BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Banyak orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang
perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak,
yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung.
Di samping itu banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari
satu orang, yang terjadi di masyarakat kita. Sering kali terjadi
perdebatan dalam menjatuhkan hukuman pada pembuat langsung maupun pada pembuat
tidak langsung perbuatan pidana. Untuk menjatuhkan pidana atas suatu
perkara tersebut, maka hakim harus mengetahui mana pembuat yang langsung maupun
yang tidak langsung dan mendasarkan putusannya selain pada undang-undang juga
mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Dalam hukum perdata pertanggungjawaban dapat dialihkan ke orang lain tetapi
dalam hukum pidana tidak bisa, melainkan harus dipertang-gungjawabkan
masing-masing oleh pelakunya.
Untuk mengetahui lebih jelas siapa-siapa dan bagaimana pertang-gungjawabannya
yang harus dijatuhi hukuman ketika terjadi perbuatan penyertaan dalam hukum
pidana maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang perbuatan penyertaan
dalam hukum pidana.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
dan dasar hukum delik penyertaan?
2. Apa macam-macam
bentuk delik penyertaan?
3. Apa
syarat-syarat delik penyertaan?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian dan dasar hukum delik penyertaan.
2. Mengetahui
macam-macam bentuk delik penyertaan.
3. Mengetahui syarat-syarat
delik penyertaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian dan Dasar Hukum Delik Penyertaan
2.1.1
Pengertian
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh
undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut.[1] Demikian juga pembunuhan yang
merupakan suatu tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang yang termaktub
dalam KUHP pasal 338-340, begitu juga dengan delik penyertaan.
Adapun kata penyertaan yang bersinonim
dengan Deelneming aan strafbare feiten tercantum
dalam titel V buku KUHP.[2] Sedangkan arti kata penyertaaan
menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. adalah turut sertanya seorang atau
lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana,[3] jadi suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh banyak orang yang dilakukan secara bersama-sama dengan waktu
yang bersamaan dan niat yang sama pula dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut Aruan Sakidjo
dan Bambang Poernomo, pengertian kata penyertaan atau Deelneming tidak ditentukan secara tegas dalam
KUHP, mereka berpendapat penyertaan adalah suatu perbuatan pidana dapat
dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam
melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan dapat terjadi sebelum perbuatan
dilakukan dan dapat pula penyertaan terjadi bersamaan dilakukannya perbuatan
itu.[4]
Menurut Adami Chazawi
pengertian penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua
bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis
maupun secara fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga
melahirkan suatu tindak pidana.[5]
2.1.2
Dasar Hukum
Dasar hukum dari delik penyertaan terdapat
dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal 56, sedangkan mengenai sanksi
delik penyertaan terdapat dalam pasal 57. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut
adalah:
Pasal 55:
(1). Dipidana sebagai si pembuat sesuatu
tindak pidana:
ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan
atau yang turut serta melakukan perbuatan itu.
ke-2. orang yang dengan
pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai
paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan,
dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2). Adapun tentang orang yang tersebut
dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan
yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.
Pasal 56:
Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana:
ke-1. orang yang dengan sengaja membantu
wwaktu kejahatan itu dilakukan.
ke-2. orang yang dengan sengaja memberi
kasempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Pasal 57;
(1) Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan dikurangi
sepertiganya, bagi pembantu.
(2) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau dengan pidana
seumur hidup, maka dijatuhkanlah pidana penjara yang selama-lamanya lima belas
tahun.
(3) Pada menentukan pidana hanya diperhatikan perbuatan yang sengaja dimudahkan
atau dibantu oleh pembantu itu, serta dengan akibat perbuatan itu.[6]
Pasal-pasal tersebut merupakan dasar hukum yang menjadi acuan hakim untuk
menentukan kedudukan pelaku dalam melakukan tindak pidana dan sanksi yang akan
dikenakan terhadap pelaku tindak pidana penyertaan. Hakim dalam menentukan
sanksi pidana terlebih dulu harus melakukan penafsiran pasal-pasal tersebut,
pelaku termasuk kategori apa, dan kemudian dapat mengambil putusan sanksi
pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak pidana.
2.2
Macam-macam Bentuk Delik Penyertaan
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas
maka delik
penyertaan dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Yang Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen)
Pengertian yang melakukan perbuatan (pleger) adalah: orang yang karena perbuatannyalah
yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu
tidak akan terwujud.[7] Secara formil pleger adalah siapa
yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam
tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara
meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang
oleh undang-undang.
Menurut pasal 55, yang
melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau
melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang
lain dalam mewujudkan tindak pidana itu, jika dilihat dari segi perbuatan maka
mereka berdiri sendiri dan perbuatan mereka hanya memenuhi sebagian dari
syarat-syarat tindak pidana.
2. Yang Menyuruh Melakukan (Doenplegen, Medelijke Dader)
Menurut Martiman Projohamidjoyo, yang
dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan ialah seseorang yang berkehendak
untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak dilakukan sendiri, akan tetapi
menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal
55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal
ini terjadi apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya
merupakan tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang.
3. Yang Turut Serta Melakukan (Medeplegen, Mede Dader)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut
serta melakukan (mede plegen), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta
melakukan ialah ”setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakuakn suatu tindak pidana”.
Keterangan ini belum menberikan penjelasan yang tuntas, sehingga menimbulkan
perbedaan pandangan. Begitu halnya menurut Wirjono Prodjodikoro,
bahwa dalam KUHP sendiri tidak ada penegasan secara jelas mengenai maksud dari
turut serta melakukan (mede plegen).
Turut serta pada mulanya disebut dengan
turut berbuat (meedoet) yang berarti bahwa
masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama memenuhi rumusan
tindak pidana, ini merupakan pandangan yang bersifat sempit yang dianut oleh
Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi
apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak pidana dan
pandangan ini condong pada pandangan yang bersifat obyektif. Adapun pandangan
yang bersifat luas tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama
dengan perbuatan seorang pembuat (dader),
perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudah cukup
memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana asalkan adanya unsur
kesengajaan yang sama dengan kesengajaaan pembuat pelaksana. Pandangan ini
condang pada pandangan yang bersifat subjektif.
4. Yang Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker)
Orang yang membujuk melakukan perbuatan merupakan
bagian yang sangat penting dalam melakukan suatu tindak pidana. Orang ini
menempati posisi yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Karena dia
memiliki peran akan dilaksanakan atau tidaknya suatu tindak pidana selain orang
yang melakukan dan orang yang menyuruh melakukan tindak pidana.
Yang dimaksud dengan
yang membujuk melakukan tindak pidana atau disebut pembujuk adalah setiap
perbuatan yang menggerakkan yang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana. Orang yang sengaja membujuk melakukan
tindak pidana disebut juga auctor intellectualis,
seperti pada orang yang menyuruh melakukan tindak pidana tidak mewujudkan
tindak pidana secara meteriel tetapi melalui orang lain.[8]
Menurut pasal 55 ayat
1 ke-2 KUHP dirumuskan bahwa penganjur atau pembujuk adalah orang yang dengan
pemberian, upah, perjanjian, penyalah gunaan kekuasaan, paksaan ancaman dan
tipu daya atau karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan dengan
sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan.
Menurut Martiman memberikan penafsiran
mengenai ikhtiar yang dimaksud dalam pasal 55 KUHP tersebut sebagai berikut
ini:
1. Pemberian-pemberian; bentuk dari pemberian ini tidak hanya berupa uang
tetapi dapat juga berupa barang bahkan mungkin berupa jasa.
2. Janji-janji; adanya bentuk janji-janji menandakan bahwa adanya kesengajaan
dari penganjur.
3. Menyalahgunakan kekuasaan; artinya menggunakan kekuasaan secara salah.
4. Menyalahgunakan kedudukan terhormat; adanya bentuk seperti ini hanya di
Indonesia dan tidak terdapat di KUHP Belanda.
5. Kekerasan; yang dimaksud dengan kekerasan adalah apabila orang
mempergunakan kekerasan terhadap orang lain agar orang itu melakukan kejahatan.
6. Ancaman.
7. Muslihat; hal ini merupan tipu daya, akal licik atau dengan kata-kata.
Dari semua hal tersebut diatas merupakan
daya upaya yang dilakukan seorang penganjur untuk memnganjurkan atau membujuk
seseorang untuk melakukan tindak pidana yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang dengan pidana. Seseorang dapat dikatakan seorang penganjur atau
pembujuk harus memenuhi beberapa syarat yang akan dibahas dalam pembahasan
berikutnya.
Menurut pasal 56 bentuk penyertaan yang
terakhir adalah bentuk membantu melakukan tindak pidana atau pembantuan (Medeplichtinghed). Bentuk ini merupakan bentuk terakhir
daari delik penyertaan dan sering dilakukan oleh seseorang dalam melakukan
tindak pidana. Sesuai dengan rumusan pasal 56 dapat dibedakan
macam-macam bentuk pembantuan dalam melakukan perbuatan:
1. Bentuk pertama adalah pembantuan yang dilakukan pada waktu melakukan
perbuatan, yaitu dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan. Hal ini hampir sama dengan turut serta melakukan perbuatan (medeplegen). Dalam bentuk turut serta melakukan
perbuatan adanya kerja sama yang erat antara mereka yang melakukan perbuatan,
sedangkan dalam bentuk pembantuan mempunyai sifat kerja sama yang kadarnya
kurang dari kadar turut serta melakukan. Orang yang membantu hanya melakukan
peranan yang tidak beitu penting.
2. Bentuk yang kedua adalah pembantuan yang dilakukan sebelum perbuatan itu
dilakukan dan ini terdiri dari pemberian kesempatan, sarana keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Selain kedua bentuk tersebut diatas, terdapat juga beberapa bentuk
pembantuan yaitu; pembentuan aktif dan pembantuan pasif. Pembantuan aktif
adalah bentuk pembantuan dengan melakukan perbuatan aktif, perbantuan aktif
dapat juga disebut pembantuan materiil (materiele medeplitighed).
Pada bentuk pembantuan materiil dapat terjadi hanya pada pembantuan pada
saat pelaksanaan kejahatan. Adapun bentuk pembantuan pasif adalah bentuk
pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan aktif atau secara langsung.[10]
2.3
Syarat-syarat Delik Penyertaan
Suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi
apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Pada umumnya syarat-syarat tindak pidana dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
1. Unsur obyektif: unsur yang menitik beratkan pada wujud perbuatan. Dalam unsur ini terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
a. Perbuatan manusia, yaitu suatu perbuatan positif atau perbuatan negatif
yang menyebabkan pelanggaran pidana.
b. Akibat perbuatan yaitu akibat yang terjadi atas merusak atau membahayakan
kepentingan-kepentingan hukum, ada yang timbul bersamaan dengan perbuatan dan
ada yang timbul setelah perbuatan.
c. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat
pada waktu melakukan perbuatan.
d. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum, perbuatan itu melawan hukum
jika bertentangan dengan undang-undang.
2. Unsur subjektif: kesalahan (schuld) dari
orang yang melanggar norma pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat
dipertanggungjawabkan. Hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat
dipersalahkan jika orang itu melanggar norma hukum.[11] Dari sudut subyektif, ada dua syaratnya,
yaitu:
a. Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak
diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak
pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak
pidana.
b. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya
sengan peserta lain, dan bahkan dengan napa yang diperbuat oleh peserta lain.
Selain kedua syarat umum tersebut,
masing-masing peserta mempunyai syarat-syarat sendiri sehingga dapat disebut
sebagai pelaku yang turut melakukan tindak pidana. Masing-masing peserta yang
turut serta melakukan tindak pidana mempunyai isyarat-syarat sebagai berikut:
1. Mereka yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen).
Pada kenyataannya menentukan seseorang pelaku tidak sukar, kriterianya cukup
jelas, ialah secara umum perbuatannya telah memenuhi semua unsur-unsur tindak
pidana. Bagi tindak pidana formil wujud perbuatannya ialah sama dengan
perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sedangkan dalam tindak
pidana meteriel perbuatan apa yang dilakuakan telah menimbulkan akibat yang
dilarang oleh undang-undang.
2. Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen), untuk
dapat dikatakan sebagai menyuruh melakuakan perbuatan, haruslah memenuhi
persyaratan, yakni: orang yang disuruh itu harus orang yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan menurut KUHP.[12]
3. Mereka yang turut serta melakukan perbuatan (Medeplegen).
Untuk dapat dikatakan sebagai medepeger seseorang harus mempunyai beberapa
syarat-syarat:
a. Apabila beberapa pelaku peserta melakukan sesuatau perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dengan kekuatan diri sendiri.
b. Antara beberapa pelaku yang melakukan bersama-sama dalam suatu perbuatan
yang dilarang itu harus ada kesadaran bahwa mereka bekerja sama. Kesadaran itu dapat timbul karena
pada umumnya apabila pelaku peserta itu, sebelumnya melakukan sesuatu perbuatan
yang dilarang, terlebih dahulu telah melakukan perundingan atau kesepakatan
untuk melakukan kejahatan.
BAB III
KESIMPULAN
Penyertaaan adalah turut sertanya seorang atau lebih
pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana, yang dilakukan secara
bersama-sama dengan waktu yang bersamaan dan niat yang sama pula dalam
melakukan tindak pidana tersebut. Dasar hukum dari delik penyertaan
terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal 56, sedangkan mengenai
sanksi delik penyertaan terdapat dalam pasal 57.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas maka delik
penyertaan dapat digolongkan menjadi (1) Yang Melakukam
Perbuatan (Dader, Plegen), (2) Yang Menyuruh Melakukan (Doenplegen, Medelijke Dader), (3) Yang Turut Serta
Melakukan (Medeplegen, Mede Dader), (4) Yang
Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker).
Suatu tindak
pidana dapat dikenakan sanksi apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Pada umumnya syarat-syarat tindak pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu Unsur obyektif dan Unsur
subjektif. Selain kedua syarat umum tersebut, masing-masing peserta mempunyai
syarat-syarat sendiri sehingga dapat disebut sebagai pelaku yang turut
melakukan tindak pidana. Masing-masing peserta yang turut serta melakukan
tindak pidana mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Mereka yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen), ialah secara umum perbuatannya telah
memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana.
2.
Mereka yang menyuruh melakukan
perbuatan (Doenplegen), yakni orang yang
disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHP.
3.
Mereka yang turut serta melakukan
perbuatan (Medeplegen), yaitu peserta
melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang dan melakukan bersama-sama suatu perbuatan yang
dilarang dengan kesadaran bahwa mereka bekerja sama.
DAFTAR PUSTAKA
Aruan Sakidjo dan
Bambang Poernomo. 1990. Hukum Pidana Dasar Aturan umum
Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Chazawi, Adami. 2002.
Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada
Moeljatno. 1983. Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan. Jakarta: Bina Aksara
Prodjodikoro, Wirjono.
1989. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cet. Ke-7.
Bandung: Refika
Prodjohamidjojo, Martiman.
1997. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cet.
Ke- 1. Jakarta: Pradnya Paramita
Sugandhi, R.
1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional
Susilo, R. 1983. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum
dan Delik-delik Khusus. Bogor: Politeia
[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3
Percobaan dan Penyertaan, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2002),
hlm. 67.
[2] Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cet.
Ke- 1, (Jakarta: Pradnya Paramita,1997), hlm 49.
[3] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas
Hukum Pidana Di Indonesia, Cet. Ke-7, (Bandung: Refika, 1989), hlm.
108.
[4] Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi,
(Jakarta: Ghalia Indonesia,1990), hlm. 141.
[11] R. Susilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan
Delik-delik Khusus (Bogor: Politeia, 1983), hlm. 26-27.
[12] Yang dimaksud dengan
tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah orang gila, anak-anak dibawah umue 12
tahun, orang bawahan yang tidak mempunyai kualitas sendiri (lihat Martiman
Prodjohamidjojo, Pelajaran Hukm Pidana., hlm
54)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar