BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Al-Baqarah: 256
· Ayat Al-Qur’an
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# (
s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4
`yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
· Makna Mufrodat
لاَإِكْرَاهَ
|
Tidak ada paksaan, maksudnya dalam memasuki sebuah
agama
|
تَبَيَّنَ
|
Telah nyata, Maksudnya telah jelas dengan adanya
bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang kuat, bahwa keimanan itu berarti
kebenaran dan kekafiran itu kesesatan.
|
بِالطَّغُوْتِ
|
Kepada taghut, maksudnya Thaghut adalah setan sangat
kuat, karena sesungguhnya pengertian tersebut mencakup semua bentuk kejahatan
yang biasa dilakukan oleh ahli Jahiliah, seperti menyembah berhala dan
meminta keputusan hukum kepadanya serta membelanya.
|
· Terjemahan
tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat
kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
· Asbabun Nuzul
Ada seorang sahabat
Anshar dari Bani Salim bin Auf bernama Husain mempunyai dua orang anak yang
beragama Nasrani. Sedangkan dia sendiri taat menjalankan ajaran syariat Islam.
Pada suatu ketika Hushain bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah,
bolehkah aku memaksa dua orang anakku untuk memeluk agama Islam. Sebab kedua
anakku itu tidak taat kepadaku dan masih berkeinginan untuk memeluk agama
Nasrani”.
Kedua anak Hushain itu
memeluk agama Nasrani lantaran mengikuti jejak pedagang yang datang dari Syam.
Mereka berdagang anggur. Kedua anak itupun ikut ke Syam dan hidup di sana.
Ketika kedua anak itu akan berangkat menuju Syam, hushain bermaksud untuk
memaksanya memeluk agama Islam. Tetapi terlanjur anaknya berangkat ke Syam.
Oleh sebab itulah rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk melacak sampai
ke Syam. Maka turunlah ayat ke-256 yang menegaskan tidak boleh mengadakan
paksaan dalam beragama. Sebab sudah jelaslah mana yang benar dan mana yang
salah. Turunnya ayat ke-256 ini sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan
Hushain kepada Rasulullah SAW. (
HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Suddi
dari Ibnu Abbas).
· Tafsir Ayat
Ayat ini menerangkan
tentang kesempurnaan ajaran Islam, dan bahwasanya karena kesempurnaan
bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayat dan keadaannya merupakan ajaran akal dan
ilmu, ajaran fitrah dan hikmah, ajaran kebaikan dan perbaikan, ajaran kebenaran
dan jalan yang lurus, maka karena kesempurnaannya dan penerimaan fitrah
terhadapnya, maka Islam tidak memerlukan pemaksaan, karena pemaksaan itu
terjadi pada suatu perkara yang dijauhi oleh hati, tidak memiliki hakikat dan
kebenaran, atau ketika bukti-bukti dan ayat-ayatnya tidak ada, maka barangsiapa
yang telah mengetahui ajaran ini dan dia menolaknya maka hal itu di dasari
kedurhakaannya, karena (قَد
تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ) “sesung-guhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat” hingga tidak ada
suatu alasan pun bagi seseorang dan tidak pula hujjah apabila
dia menolak dan tidak menerimanya.
Kemudian Allah ta’ala menyebutkan
pembagian manusia kepada dua bagian: pertama, manusia yang beriman
kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya dan kafir kepada thagut yaitu
segala hal yang meniadakan keimanan kepada Allah dari kesyirikan dan selainnya
maka orang ini telah, (اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى)
“telah ber-pegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus” bahkan tali itu lurus di atas ajaran
yang benar hingga sampai kepada Allah dan negeri kemuliaanNya, kedua dapat
diambil dari pemahaman terbalik ayat ini yaitu bahwa barangsiapa yang tidak
beriman kepada Allah bahkan dia kafir kepadaNya dan beriman kepada thagut, maka
dia akan binasa dengan kebinasaan yang abadi dan disiksa dengan siksaan yang
selamanya.
Dan firmanNya, (وَاللهُ سَمِيعٌ) “Dan Allah Maha Mendengar” yaitu kepada segala suara dengan segala macam perbedaan bahasanya
menurut segala bentuk kebutuhannya, dan juga Maha Mendengar akan doa
orang-orang yang bermunajat dan ketundukan orang-orang yang merendahkann diri kepadaNya (عَلِيمٌ) “lagi Maha Mengetahui” segala yang disembunyikan oleh hati, dan segala perkara yang
tersembunyi dan tidak nampak, hingga Dia membalas setiap orang sesuai dengan
apa yang diperbuatnya dari niat maupun amalannya.
1.2 Ali ‘Imran: 159
· Ayat Al-Qur’an
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 (
öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# (
#sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
· Makna Mufrodat
غَلِيْظَ القَلْبِ
|
keras hati adalah ungkapan untuk muka yang selalu
masam, tidak peka terhadap segala keinginan dan kurang memiliki rasa kasih
sayang
|
فَاعْفُ
|
Maafkanlah, maksudnya memaafkann semua kesalahan yang
diperbuat
|
Îû ÍöDF{$#
|
Urusan itu, maksudnya urusan peperangan dan lain-lain
demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru sunnah dan jejak langkah
Rasulullah SAW
|
zMøBztã
|
Berketetapan hati, maksudnya untuk melaksanakan apa
yang dikehendaki setelah bermusyawarah
|
· Terjemahan
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
· Asbabun Nuzul
Pada waktu kaum muslimin
mendapatkan kemenangan dalam peperangan Badar, banyak orang-orang musyrikin
yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW
mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khathab. Rasulullah
SAW meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu bakar
memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan
keluarganya dengan membayar tebusan. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Islam itu
lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar bin khathab juga dimintai
pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja, yang
diperintah membunuh adalah keluarganya. Dimaksudkan agar dibelakang hari mereka
tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu
memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak
belakang ini. Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan.
Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ke-159 yang menegaskan agar Rasulullah SAW
berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati, tentu mereka tidak akan menarik
simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan
sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberikan
peringatan kepada Umar bin Khathab, apabila dalam permusyawarahan pendapatnya
tidak diterima hendaklah bertawakkal kepada Allah SWT. Sebab Allah SWT sangat
mencintai orang yang bertawakkal, dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang
itupun dilepasskan sebagaimana saran Abu Bakar. (
HR. Kalabi dari Abi Shalih
dari ibnu Abbas).
· Tafsir Ayat
Pada ayat ini disebutkan
tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi
Muhammad saw. Untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal
itu, walaupun dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang
berkaitan dengan Perang Uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi
musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah
adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.
Pertama, berlaku
lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Seorang yang melakukan
musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama harus ia
hindari adalah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika
tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi.
Kedua, memberi maaf,
dan membuka lembaran baru. Dalam bahasa ayat diatas. Memaafkan adalah
menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar.
Ini perlu karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedngkan kecerahan pikiran
hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.
Ketiga,
permohonan maghfirah dan ampunanIllahi,
sebagaimana pesan terakhir ayat diatas dalam konteks musyawarah setelah
musyawarah usai yaitu “
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.”
BAB
II
PENUTUP
Kandungan/Kesimpulan Hukum
1. Ayat Al-Baqarah: 256
Pelajaran yang bisa diambil dari ayat ini di
antaranya adalah :
1. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk
agama Islam.
2. Hanya
ada dua pilihan yaitu petunjuk atau kesesatan.
3. Tidak
akan sempurna keikhlasan seseorang kepada Allah kecuali dengan menolak semua
bentuk kesyirikan.
4. Setiap
sesuatu yang disembah selain Allah adalah thogut.
5. Keselamatan
dunia dan akhirat hanya dengan mengingkari thogut dan beriman kepada Allah Ta’ala..
6. Amal
perbuatan itu bertingkat-tingkat. Semakin utama amal perbuatan yang dilakukan seseorang maka semakin
utama dan mulia orang tersebut.
Islam mengajarkan kebebasan dan persamaan serta
kepemilikan hak, Namun perlu digarisbawahi bahwa kebebasan manusia yang
dimaksud dalam Islam tidaklah absolut. Demikian juga hak asasinya. Seorang
muslim yang menerima konsep tauhid, berarti ia mengakui bahwa segala kekuasaan
yang (barang kali) ia punya, bukanlah secara sah miliknya. Tetapi itu adalah bagian
dari kepemilikan Tuhan. Ini adalah
konsep persamaan Islam secara umum.
Dalam Islam di kenal ada dua macam hak, yakni : hak
manusia dan hak Allah. Antara keduanya saling melandasi satu sama lain, hak
Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya. Dalam penerapannya, tidak
ada satu pun yang terlepas dari dari kedua hak tersebut. Shalat misalnya, adalah
hak Allah yang wajib di tunaikan oleh manusia. Ia merupakan kewajiban pribadi
yang bersangkutan dengan Allah, tidak ada kekuatan apapun yang dapat memaksa
seseorang untuk melakukan shalat.
Dalam Islam, al-Dharuriyyat
al-Khams dianggap (oleh beberapa kelompok) sebagai bentuk lain konsep umum
HAM, karena cakupannya yang bersifat universal atas hak-hak dasar manusia.
Al-Dharuriyyat al-Khams mencakup lima hal: Hak beragama (
Hifzh al-Din), Hak hidup (
Hifzh
al-nafs), Hak berpikir (
Hifzh al-‘Aql),
Hak berketurunan (
Hifzh al-Nasl), Hak
memiliki harta (
Hifzh al-Mal)
1. Hak beragama. Islam sepenuhnya bersikap toleran
terhadap kebebasan menganut suatu agama bagi umat manusia. Sikap tersebut
berdasarkan atas tiga hal utama.
Pertama:
Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memasuki agama Islam dari agama yang
dianut sebelumnya. dalam Firman Allah: “
tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang salah.” (al-Baqarah : 256).
Kedua : Di anjurkan kepada umat Islam untuk mendiskusikan dan
memperdebatkan mengenai kebenaran dengan penganut agama lain, kalau memang hal
itu di perlukan.
Ketiga : Iman yang
di anut oleh seseorang menurut ajaran islam tidak di lakukan berdasarkan
ikut-ikutan dan sikap taklid, melainkan dengan penuh keyakinan.
2. Hak hidup. Disebutkan dalam al qur’an: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia
(tanpa alasan yang pantas) tanpa di rencanakan, atau bukan karena melakukan
perusakan di muka bumi maka seakan-akan ia di pandang dia telah membunuh
manusia seluruhmya.” (Al-Ma’idah:32)
Perbuatan menghilangkan nyawa karena alasan dendam atau
untuk menebar kerusakan hanya dapat di putuskan oleh pengadilan yang berwenang.
Dalam setiap peristiwa, tidak ada satu individu pun yang memiliki hak untuk
mengadili secara main hakim sendiri.
Rasulullah saw, telah menyatakan pembunuhan sebagai dosa
yang paling besar setelah menyekutukan tuhan (Allah). Dan juga hadits Rasul
menyatakan: “
Dosa yang paling besar
adalah menyekutukan Tuhan dan membunuh sesama manusia. “Hak untuk Hidup”
yang di berikan kepada segenap umat manusia hanya di berikan oleh islam.
Keterangan ini cukuplah menjadi dasar untuk memasukkan
hak hidup sebagai salah satu hak asasi.
3. Hak berpikir. Implementasi dari prinsip ini, dapat
ditemukan dalam banyaknya larangan bagi manusia, mengerjakan sesuatu yang bisa
mengganggu kesehatan akalnya (seperti minum khomr
dan makan makanan yang tidak sehat. Bahkan dalam taraf ini, syari’ah juga
bersikap jauh ke depan dengan memberikan rambu-rambu hukuman yang tegas sebagai
tindakan pencegahan.
Islam, juga memuliakan kedudukan akal dengan memberikan
celah baginya untuk selalu berkembang. Islam menghormati para pemilik ilmu, serta
menekankan pemahaman akal dalam setiap dogma yang dibawanya.
4. Hak berketurunan. Dalam tujuannya untuk
mensejahterakan manusia, lahirlah tuntunan-tuntunan semacam pernikahan, menjaga
keharmonisan keluarga, dan pengajaran akhlak terhadap hubungan antar jenis.
5. Hak memiliki harta. Prinsip ini, dapat ditemukan dalam
khotbah Rasulullah saw, yang disampaikan pada saat haji terakhir, beliau
mengatakan: “
Hidup dan harta kekayaanmu
adalah terlarang bagi sesama kalian hingga kalian menemui Tuhan-mu pada Hari
Kebangkitan”. Islam secara jelas memberikan hak keamanan atas kepemilikan
harta kekayaan. Al-Qur’an telah menyatakan bahwa mengambil harta kekayaan orang
lain adalah di larang kecuali jika di lakukan melalui cara-cara sah, Hukum
Tuhan menyatakan secara tegas: “
Janganlah
kamu memakan harta sesama dengan cara yang tidak halal”. (Al-Baqarah: 188).
Mayoritas ulama’ sepakat, bahwa segala aspek hukum yang
diterapkan dalam Islam, berlandaskan satu dari lima maksud tersebut. Lima
prinsip ini, dianggap mewakili untuk menunjukkan unsur-unsur pokok tentang hak-hak
asasi.
Hal lain yang luput diperhatikan oleh “Barat” adalah
pemenuhan kewajiban berkaitan dengan pemerolehan hak. Menurut al-Quran,
Kewajiban dan hak tidak dapat dipisahkan. Kewajiban tidak dapat terlaksana
tanpa adanya hak, begitu juga sebaliknya. Al-Quran adalah sebuah dokumen yang
menyerukan kebajikan dan tanggung jawab moral yang kuat. Rasa tanggung jawab
yang komprehensif dapat menjamin keberlangsungan hak-hak manusia, bukan
sebaliknya.
2. Ayat Ali ‘Imran: 159
Adapun hal-hal yang dapat kita
amalkan dalam
kehidupan sehari-hari setelah mempelajari QS Ali Imraan: 159 adalah sebagai berikut:
a.
Tidak boleh berkeras hati dan bertindak kasar
dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tetapi dengan hati yang lemah lembut.
b.
Setiap muslim harus berlapang dada, berperilaku
lemah lembut, pemaaf dan memohonkan ampun kepada Allah.
c.
Dalam kehidupan sehari-hari kita harus
mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap persoalan.
d.
Apabila telah tercapai mufakat, maka setiap
individu harus menerima dan melaksanakan keputusan musyawarah.
e.
Selalu berserah diri kepada Allah sehingga
tercapai keseimbangan antara ikhtiyar dan berdo’a.
Konsep musyawarah sebagai
tradisi yang disyari’atkan di dalam al-Qur’an, salah satunya dalam hal
kebijakan pemerintahan dan politik, dalam surat ‘Ali-‘Imraan ayat 159, bahwa
Allah SWT memerintahkan kepada Nabi untuk melaksanakan musyawarah dengan para
sahabatnya dalam memecahkan berbagai persoalan. Perintah tersebut tidak hanya
dikhususkan kepada nabi Muhammad tetapi kepada seluruh umatnya yang
menjalankan suatu pemerintahan atau politik dalam suatu negara bahwa landasan
dasar pemerintahan Islam yang ideal dalam suatu pemerintahan ialah harus
adanya konsep musyawarah di dalamnya.
Dalam sejarah kita
mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden,
kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk
pemerintahan tertentu, oleh karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan
bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya sesuai dengan kesepakatan
bersama pemerintahan dan seluruh warga yang menghuni suatu negara tersebut.
Hal ini sebagaimana
tercantum dalam piagam Madinah yang di kalangan para sarjana politik (Islam)
dikenal sebagai “Konstitusi Madinah” Piagam Madinah ini, telah didokumentasikan
para ahli sejarah klasik Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152 H) dan Muhammad ibn
Hisyam (w. 218 H).
Konstitusi ini merupakan
rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan kaum Muslim dan Nonmuslim Madinah,
di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, untuk membangun masyarakat politik
bersama. Dalam model pemerintah tersebutlah Rasulullah meletakan salah satu
dasar pemerintahan dalam Islam yaitu musyawarah.
Musyawarah bisa
dihubungkan dengan sistem Demokrasi karena sistem demokrasi memiliki
kecenderungan pemerintahan ke arah sistem politik yang lebih terbuka.
bahwa warga negara atau rakyat harus didengar suaranya dalam proses-proses
pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka, bahwa rakyat punya hak
untuk tidak diperlakukan secara tidak adil.
Sistem Demokrasi memiliki
tempat sebagai sistem pemerintahan yang diterima dengan baik di Indonesia
karena dalam konsep Demokrasi tersebut terdapat nilai-nilai yang di ambil dari
konstitusi Piagam Madinah yang dibawa oleh Nurcholis Majid sebagai bentuk
penyesuaian dengan negara Indonesia yang memilki identitas sebagai negara
majemuk, di mana sebuah perbedaan adalah sebuah identitas murni yang di miliki
negara Indonesia. Yakni adanya perbedaan keyakinan, kebudayaan, dan
perbedaan strata sosial yang menuntut adanya kesamaan hak dan kewajiban sebagai
warga negara.
Adanya sistem Demokrasi seharusnya
bisa membentuk suatu pemerintahan yang berdasarkan syari’at Islam yakni adanya
aktivitas Syura (Musyawarah) dalam pemerintahan tersebut dapat
terwujud Sehingga pemerintahan tersebut dapat digunakan sebagai alat
untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejateraan, keamanan, kedamaian dan
ketentraman masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA