur, Muhammad. 1964. Al-Qadha-u Fi
al-Islami. Kairo:al-’Alimiyah.
Wahab Khallaf, Abdul. 1968. Khulashatu al-
Tasyri’I al-Islami. Jakarta:Majlisu al-A’la Indonesia li ad-Da’wati al-
Islamiyatu.
Zuhdi, Masyfuk. 1981. Ijtihad Dan Problematikanya
Dalam Memasuki Abad XV Hijriyah. Cet. I. Surabaya:Bina Ilmu.
[1] Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional
dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta:Badan Litbang Diklat
Kementerian Agama RI, 2010, Hlm. 65.
[2] Abdul Wahab Khallaf, Khulashatu al- Tasyri’I al-Islami,
Majlisu al-A’la Indonesia li ad-Da’wati al- Islamiyatu, Jakarta,
1968, Hlm. 7.
[3] Muhammad Salam Mazkur, Al-Qadha-u Fi
al-Islami, al-’Alimiyah, Kairo, 1964, Hlm. 136
[4] T.M. Hasbi, Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, Cet. III, 1963 Hlm. 41.
[5] Muhammad Salam Mazkur, Loc-Cit. Hlm. 137.
[6] Masyfuk, Zuhdi, Ijtihad Dan
Problematikanya Dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Bina Ilmu, Surabaya, Cet.
I, 1981. Hlm. 30.
[7] Ibid, Hlm. 28.
[8] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
LP3ES, Jakarta, 1980. Hlm. 23.
[9] Ifta’ adalah keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang
tidak mengikat untuk diikuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar