BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena
hubungan keluarga, pernikahan, maupun
karena memerdekakan hamba sahaya (wala’). Harta Warisan yang dalam
istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah
sesuau yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau
materi lainya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada
ahli warisnya.[1]
Didalam
Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus. Masalah-masalah
khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian
harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan
kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan
secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk
persoalan-persoalan yang khusus pula. Misalnya sebuah persoalan kewarisan yang
harus diselesaikan secara khusus, yaitu terdiri dari Al-Gharawain (Umariyatin).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari gharawain?
2. Bagaimanakah perbedaan pendapat tentang
gharawain?
3. Bagaimanakan permasalahan gharawain?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan pengertian dari gharawain?
2. Mendeskripsikan perbedaan pendapat tentang
gharawain?
3. Mendeskripsikan permasalahan gharawain?
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Pengertian Gharawain
Gharawain, dari lafadz ghara (bintang cemerlang). Itu
disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan bintang yang cemerlang. Nama
lain dari gharawain adalah Umariyatain karena cara penyelesaiannya
tersebut diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.[2]
Gharawain atau yang disebut umariyatain merupakan permasalahan pada
ilmu mawarits yang mana apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, ayah dan
ibu, ataupun istri, ayah, dan ibu. Permasalahan ini disebut sebagai
permasalahan Umariyatain karena perdebatan tentang masalah ini muncul pada masa
Kholifah Umar bin Khattab ra. Pada waktu itu Kholifah Umar berdebat dengan Ibnu
Abbas ra tentang lafadz “jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja)” dalam Q.S An Nisa ayat
11.
2.2
Perbedaan
Pendapat tentang Gharawain
Ada perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini:
1.
Menurut Umar r.a, yang kemudian
diikuti oleh para sahabat, seperti Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, serta
para ahli ra’yi dan para ahli fuqaha, seperti Al-Hasan, As-Saury, Imam Malik,
dan Imam Syafi’i, ibu menerima bagian 1/3 sisa. Dengan demikian,
penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
AW
|
Bagian
|
AM= 6
|
Suami
|
½
|
½ x 6 = 3
|
Ibu
|
1/3 sisa
|
1/3 x 3 = 1
|
Ayah
|
Ashabah
|
6 - 4 = 2
|
Jumlah
|
6
|
AW
|
Bagian
|
AM= 12
|
Istri
|
¼
|
¼ x 4 = 1
|
Ibu
|
1/3 sisa
|
1/3 x (4-1) = 1
|
Ayah
|
Ashabah
|
4 – 2 = 2
|
Jumlah
|
4
|
Mereka berpendapat demikian dengan mengemukakan alasan sebagai
berikut: Rangkaian kalimat فلأ مه الثلث dalam firman Allah
SWT. Surat An-Nisa ayat 11, maksudnya adalah sepertiga peninggalan, baik
seluruh harta peninggalan atau sebagiannya. Andaikan tidak mengacu pada
pengertian demikian, niscaya firman Allah SWT. وورثه
ابوه tidak
berarti apa-apa. Ketika menerangkan bahwa jika yang mewarisi hanya ibu dan ayah
saja, Allah menjelaskan bagian ibu, yaitu 1/3 nya, yang berarti 1/3 harta yang
diwarisi oleh ibu dan ayah. Jadi, sekiranya ibu dan ayah tidak bersama-sama
dengan suami atau istri, mereka mendapat hak atas seluruh harta penunggalan
sehingga bagian ibu pun, adalah 1/3 seluruh harta peninggalan. Apabila ibu dan
ayah mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri, bukan seluruh
harta peninggalan yang dijadikan hak oleh keduanya, melainkan sisa setelah
diberikan kepada salah seorang suami istri, ibu hanya menerima 1/3 sisa harta
peninggalan.
Sesuai dengan nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya hanya ibu dan ayah
saja, ibu mendapat bagian 1/3 secara fard dan ayah menerima sisanya,
yaitu 2/3, dengan perbandingan 1:2. ketentuan ini tidak berlaku bila ibu-ayah
mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri. Kalau ini dijalankan,
bagian ibu tentumelebihi dari separuh bagian ayah.
Dalam masalah pertama, ibu mendapat 1/3 dari asal masalah 6 = 2,
sedangkan ayah hanya mendapat sisanya, yaitu 6-3-2 = 1.
Dalam masalah kedua, ibu menerima 1/3 dari asal masalah 12 = 4,
sedangkan ayah hanya menerima 12-3-4 = 5.
Jadi, perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam masalah
pertama 2:1, dan perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam maslah
kedua = 4:5, yang demikian ini bertentangan dengan nash.
2.
Ibnu Abbas r.a, berpendapat bahwa
ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat bagian 1/3 harta peninggalan. Oleh
karena itu, penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
AW
|
Bagian
|
AM = 6
|
Suami
|
½
|
½ x 6 = 3
|
Ibu
|
1/3
|
1/3 x 6 = 2
|
Ayah
|
Asabah
|
6 – 5 = 1
|
Jumlah
|
6
|
AW
|
Bagian
|
AM = 12
|
Istri
|
¼
|
¼ x 12 = 3
|
Ibu
|
1/3
|
1/3 x 12 = 4
|
Ayah
|
Asabah
|
12 – 7 = 5
|
Jumlah
|
12
|
Untuk mempertahankan pendapatnya, Ibnu Abbas r.a. mengemukakan
alasan sebagai berikut:
a.
Kalimat فلآ
مه الثلث dalam surat An-Nisa: 11, maksudnya adalah 1/3 harta
peninggalan ثلث الباقى sebab kalimat
tersebut di-ataf-kan pada kalimat فلآ مه الثلث
ماترك sebagaimana kalimat فلها النّصف juga di-ataf-kan padanya sehingga نصف ماترك. Dengan demikian, kalimat فلآمه الثلث lengkapnya adalah فلآمه الثّلث ماترك yang berarti, “Maka ibunya mendapat
sepertiga harta peninggalan”.
b.
Semua macam fard yang
disebutkan dalam Al-Quran itu disandarkan kepada pokok harta peninggalan yang
dibagi. Misalnya: fard ½ artinya ½ harta peninggalan, fard ¼
artinya ¼ harta peninggalan, dan seterusnya setelah dilunaskannya wasiat dan
utang-utang orang yang meninggal. Seandainya fard ibu 1/3 sisa harta
peninggalan itu tidak ditunjuk oleh nash, harus diartikan dengan 1/3
seluruh harta peninggalan.
c.
Ibu termasuk ahli waris ashabul
furud dan ayah termasuk ahli waris asabah binafsih (dalam masalah
tersebut), sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. Yang berbunyi:
الحقواالفرائض
باهلها فما بقي فلاولى رجل ذكر (متفق عليه)
Artinya:”Berikanlah harta pusaka kepada
mereka yang berhak. Sesudah itu, sisanya (kalau masih ada) untuk orang
laki-laki yang lebih utama”.
3.
Ibnu Sirin dan Abu Tsaur mengatakan
bahwa dalam masalah pertama, suami bersama-sama dengan ibu dan ayah maka ibu
mendapat 1/3 sisa harta peninggalan. Adapun dalam masalah yang kedua, istri
bersama-sama ibu dan ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 harta peninggalan, seperti
pendapat Ibnu Abbas r.a, sehingga penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
AW
|
Bagian
|
AM = 6
|
Suami
|
½
|
½ x 6 = 3
|
Ibu
|
1/3 sisa
|
1/3 x (6-3)
= 1
|
Ayah
|
Asabah
|
6 – 4 = 2
|
Jumlah
|
6
|
AW
|
Bagian
|
AM = 12
|
Istri
|
¼
|
¼ x 12 = 3
|
Ibu
|
1/3
|
1/3 x 12 = 4
|
Ayah
|
Asabah
|
12 – 7 = 5
|
Jumlah
|
12
|
Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah bahwa ibu dan ayah jika
bersama-sama mewarisi dengan tidak ada ahli waris yang lain, maka ibu menerima
bagian 1/3 dan ayah menerima ashabah. Karena itu cara demikian wajib
diberlakukan manakala terdapat sisa. Mereka memandang sebagai suatu hal yang
menyalahi prinsip apabila bagian yang diterima ibu lebih besar daripada bagian
yang diterima ayah.
2.3 Permasalahan dalam Gharawain
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan
yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan
diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan
beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan
beberapa pihak.[3]
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu
sebagai berikut:
1.
Jika seorang yang meninggal dunia
memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah
2.
Jika seorang meninggal memiliki
ahli waris istri, ibu, dan ayah
Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak
terhijab karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus warisan itu
merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus ditentukan siapa
saja yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian siapa yang
terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan, yaitu
suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan
hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah, dapat
dipastikan bahwa persoalan warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang
diistilahkan dengan gharawain.[4]
Adapun penyelesaian kasus dalam masalah Gharawain ini tidaklah
seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya, sebab apabila
diselesaikan secara biasa maka hasilnya sebagai berikut :
AW
|
Bagian
|
AM (6)
|
Suami
|
½
|
3
|
Ibu
|
1/3
|
2
|
Bapak
|
Ashabah
|
1
|
Jumlah
|
6/6
|
Apabila penyelesaiannya dilakukan seperti di atas terlihat hasilnya
bahwa untuk ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan bapak hanya memperoleh 1. Padahal
semestinya pendapatan bapak haruslah lebih besar dari pendapatan ibu. Sebab
bapak selain sebagai shahibul fardh juga merupakan ashabah (dapat menghabisi
seluruh harta).
Jadi, persoalan Al-Gharawain ini terletak pada pendapatan ibu yang
lebih besar dari pendapatan bapak. Untuk menghilangkan kejanggalan ini haruslah
diselesaikan secara khusus, yaitu pendapatan ibu bukanlah 1/3 dari harta
warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa harta.[5]
Maka penyelesaian yang benar adalah sebagai berikut :
AW
|
JP
|
AM (12)
|
Istri
|
¼
|
3 (sisa=9)
|
Ibu
|
1/3 dari sisa
|
1/3 x sisa(=9) = 3
|
Bapak
|
Ashabah
|
6
|
Jumlah
|
12/12
|
Prinsip dasarnya adalah bagian laki-laki adalah dua kali lipat
bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan bapak bersama-sama
dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri
diberikan maka ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.[6]
Ø Contoh Kasus:
1.
Untuk masalah
pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil
suami) dan bapak 'ashabah. Misalnya harta peninggalannya adalah sebagai berikut
:
AW
|
JP
|
AM (Rp. 60.000.000)
|
Suami
|
½ x (Rp. 60.000.000)
|
Rp.
30.000.000_sisa (Rp. 30.000.000)
|
Ibu
|
1/3 x (Rp. 30.000.000)
|
Rp. 10.000.000
|
Bapak
|
Ashabah
|
Rp. 20.000.000
|
Jumlah
|
Rp. 60.000.000
|
2.
Untuk masalah
kedua maka bagian masing-masing adalah istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil
hak istri) dan bapak 'ashabah. Misalnya harta peninggalan sebesar Rp. 90 Juta
Cara pembagiannya adalah sebagai berikut:
AW
|
JP
|
AM (Rp. 90.000.000)
|
Suami
|
¼ x (Rp. 90.000.000)
|
Rp. 22.500.000_sisa (Rp. 67.500.000)
|
Ibu
|
1/3 x (Rp. 67.500.000)
|
Rp. 22.500.000
|
Bapak
|
Ashabah
|
Rp. 45.000.000
|
Jumlah
|
Rp. 90.000.000
|
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
·
Gharawain atau yang disebut umariyatain
merupakan permasalahan pada ilmu mawarits yang mana apabila ahli waris hanya
terdiri dari suami, ayah dan ibu, ataupun istri, ayah, dan ibu.
·
Ada perbedaan pendapat tentang
permasalahan gharawain ini:
1.
Menurut Umar r.a, yang kemudian
diikuti oleh para sahabat Sesuai dengan nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya
hanya ibu dan ayah saja, ibu mendapat bagian 1/3 secara fard dan ayah
menerima sisanya, yaitu 2/3, dengan perbandingan 1:2. ketentuan ini tidak
berlaku bila ibu-ayah mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri.
Kalau ini dijalankan, bagian ibu tentumelebihi dari separuh bagian ayah.
2.
Ibnu Abbas r.a, berpendapat bahwa
ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat bagian 1/3 harta peninggalan.
3.
Ibnu Sirin dan Abu Tsaur mengatakan
bahwa dalam masalah pertama, suami bersama-sama dengan ibu dan ayah maka ibu
mendapat 1/3 sisa harta peninggalan. Adapun dalam masalah yang kedua, istri
bersama-sama ibu dan ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 harta peninggalan.
·
Masalah gharawain terjadi hanya
dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut: Jika seorang yang meninggal dunia
memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah. Jika seorang meninggal memiliki ahli
waris istri, ibu, dan ayah.
Prinsip dasarnya adalah bagian laki-laki adalah dua kali lipat
bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan bapak bersama-sama
dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri
diberikan maka ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.
DAFTAR PUSTAKA
Djalal. Maman
Abd. 2006. Hukum Mawaaris. Bandung:
CV Pustaka Setia
Khairul Umam, Dian. 1999. Fiqh Mawaris.
Bandung: Pustaka Setia
Otje Salman dan Mustafa Haffas. 2006. Hukum
Waris Islam. Bandung: Refika Aditama
Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqh Mawaris,
cet IV. Jakarta: Raja Grafindo persada
Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan
Islam. Jakarta: Kencana
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak.
2008. Hukum Waris Islam; lengkap dan praktis. Jakarta: Sinar grafika
[1]Djalal.
Maman Abd, Hukum Mawaaris,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2006 ) hlm.43,44
[2] Prof. DR. H. R. Otje Salman S.,S.H dan
Mustafa Haffas, S.H. Hukum Waris Islam. (Bandung: Refika Aditama, 2006) hal.75
[3] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan
Islam. (Jakarta: Kencana, 2005 ) hal. 108
[4] Drs. Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris.
(Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal.189
[5] Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak,
Hukum Waris Islam; lengkap dan praktis, ( Jakarta : Sinar grafika, 2008) hal.
133
trims y mbak ria nuris!
BalasHapusPlaytech in Malta, play with real casino software - DrmC
BalasHapusThis 안산 출장마사지 new gambling and gaming app 구리 출장마사지 from Playtech has gone live, and you can 구미 출장안마 get 성남 출장마사지 your hands on some great games for real money with the bonus and 통영 출장안마