BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan
amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut
dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya
tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang –Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan
prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan
terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai
partisipasi anak.
Keberadaan anak
yang ada di lingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai
tingkah lakunya. Dalam perkembangan kearah dewasa, anak belum stabil.
Lingkungan juga mempengaruhi tumbuh kembangnya.
Proses dari restorative
justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban,
reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi
korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka
dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku
untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai masalah
perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan yang disebut dengan Hukum
Perlindungan Anak. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Berdasarkan uraian di atas, saya
tertarik untuk membuat makalah berjudul “Tabrakan AQJ dalam Pandangan UU No.
22 Thn. 2009 & UU No. 11 Thn. 2012”
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut saya
tertarik mengambil rumusan masalah:
1.
Bagaimana Tabrakan AQJ dalam
pandangan UU No. 22 Thn. 2009?
2.
Bagaimana Tabrakan AQJ dalam
pandangan UU No. 11 Thn. 2012?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Untuk mendeskripsikan Tabrakan AQJ dalam pandangan UU No 22 Thn. 2009.
- Untuk mendeskripsikan Tabrakan AQJ dalam pandangan UU No 11 Thn. 2012.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyajian Data
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes
Pol Rikwanto mengatakan, kecelakaan lalu lintas terjadi di Jalan Tol Jagorawi,
menjelang pintu keluar Pasar Rebo, Jakarta Timur, tepatnya di jalur
Jakarta-Bogor, Km 8, Minggu (8/9/2013) sekitar pukul 00.45 WIB. terjadi antara
mobil Mitsubishi Lancer bernomor polisi B 80 SAL dan Daihatsu Gran Max B 1349
TFN.
"Kronologinya mobil Lancer B 80
SAL datang dari arah selatan menuju utara. Karena tidak konsentrasi, mobil
menabrak pagar pemisah sehingga masuk jalur berlawanan, nyebrang menghantam
Daihatsu B 1349 TFN yang datang dari arah utara ke selatan dan terdorong
mengenai Avanza B 1882 UZJ," tutur Rikwanto seperti dikutip Tribunnews.com.
Akibat kejadian tersebut, enam orang
meninggal dunia, yakni Agus Komara, Agus Wahyudi, Rizki Aditya Santoso, Agus
Surahman, Qomar, dan Nurmansyah.
Sementara sembilan orang lainnya
mengalami luka-luka, yakni Wahyudi, Nugro B, Abdul Kodir, Zulhari, Boby,
Pardomoan S, Pujo Widodo, Ahmad Abdul Qadir, dan Noval Samodra.[1]
Penyidik
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya telah memeriksa AQJ, anak musisi Ahmad
Dhani, pada Senin petang, 21 Oktober 2013. Di dalam pemeriksaan tersebut, AQJ
menjabarkan urutan dari saat dia mulai mengendarai mobil Mitsubishi Lancer
hingga terjadi kecelakaan. Pada Sabtu, 7 September 2013 sekitar pukul 13.00 WIB, AQJ menelepon
ayahnya, Ahmad Dhani. Dia menelepon untuk memberi tahu bahwa dia ingin pergi
main ke tempat temannya di Pondok Indah. Namun, Ahmad Dhani tidak memberi
jawaban. "Karena merasa sudah memberi tahu, diam-diam AQJ mengambil kunci
mobil, kemudian pergi ke rumah temannya," kata Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Rikwanto di Mapolda, Selasa,
22 Oktober 2013.
AQJ
mengatakan dia mengendarai mobil sendiri karena sopir yang biasanya menyopiri
dia tidak masuk. Awalnya dia pergi menjemput Maharani Diva di Mal Pondok Indah.
Kemudian dia menjemput Nouval di Ragunan. "Selanjutnya, dari sana, mereka
menuju Pondok Labu untuk menjemput Fajrina Khairiza hingga pukul 17.30
WIB," kata Rikwanto.
Kemudian,
mereka berempat menuju Grand Indonesia untuk makan hingga pukul 21.30 WIB.
Setelah selesai makan, ke-4 nya merasa lelah dan ingin kembali pulang.
AQJ, menurut
Rikwanto, mengatakan Maharani dijemput oleh keluarganya, sedangkan Fajrina
menunggu taksi untuk pulang. "Setelah setengah jam tidak mendapat taksi,
akhirnya Fajrina diantarkan AQJ ke tempat ibunya di Cibubur," kata
Rikwanto.
Mereka
bertiga: AQJ, Nouval, dan Fajrina, sampai di Cibubur sekitar pukul 24.00 WIB.
"Lalu kembali ke Pondok Indah," kata Rikwanto.
Saat
membayar tol di perjalanan pulang, AQJ merasa capek dan blank.
Namun, AQJ tidak mengatakannya kepada Nouval. "Uang kembalian membayar tol
tidak diambil oleh AQJ," kata Rikwanto.
Kemudian,
AQJ merasa hilang kendali. AQJ menyetir, namun tidak berkonsentrasi.
"Hingga Nouval menegurnya untuk mengatakan bahwa ada mobil di depan. Lalu
AQJ banting setir ke kanan, menabrak pembatas jalan dan Gran Max," kata
Rikwanto.[2]
Gambar
Kerusaan Mobil setelah Kecelakaan
2.2 Analisis Kasus
- Tabrakan AQJ dalam Pandangan UU No. 22 Thn. 2009
Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,
menerjemahkan istilah perbuatan pidana adalah:[3]
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
Unsur-unsur tindak pidana,
menurut Leden Marpaung dalam bukunya Hukum Pidana Bagian Khusus,
membedakan 2 macam unsur yaitu:[4] Unsur
subjektif; Unsur objektif. Selanjutnya Leden Marpaung menjelaskan
beberapa unsur-unsur tindak pidana diantaranya adalah: Unsur Subjektif adalah
unsur-unsur yang melekat pada si pelaku tindak pidana dalam hal ini termasuk
juga sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur Subjektif dari suatu
tindak pidana adalah :
a. Kesengajaan atau ketidak sangajaan (dolus
atau culpa)
b. Maksud pada suatu percobaan
c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat di
dalam kejahatan–kejahatan Pembunuhan, Pencurian, Penipuan.
d. Merencanakan terlebih dahulu, Pasal 340 KUHP.
Kemudian yang
dimaksud dengan Unsur Objektif adalah unsur yang ada hubungan dengan keadaan
tertentu di mana keadaan-keadaan tersebut sesuatu perbuatan telah dilakukan.
Unsur-unsur Objektif dari suatu tindak pidana adalah :
a. Sifat melawan hukum. Misalnya Pasal 338
KUHP.
b. Kausalitas (sebab-akibat) dari
pelaku.
c. Kausalitas yaitu hubungan antara sesuatu
tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan akibat.
Kecelakaan lalu lintas menurut Pasal 1 ke 24 UU No. 22 th 2009
adalah suatu peristiwa dijalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan
kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban
manusia dan/atau kerugian harta benda.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan
lalin yakni :
1.
Kelalaian pengguna jalan,
misalnya : menggunakan handphone ketika mengemudi, kondisi tubuh letih dan
mengantuk, mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk,kurangnya pemahaman
terhadap rambu-rambu lalu lintas dsb.
2.
Ketidaklayakan kendaraan,
misalnya : kendaraan dengan modifikasi yang tidak standard, rem blong,kondisi
ban yang sudah tidak layak pakai,batas muatan yang melebihi batas angkut
kendaraan dsb.
3.
Ketidaklaikan jalan dan/atau
lingkungan. : kondisi jalan yang berlubang, kurangnya pemasangan rambu-rambu
lalu lintas dan marka jalan dsb.
Menurut jenisnya kecelakaan lalu lintas digolongkan atas beberapa
penggolongan sebagaimana diatur dalam Pasal 229 UU No. 22 Thn. 2009 yakni :
1.
kecelakaan lalin ringan, yakni
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
2.
kecelakaan lalin sedang, yakni
kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau
barang. luka ringan dimaksud adalah luka yang mengakibatkan korban menderita
sakit yang tidak memerlukan perawatan inap dirumah sakit atau selain yang
diklasifikasikan dalam luka berat.
3.
kecelakaan lalin berat, yakni
kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dan/atau luka berat. luka berat
dimaksud adalah yang mengakibatkan korban :
·
jatuh sakit dan tidak ada
harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut.
·
tidak mampu terus menerus untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan.
·
kehilangan salah satu panca
indera.
·
menderita cacat berat atau
lumpuh.
·
terganggu daya pikir selama 4
(empat) minggu lebih.
·
gugur atau matinya kandungan
seseorang.
·
luka yang membutuhkan perawatan
rumah sakit lebih dari tiga puluh hari.
Menurut UU No. 22 Thn. 2009 Pasal 310: “Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan
kecelakaan lalin dengan :
1.
Kerusakan kendaraan dan/atau
barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam ) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp.1.000.000,00- (satu juta rupiah).
2.
Korban luka ringan dan
kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00- (dua juta rupiah).
3.
Korban luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.10.000.000,00- (sepuluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut
mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam ) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00- (dua belas
juta rupiah).”
Menurut Pasal 360 KUHP:
(1)
Barang siapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
(2)
Barang siapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Bagi pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana berupa
pidana penjara, kurungan, atau denda dan selain itu dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.
Betapapun kealpaan merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan namun
hendaknya anda selalu waspada ketika anda mengemudikan kendaraan anda dengan
membatasi hal-hal yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalin,karena
nyawa anda tidaklah sebanyak ketika anda bermain play station ataupun game
racing lainnya. Ingat, keluarga ataupun orang-orang terdekat yang anda sayangi
menunggu anda dirumah.
Apalagi anak-anak belum cukup umur
dan tidak mempunyai SIM (Surat Izin Mengemudi). Dalam Pasal 77 UU No. 22
Thn. 2009 dijelaskan:
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis
Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.
(2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
a. Surat Izin
Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b. Surat Izin
Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.
(3) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon
Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.
(4) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi
Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan Pengemudi angkutan umum.
(5) Pendidikan dan
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah
memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan.
Fungsi Surat Izin Mengemudi
berdasarkan Pasal 86:
(1) Surat Izin
Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi.
(2) Surat Izin
Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat
keterangan identitas lengkap Pengemudi.
(3) Data pada
registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan,
penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian.
Pemberian Tanda Pelanggaran pada
Surat Izin Mengemudi Pasal 89 dijelaskan:
(1) Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap
Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan pelanggaran tindak pidana
Lalu Lintas.
(2) Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin
Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Tabrakan AQJ dalam Pandangan UU No. 11 Thn. 2012
Soedarto mengatakan
bahwa peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara yang menyangkut kepentingan anak. [5]Undang-Undang
Pengadilan Anak pada Pasal 40 menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku dalam
acara pengadilan anak ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dengan demikian, hukum acara
yang berlaku bagi anak adalah KUHAP dan Undang-undang Pengadilan Anak.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang
membuat ia harus berhadapan dengan hukum,yaitu
1)
Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos
sekolah atau kabur dari rumah.
2)
Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Undang-undang Pengadilan Anak
menyatakan bahwa “Hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara
pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”, ini berarti
hukum acara yang berlaku (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) diterapkan
juga dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
anak tersebut.[6]
Menurut Pasal 5:www.hukumonline.com
(1)
Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.[7]
(2)
Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penyidikan
dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b.
persidangan
Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
c.
pembinaan,
pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana
atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3)
Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b wajib diupayakan Diversi.
Dalam Pasal 6 dijelaskan Diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses
peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Dalam Pasal 7 dijelaskan:
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Dalam Pasal 8 dijelaskan:
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah
dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang
tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau
masyarakat.
(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;www.hukumonline.com
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dalam Pasal 9 dijelaskan:
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;
dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan
keluarganya, kecuali untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat.
Pasal 10 dijelaskan:
(1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan
tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana
tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan
oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan,
serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing
Kemasyarakatan dapat berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan
di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga)
bulan.
Pasal 11 dijelaskan:
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk,
antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan
di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.
Pasal 12 dijelaskan:
(1) Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.
(2) Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai
dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan
dicapai untuk memperoleh penetapan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya
kesepakatan Diversi.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
(5) Setelah menerima penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan
atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam permasalahan AQJ alias Dul hukuman pidana adalah pilihan terakhir.
Sebab, usia Dul yang masih anak-anak.[8] agar
unsur keadilan restoratif bisa diterapkan dengan cara diversi, yaitu berupa
penggantian kerugian dan biaya perawatan para korban. “Dalam UU Perlindungan
Anak Nomor 3 Tahun 1997 disebutkan kalau pidana menjadi pilihan terakhir,
diutamakan bisa diversi,” Proses diversi bakal menghindarkan Dul dari proses
persidangan.
Proses pidana bagi anak-anak belum
tentu bisa berdampak lebih baik. “Ada proses rehabilitasi yang dilakukan,” Rehabilitasi
yang dimaksud meliputi pembinaan oleh psikolog dan tenaga sosial. “Prinsip
keadilan restoratif ini berangkat dari anggapan kalau penjara justru tak
membuat keadaan anak lebih baik. Proses pengusutan kasus Dul tetap menggunakan
UU Nomor 3 tahun 1997. “Karena UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang perlindungan anak
baru berlaku pada 2014 mendatang. Dul bisa saja dikenai pasal pidana mengingat
umurnya termasuk dalam kelompok umur 12-18 tahun yang tidak luput sebagai objek
hukum pidana. Soal jumlah korban tewas yang tergolong besar, bisa saja memberatkan
jika keluarga korban tidak memaafkan, apabila keluarga korban memaafkan maka
akan meringankan Dul.
Dul selain bertindak pidana,
menghilangkan nyawa korban secara tidak sengaja, dia juga sudah melanggar
peraturan perlalu-lintasan, dimana dia masih tergolong anak-anak mengingat
umurnya Dul saat ini baru 13 tahun. dan pastinya belum mempunya SIM (Surat Izin
Mengemudi
3.2 Saran
Agar tidak terjadi lebih banyak lagi
kecelakaan lalu lintas yang pengemudinya adalah anak-anak. Maka sebagai orang
tua haruslah menjaga anaknya dan memberikan pemahaman bahwa dalam mengemudi
kendaraan bermotor berbeda dengan saat bermain playstation.
Dalam hal ini orang tua berperan
besar selain sebagai pelindung anaknya, orang tua juga memberikan pengetahuan untuk
anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:
Rineka Cipta.
Leden Marpaung. 1991. Hukum
Pidana Bagian Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.
Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu. 1993. Tinjauan
Tentang Peradilan Anak Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafik
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and ClifffordE. Simmonsen,
dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi Sistem
Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF,
Indonesia, 2003,
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/22/064523740/ini-kronologi-kecelakaan-maut-jagorawi-versi-aqj
diakses tanggal 31 Oktober 2013, pukul: 20.00 WIB.
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/anak-ahmad-dhani-terlibat-kecelakaan-maut-di-tol-jagorawi-t52987/
diakses tanggal 31 Oktober 2013, pukul: 20.00 WIB.
.
[1] http://indonesia.faithfreedom.org/forum/anak-ahmad-dhani-terlibat-kecelakaan-maut-di-tol-jagorawi-t52987/ diakses pada tanggal 31 oktober 2013,
pukul: 20.00 WIB.
[2] http://www.tempo.co/read/news/2013/10/22/064523740/Ini-Kronologi-Kecelakaan-Maut-Jagorawi-Versi-AQJ
diakses tanggal 31 Oktober 2013, pukul: 20.00 WIB.
[3] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,
1993, Hlm. 54.
[4] Leden Marpaung, Hukum Pidana Bagian Khusus, Sinar Grafika,
Jakarta, 1991, Hlm. 9
[5] Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu , Tinjauan Tentang Peradilan
Anak Di Indonesia, SinarGrafika, Jakarta, 1993, Hal. 14
[6] Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip
Harry E. Allen and ClifffordE. Simmonsen, dalam Correction in America : An
Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile
Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, Hal.2
[7] Keadilan Restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
[8] Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar