BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam menjalankan bisnis, tentunya dilakukan untuk mendapat keuntungan,
dan ini dibenarkan dalam Islam. Karena dilakukannya bisnis memang untuk
mendapatkan keuntungan materi (qimah
madiyah). Dalam hal ini konteks ini hasil yang diperoleh, dimiliki dan
dirasakan, memang berupa harta.
Dalam realitas masyarakat di sekitar kita kepemilikan atas harta
merupakan standarisasi dalam menentukan kebahagiaan hidup seseorang, harta yang
melimpah menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berbahagia. Sehingga dengan
asumsi tersebut menjadi sebuah alasan mengapa manusia cenderung berlomba-lomba
untuk memperbanyak harta kekayaan yang dimiliki, karena keburuhan manusia atau
kesenangan manusia terhadap harta sama posisinya dengan kenutuhan hidup manusia
terhadap anak dan atau keturunan. Sehingga dengan demikian kebutuhan manusia
terhadap harta merupakan kebutuhan yang mendasar, sebagaimana Firman Allah swt
dalam QS. Al-Kahfi:46 yang artinya:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
dorongan untuk memiliki harta?
2. Bagaimanakah
fungsi harta?
3. Bagaimanakah
manfaat harta?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan ini adalah:
1.
Mendeskripsikan dorongan
untuk memiliki harta.
2.
Mendeskripsikan
fungsi harta.
3.
Mendeskripsikan
manfaat harta.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dorongan untuk Memiliki Harta
Islam memandang
manusia adalah makluk yang memiliki dorongan-dorongan dan insting-insting
social yang merupakan fitrah. Di antara insting itu adalah insting yang
menyukai harta benda yang mendorong manusia melakukan usaha, membangun dan
merasa ingin abadi. Pengakuan adanya insting ini banyak sekali diungkapkan dala
al-Qur’an antara lain, dalam firman Allah SWT:
cqè=à2ù's?ur y^#uI9$# Wxò2r& $tJ©9 ÇÊÒÈ cq7ÏtéBur tA$yJø9$# ${7ãm $tJy_ ÇËÉÈ
“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara
mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), 19.
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. 20.
Harta termasuk
salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini,
sehingga oleh ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah satu al-dharuriyyat
al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas: agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.[1]
Selain,
merupakan salah satu keperluan hidup yang pokok bagi manusia, harta juga
merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagai cobaan (fitnah), sarana untuk
memenuhi kesenangan, dan sarana untuk menghimpun bekal bagi kehidupan akhirat.
·
Tentang harta
sebagai perhiasan kehidupan dunia, Allah berfirman pada QS. Al-Kahfi:46.
ãA$yJø9$# tbqãZt6ø9$#ur èpuZÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( àM»uÉ)»t7ø9$#ur àM»ysÎ=»¢Á9$# îöyz yZÏã y7În/u $\/#uqrO îöyzur WxtBr& ÇÍÏÈ
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
·
Tentang harta
sebagai cobaan, Allah berfirman pada QS. At-Taghaabun:15.
!$yJ¯RÎ) öNä3ä9ºuqøBr& ö/ä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù 4 ª!$#ur ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOÏàtã ÇÊÎÈ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
·
Harta sebagai
sarana untuk memenuhi kesenangan, Allah berfirman pada QS.Al-Imron:14.
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[2]
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga)”.
·
Harta sebagai
sarana untuk menghimpun bekal menuju kehidupan akhirat. Allah berfirman pada
QS. Al-Baqarah:262.
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã öNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO w tbqãèÎ7÷Gã !$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]r& öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÏËÈ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
2.2 Fungsi Harta
Adapun fungsi
harta dapat dijelaskan sebagai berikut:[3]
1.
Untuk menyempurnakan
pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk beribadah diperlukan
alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal
untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, sedekah, dan hibah.
2.
Untuk
meningkatkan (ketakwaan) kepada Allah, sebab kefakiran cenderung dekat dengan
kekafiran, sehingga pemilik harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan
kepada Allah.
3.
Untuk menuruskan
kehidupan dari suatuperiode ke periode berikutnya.
4.
Untuk
menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5.
Untuk
mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu tanpa biaya akan
terasa sulit.
6.
Untuk memutar
peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan tuan, adanya orangkaya dan
miskin yang saling membutuhkan, sehingga tersusun masyarakat yang harmonis dan
kecukupan.
7.
Untuk
menumbuhkan silaturrahmi, karena adanya perbedaan dan kebutuhan.
Secara garis
besar dalam pemilikan dan penggunaan harta, di samping untuk kemaslahatan
pribadi pemilik harta, juga harus dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan
untuk orang lain. Inilah di antaranya fungsi sosial dari harta itu, karena
suatu harta sebenarnya adalah milik Allah yang dititipkan ketangan-tangan
manusia. Di samping itu, penggunaan harta dalam agama Islam harus senantiasa
dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik
harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu
sesama manusia.[4]
Dalam kaitan
inilah Rasulullah saw, menyatakan:
إِنٌ فِى الْمَالِ حَقٌا سِوَى الزٌكَاةَ
(رواه الترمذى)
“Bahwa
pada setiap harta seseorang itu ada hak (orang lain) selain zakat”.
(HR. al-Tirmidzi).
2.3 Pemanfaatan Harta
1.
Memperoleh Harta
Dalam
mencari dan memperoleh harta, Amir Syarifuddin[5]
menegaskan bahwa Islam tidak membatasi kehendak seseorang dalam mencari dan
memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum yang
berlaku, yaitu halal dan baik. Hal ini bararti islam tidak melarang seseorang
untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin. Karena bagaimanapun yang menentukan
kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah swt. Disamping itu, dalam
pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi merupakan alat untuk
menyempurnakan kehidupan dan untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun
bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki
oleh manusia bagi menunjang kehidupannya, secara besarnya ada dua bentuk:
a)
Memperoleh harta
tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapa pun. Bentuk yang jelas
dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi milik oleh siapapun adalah
menghidupkan (mengharap) tanah mati yang belum dimiliki yang disebut ihya al-mawat.
b)
Memperoleh harta
yang telah dimiliki oleh seseorang melalui transaksi. Bentuk ini dipisahkan
dari dua cara: Pertama, peralihan
harta berlangsung dengan sendirinya atau yang disebut ijbary yang siapapun tidak
dapat merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua, peralihan harta berlangsung tisak
dengan sendirinya, dalam arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyary, baik melalui kehendak sepihak
seperti hibah atau pemberian meupun melalui kehendak dan perjanjian timbal
balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli. Kedua cara memperoleh
harta ini harus selalu dilakukan dengan prinsip halal dan baik agar pemilikan
kekayaan diridhoi Allah swt.[6]
2.
Pemanfaatan
Harta
Tujuan
utama dari harta itu diciptakan Allah yaitu untuk menunjang manusia. Oleh
karena itu, harta itu harus digunakan untuk maksud tersebut. Tentang penggunaan
harta, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut
a.
Digunakan untuk
kepentingan kebutuhan hidup sendiri. Penggunaan harta demikian ini dinyatakan
dalam firman-Nya pada QS. Al-Mursalat:43.
(#qè=ä. (#qç/uõ°$#ur $O«ÿÏZyd $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÍÌÈ
(Dikatakan
kepada mereka): "Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah
kamu kerjakan".
Walaupun yang
disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang
dimaksud di sini adalah semua kebutuhan hidup, seperti pakaian dan papan
(perumahan).
b.
Digunakan untuk
memenuhi kewajiban terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam:
1)
Kewajiban materi
yang berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan utang terhadap Allah,
seperti membayar zakat, meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan
untuk manusia. Kewajiban dalam bentuk ini dinyatakan dalam firman-Nya pada QS.
Al-Baqarah: 267.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.
2)
Kewajiban materi
yang harus ditunaikan untuk keluarga, yaitu istri, anak, dan kerabat. Tentang
kewajiban materi untuk istri dan anak dinyatakan dalam firman-Nya pada QS.
Al-Baqarah:233.
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3 ÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3 ÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Adapun kewajiban
memberi nafkah untuk kerabat dinyatakan dalam firman-Nya pada QS.
Al-Baqarah:215.
tRqè=t«ó¡o #s$tB tbqà)ÏÿZã ( ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9öyz ÈûøïyÏ9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9öyz ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇËÊÎÈ
Mereka
bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang
kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan."
dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha
mengetahuinya.
c.
Dimanfaatkan
bagi kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut
untuk berusaha mencari rezeki namun yang
diberikan Allah tidaklah sama untuk setiap orang. Hal ini dinyatakan dalam
firman-Nya pada QS. Al-Nahl:71.
ª!$#ur @Òsù ö/ä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh9$# 4 $yJsù úïÏ%©!$# (#qè=ÅeÒèù Ïj!#tÎ/ óOÎgÏ%øÍ 4n?tã $tB ôMx6n=tB öNåkß]»yJ÷r& óOßgsù ÏmÏù íä!#uqy 4 ÏpyJ÷èÏZÎ6sùr& «!$# crßysøgs ÇÐÊÈ
Dan
Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki
mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan)
rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?.
Orang yang
mendapat kelebihan rezeki ini dituntut untuk menafkahkan sebagian dari
perolehan itu. Sebagaimana firman-Nya pada QS. Al-Munafiqun:10.[7]
(#qà)ÏÿRr&ur `ÏB $¨B Nä3»oYø%yu `ÏiB È@ö6s% br& ÎAù't ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tAqà)usù Éb>u Iwöqs9 ûÓÍ_s?ö¨zr& #n<Î) 9@y_r& 5=Ìs% X£¢¹r'sù `ä.r&ur z`ÏiB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÈ
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami
berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu;
lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan
(kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan
aku Termasuk orang-orang yang saleh?"
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Harta merupakan
kebutuhan pokok manusia manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini,
sehingga oleh ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah satu al-dharuriyyat
al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas: agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta
·
Secara garis
besar dalam pemilikan dan penggunaan harta, di samping untuk kemaslahatan
pribadi pemilik harta, juga harus dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan
untuk orang lain. Inilah di antaranya fungsi sosial dari harta itu, karena
suatu harta sebenarnya adalah milik Allah yang dititipkan ketangan-tangan
manusia. Di samping itu, penggunaan harta dalam agama Islam harus senantiasa
dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik
harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu
sesama manusia
·
Tujuan utama
dari harta itu diciptakan Allah yaitu untuk menunjang manusia. Harta haruslah
berguna demi kepentingan sediri, kepentingan sosial dan memperbaiki ibadah.
3.2 Saran
Harta sebagai
kebutuhan manusia memang sangat dibutuhkan namun dalam kenyataan saat ini
banyak manusia yang matrealistis dan hedonis hanya mementingkan dunia. Hal-hal
tersebut agar tidak berlangsung terus-menurus seharusnya kita sebagai manusia
yang beragama harus menyerahkan segala urusan kepada-Nya (Allah). Menyerah
disini bukan berarti tanpa usaha, melainkan harus melalukan usaha dan selalu
berdo’a. ada kata-kata klasik yang harus diingat bahwa “jodoh, maut dan rezeki
adalah kehendak-Nya”. Allah sudah mengatur semua, dan dia memberi sesuatu
sesuai dengan yang dibutuhkan hambanya.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Zuhaily, Wahbah.
2001.Ushul al-Fiqh al-Islamy.
Damaskus: Dar al-Fikr
Suhendi, Hendi.
2005. Fiqh Muamala. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Pesada
Haroen, Nasrun.
2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya
Media Pertama
Syarifuddin, Amir.
2003. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor:
Kencana
Rahman Ghazaly, Abdul. dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Predana
Media Group
[1] Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), juz 2, cet.
Ke-2, hlm. 1048.
[2] Yang dimaksud dengan binatang
ternak di sini ialah binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing
dan biri-biri.
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamala, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pesada, 2005), hlm. 27-29
[4] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2007)hlm.75
[5] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), cet. Ke-1, hlm.
182.
[6] ibid, hlm
183.
[7] Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Predana
Media Group,2010), hlm.31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar