BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dari sisi legalitas, adanya undang-undang yang
mengatur hipotik dan pand
yang tentunya akan memberikan kepastian
hukum bagi para pihak. Contohnya, bagi pelaku industri perkapapalan dan bank
sebagai lembaga pembiayaan, adanya suatu undang-undang yang mengatur hipotek
atas kapal juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan.
Umumnya, perjanjian kredit yang menempatkan bank
sebagai kreditur dan perusahaan perkapalan sebagai debitur ini menambahkan
perjanjian tambahan (assesor) dalam perjanjian pokoknya. Perjanjian
kredit antara bank dan perusahaan perkapalan merupakan perjanjian pokok,
sedangkan perjanjian tambahannya dapat berupa perjanjian hipotik atas kapal.
Salah satu bentuk upaya untuk meminimalkan risiko ini
bisa dilakukan dengan membuat perjanjian tambahan seperti perjanjian hipotik
atas kapal. Ini merupakan salah satu bentuk jaminan kebendaan, dimana jaminan
ini biasa disebut dengan agunan atau kolateral.
Dalam sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan
sebagai jaminan yang melekat pada seluruh benda tidak bergerak, tetapi dalam
perkembangannya jaminan atas tanah sebagai salah satu benda tidak bergerak
telah diatur dalam lembaga sendiri yaitu hak tanggungan. Benda tidak bergerak
yang masih dapat dijadikan obyek hipotek antara lain adalah kapal laut dengan
ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3.
Saat ini di Indonesia hipotek kapal laut tunduk pada
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan konvensi internasional yang telah
diratifikasi Indonesia, yaitu Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim
dan Mortgage 1993. Selain itu, pengaturan hipotek yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata sebagian berlaku juga bagi hipotek kapal laut.
Dalam KUHD, diatur bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat
diletakkan hipotek.
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat perlu dana maupun modal.
Misalnya untuk membuka suatu lapangan usaha tidak hanya dibutuhkan bakat dan
kemauan keras untuk berusaha, tetapi juga diperlukan adanya modal dalam bentuk
uang tunai. Hal itulah yang menjadi potensi perlu adanya lembaga perkreditan
yang menyediakan dana pinjaman. Untuk mendapatkan modal usaha melalui kridit
masyarakat membutuhkan adanya sarana dan prasarana. Maka pemerintah memberikan
sarana berupa lembaga perbankkan dan lembaga non perbankkan.
Masalah jaminan utang berkaitan dengan gadai yang timbul dari sebuah
perjanjian utang-piutang, yang mana barang jaminan tersebut merupakan
perjanjian tambahan guna menjamin dilunasinya kewajiban debitur pada waktu yang
telah ditentukan dan disepakati
sebelumnya
diantara kreditur dan debitur.
Sebagai suatu bentuk jaminan yang diberikan atas benda bergerak yang
mensyaratkan pengeluaran benda gadai dari tangan pemilik benda yang digadaikan
tersebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun data
yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut
1.
Apa yang dimaksud dengan gadai?
2.
Apa yang dimaksud dengan hipotik?
1.3 Batasan Masalah
Batasan
Masalah ini adalah:
1.3.1
Mendeskripsikan mengenai pand.
1.3.2
Mendeskripsikan mengenai hipotik.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Gadai
A. Pengertian
Gadai
Istilah lembaga hak jamin “gadai” ini
merupakan terjemahan kata pand atau vuistpand (bahasa Belanda), pledge atau pawn (bahasa Inggris), pfand
atau faustpfand (bahasa Jerman).
Dalam hukum adat istilah gadai ini disebut
cekelan.[1]
pand atau vuistpand (bahasa belanda) adalah: suatu hak yang diperoleh
kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur
atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas hutangnya, dan yang memberikan kewewenang
kepada kreditur untuk mendapat
pelunasan piutangnya dari barang tersebut dengan mendahului
kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan
putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya
penyelamatan barang itu yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai
gadai yang harus didahulukan. [2]
Perumusan pengertian
gadai diberikan dalam Pasal 1150 KUHPerdata sebagai berikut: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan
kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana
harus didahulukan”.
B. Dasar Hukum
Gadai
Hak jamin gadai diatur dalam Buku II
KUHPerdata, yaitu dalam Dalam Bab Keduapuluh dari Pasal 1150 sampai dengan
Pasal 1160 KUHPerdata. Pasal-pasal mana mengatur Pasal-pasal yang mengatur
perihal pengertian, objek, tata cara menggadaikan, dan hal lainnya berkenaan
dengan hak jaminan gadai.
Ketentuan-ketentuan tentang gadai dalam KUHPerdata,
dengan sedikit perubahan antara lain melalui S. 1875-258, S. 1917-497, S.
1938-276, merupakan ketentuan yang sudah berumur lebih dari 100 tahun.
Kemajuan-kemajuan dalam masyarakat telah menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru,
yang semula belum terpikirkan oleh pembentukan undang-undang. Malahan, ada
ketentuan-ketentuan umum yang semula memang dimaksudkan untuk berlaku terhadap
semua macam penjaminan gadai, tetapi dalam pelaksanaannya menghadapi kesulitan,
karena pada waktu pembuatan undang-undang menciptakan ketentuan tentang gadai
adakalanya hanya teringat kepada gadai yang berwujud saja.[3]
Sejak zaman Belanda hingga saat ini, Perum
Pegadaian telah melaksanakan kegiatan usaha dengan memberikan kredit
berdasarkan sistem hukum gadai. Perum pergadaian didirikan dan baeroperasi
berdasarkan kepada:
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969
tentang Perusahaan Jawaban Pegadaian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
pemerintah Nomor 10 Tahun 1970;
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990
tentang Perusahaan Umum Pegawaian sebagaimana diperbarui dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian
C.
Sifat-sifat Gadai
Sebagai hak kebendaan, pada gadai melekat pula
sifat-sifat hak kebendaan, yaitu:
1.
barang-barang yang digadaikan tetap atau terus
mengikuti kepada siapapun objek barang-barang yang digadaikan itu berada (droit de suite),
2.
bersifat mendahulu (droit de preference),
3.
hak gadai memberikan kedudukan diutamakan (hak
preferensi) kepada kreditor pemegang
hak gadai (Pasal 1133, Pasal 1150 KUHPerdata), dan
4.
dapat beralih atau dipindahkan.
D. Subjek dan
Objek hukum gadai
1.
Subjek hukum gadai
Dari ketentuan dalam Pasal 1150 KUHPerdata,
yang antara lain kata-katanya mengatakan gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak,yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang
lain atas namanya, maka subjek hukum dalam gadai tersebut, yaitu pihak yang
ikut serta dalam membuat/mengadakan suatu perjanjian gadai. Dalam perjanjian
terdiri atas 2 (dua) pihak, yaitu:
a.
pihak yang memberikan jaminan gadai, dinamakan
pemberi gadai (pandgever).
b.
pihak yang menerima jaminan gadai, dinamakan
penerima gadai (pandnemer).
2.
Objek hukum gadai
Dari ketentuan dalam Pasal 1150 KUHPerdata
dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152 bis, Pasal
1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUHPerdata, maka jelas pada dasarnya semua
kebendaan bergerak menjadi objek hukum dalam gadai, yang dapat dibedakan atas:
a.
kebendaan bergerak yang berwujud atau
bertubuh,
b.
kebendaan bergerak yang tidak terwujud atau
bertubuh berupa piutang atau tagihan-tagihan dalam bentuk surat-surat berharga.
E.
Cara Mengadakan Gadai
Meletakkan gadai atas kebendaan yang bergerak
pada umumnya dilakukan dengan cara membawa kebendaan yang hendak digadaikan
tersebut dan selanjutnya menyerahkan kebendaan yang bergerak secara fisik
kepada kreditor pemegang gadai untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Sedangkan
gadai atas kebendaan bergerak yang tidak berwujud pada dasarnya dilakukan
dengan cara harus diberitahukan kepada orang yang berkewajiban melaksanakannya
dan dia juga dapat menuntut supaya ada bukti yang tertulis dari pemberitahuan
dan izinnya pemberi gadai.
F.
Cara Hapusnya Gadai
Berkenaan dengan sebab-sebab berakhir atau
hapusnya jaminan gadai, KUHPerdata tidak mengatur secara khusus. Namun demikian
berdasarkan pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur mengenai lembaga hak jaminan
gadai dapat diketahui hal yang menjadi dasar bagi hapus atau berakhirnya
jaminan hak gadi tersebut, yaitu:
1.
hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian
pendahulu yang dijamin dengan gadai, yangg dikarenakan pelunasan utang,
perjumpaan utang, pembaruan utang atau pembebassan utang,
2.
lepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan
kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan terlepasnya benda yang digadaikan dari
penguasaan kreditor pemegang gadai, dilepaskannya benda gadai secara sukarela
oleh pemegangnya, atau hapusnya benda yang digadaikan,
3.
terjadinya percampuran, di mana pemegang gadai
sekaligus juga menjadi pemilik barang yang digadaikan, dan
4.
terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh
kreditor pemegang gadai.
2.2
HIPOTIK
A. Pengertian
Hipotik
Pengertian hipotik disebutkan dalam Pasal 1162
KUHPerdata, yaitu: “Hipotik adalah suatu
hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak,
untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan”.[4]
Jadi dapat disimpulkan
hipotik adalah hak kebendaan atas benda tidak bergerak (benda tetap), untuk
pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
pemegangnya. Hak hipotik
ini mirip dengan hak gadai, yaitu sama-sama sebagai hak jaminan kebendaan,
sedangkan bedanya, hak gadai merupakan hak jaminan yang dibebankan kepada
kebendaan bergerak, dan hak hipotik merupakan hak jaminan yang dibebankan
kepada kebendaan tidak bergerak.
B. Dasar hukum
Hipotik
Hak jaminan hipotik dapat ditemukan dalam Buku
II KUHPerdata Bab Kedua puluh satu Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232.
C. Sifat-sifat
Hipotik
Sebagai hak kebendaan yang memberi jaminan
atas kebendaan tidak bergerak, maka sifat-sifat yang melekat pada jaminan
hipotik itu, yaitu sebagai berikut:
1.
Perjanjian hipotik bersifat accesoir pada perjanjian pokok tertentu.
2.
Sifat tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid).
3.
Sifat tetap mengikuti kebendaannya (droit de suite atau zaakgevolg).
4.
Sifat terbuka untuk umum (openbaarheid).
5.
Sifat mengandung pertelaan (specialteit).
6.
Sifat mengenal pertingkatan/peringkat.
7.
Sifat mengandung hak didahulukan (droit de preference).
D. Subjek dan
Objek Hipotik
1.
Subjek hukum dalam jaminan hipotik
Dari ketentuan Pasal 1168 KUHPerdata menetapkan
bahwa hipotik tidak dapat diletakkan selainnya oleh siapa yang berkuasa
memindah tangankan benda yang dibebani. Jadi berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 1168 KUHPerdata, hipotik hanya dapat diletakkan/dibebankan oleh
orang/mereka yang mempunyai kewenangan untuk melakukan memindahtangankan benda
yang dibebani dengan jaminan hipotik, baik hal itu ditujukan terhadap debitur
maupun penjamin pihak ketiga.
2.
Objek hukum dalam jaminan hipotik
Dari ketentuan Pasal 1164 KUHPerdata, objek
hukum dalam hipotik itu adalah kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap).
E.
Cara Mengadakan Hipotik
Cara mengadakan hak hipotik dilakukan dengan
suatu akta otentik. Hal ini diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 1171 ayat
(1) KUHPerdata yang menyatakan, bahwa hipotik
hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang
dengan tegas ditunjukkanoleh undang-undang. Artinya pembebanan hipotik
dilakukan dengan akta otentik yang merupakan Akta Hipotik.
F.
Cara Hapusnya Hipotik
Hapunya hipotik disebutkan dalam ketentuan
Pasal 1209 KUHPerdata. Terdapat tiga cara yang menyebabkan berakhir atau
hapusnya hipotik, yang dikarenakan:
1.
Hapusnya perikatan pokok, yaitu hapusnya utang
yang dijamin dengan hipotik yang bersangkutan.
2.
Pelepasan hak hipotiknya oleh kreditor
Pemegang Hipotik
3.
Penetapan peringkat oleh hakim sehubungan
dengan pembersihan benda yang menjadi objek hipotik.
Hipotik
terhadap benda tak bergerak, khususnya terhadap tanah sudah dihapus dan diganti
dengan hak tanggungan berdasarkan undang-undang No.4 tahun 1996 tentang hak
tanggungan.
[1] Rachmadi Usman, Hukum
Kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 263
[3] Satrio,J, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku
2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 303
[4] Rachmadi Usman, Ibid,
hal. 298
DAFTAR PUSTAKA
Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), hal. 263
Suparni,
Niniek. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Rineka Cipta,
1992. Hal 290.
Satrio,J, Hukum Jaminan,Hak Jaminan
Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 303
Tidak ada komentar:
Posting Komentar