BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pertahanan keamanan negara republik Indonesia merupakan upaya untuk
mewujudkan suatu pertahanan keamanan negara dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yakni untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia, seluruh tumpah
darah Indonesia.
Alinea ke empat pembukan Undang-Undang Dasar 1945, dengan jelas
menyebutkan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk. Suatu Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekanan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial”[1]
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tidak dapat dipungkiri, bahwa
aspek pertahanan dan keamanan negara merupakan faktor yang sangat penting dalam
rangka menjamin kelangsungan hidup negara. Tanpa mampu mempertahankan diri
terhadap ancaman baik yang datangnya dari luar negeri maupun dalam negeri, maka
suatu Negara khususunaya Indonesia tidak dapat mempertahankan eksistensi
sebagai suatu Negara ataupun mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai suatu
bangsa.
Banyak hambatan dan kendala dalam mewujudkan cita-cita yang
terkandung dalam pembukuan UUD 1945 tersebut. Ancaman dan gangguan dapat saja
terjadi baik dari luar negeri untuk menggoyahkan dan merusak sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun gangguan-gangguan dan ancaman dari
dalam negeri sendiri. Kesemua ancaman dan gangguan ini tidak lain untuk
menggoyahkan pertahanan dan keamanan negara baik di bidang politik (ketidak stabilan
dalam pemerintahan), di bidang ekonomi (inflasi harga-harga yang tidak
terjangkau oleh rakyat, kemiskinan dimana-mana), dibidang sosial (dikalangan
masyarakat sering terjadi benturan dan kerusuhan), dibidang industri (produksi
tidak berjalan sebagai mana mestinya, harga-harga produk industri berkualitas
rendah, harga yang tinggi) dan sebagainya.
Banyak perbuatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab untuk kepentingan dirinya sendiri, golongannya atau negaranya,
perbuatan-perbuatan itu dapat dilakukan dari masyarakat sipil maupun dari
golongan masyarakat non sipil (militer) yang bertujuan untuk melemahkan
pertahanan keamanan suatu negara dalam arti luas. Salah satu kejahatan tersebut
adalah: kejahatan mata-mata /kejahatan spionase/ kejahatan intelijen.
Kejahatan intelijen ini dapat dilakukan oleh orang sipil atau
militer. Kejahatan spionase, intelijen yang dilakukan oleh anggota militer
diatur didalam Kitab Undang-Undang Pidana Militer (KUHPM). Buku II Tentang
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Pasal 67 KUHPM.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk membuat makalah
dengan judul: “Tindak Pidana Mata-mata dalam KUHPM”
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1.
Perbuatan apa yang dapat dikatakan
kejahatan militer dibidang mata-mata/spionase?
2.
Apakah sasaran (objek) mata-mata/spionase?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:
1.
Untuk mengetahui dan mengkaji suatu
perbuatan merupakan kejahatan mata-mata/spionase.
2.
Untuk mengetahui dan mengkaji
sasaran atau objek kejahatan mata-mata/spionase.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian
Tindak Pidana Militer
Arti kata tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “strafbaar
feit”, dalam Bahasa Inggris Criminal Act, dalam Bahasa Latin
Actus Reus. Didalam menterjemahkan kata Strafbaar Feit terdapat beraneka
macam istilah yang dipergunakan oleh beberapa sarjana dan didalam berbagai perundang-undangan.
Prof. Moeljatno, Guru Besar Universitas Gajah Mada dalam pidato Dies
Natalis Universitas Gajah Mada, Tanggal 19 Desember 1995 dengan judul
“perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, mengatakan “tidak
terdapatnya istilah yang sama didalam menterjemahkan Strafbaar Feit di
Indonesia”. Untuk Strafbaar Feit ini ada 4 istilah yang dipergunakan dalam
bahasa Indonesia, yakni :[2]
1. Peristiwa pidana (Pasal
14 ayat (1) UUDS 1950).
2. Perbuatan pidana atau
perbuataan yang dapat/boleh dihukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1951. Tentang
Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara
Pengadilan Sipil.
3. Tindak pidana
(Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR)
4. Pelanggaran pidana dalam
bukunya Mr. Tirtaamidjaja: Pokok-Pokok Hukum Pidana 1955.
Prof. Moeljatno mempergunakan istilah “perbuatan pidana”, dengan alasan-alasan
sebagai berikut :
a. Perkataan peristiwa,
tidak menunjukkan bahwa yang menimbulkan adalah handeling atau gedraging
seseorang, mungkin juga hewan atau kekuatan alam.
b. Perkataan tindak, berarti
langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku.
c. Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari,
seperti: perbuatan tindak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya, juga istilah
teknis seperti perbuataan melawan hukum. Perkataan tindak pidana kiranya lebih
populer dipergunakan juga lebih praktis dari pada istilah-istilah lainnya.
Istilah tindak yang acapkali diucapkan atau dituliskan itu hanyalah untuk
praktisnya saja, seharusnya ditulis dengan tindakan pidana, akan tetapi sudah
berarti dilakukan oleh seseorang serta menunjukkan terhadap sipelaku maupun
akibatnya. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mempergunakan istilah tindak
pidana.
Ada beberapa batasan mengenai tindak pidana yang dikemukakan para sarjana
antara lain:
a. Vos. Mengatakan tindak
pidana adalah “suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan undang-undang diberi
pidana, jadi kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan
pidana”[3]
b. Pompe mengatakan tindak
pidana adalah “sesuatu pelanggaran kaedah (pelanggaran tata hukum) yang
diadakan karena kesalahan pelanggar, yang harus diberikan pidana untuk mempertahankan
tata hukum dan penyelamatan kesejahteraan”[4]
d. Moeljatno mengatakan
tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut”[5]
e. R. Tresna mengatakan tindak pidana adalah “suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau aturan
undang-undang lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan hukum”.[6]
Jadi setiap perbuatan seseorang yang melanggar, tidak mematuhi perintah-perintah
dan larangan-larangan dalam undang-undang pidana disebut dengan tindak pidana.
Dari batasan-batasan tentang tindak pidana itu kiranya dapat ditarik
kesimpulan, bahwa untuk terwujudnya suatu tindak pidana atau agar seseorang
dapat dikatakan melakukan tindak pidana, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a.
Harus ada perbuatan manusia. Jadi
perbuatan manusia yang dapat mewujudkan tindak pidana. Dengan demikian pelaku
atau subjek tindak pidana itu adalah manusia, terlihat dari perkataan “barangsiapa”,
seorang ibu”, “seorang dokter”, “seorang nahkoda” dan lain sebagainya. Juga
dari ancaman pidana dalam Pasal 10 KUHPidana tentang macam-macam pidana,
seperti adanya pidana mati, pidana penjara dan sebagainya itu hanya ditujukan
kepada manusia.
Sedangkan diluar KUHPidana subjek tindak pidana itu tidak hanya
manusia juga suatu korporasi (kejahatan yang dilakukan korporasi, seperti dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan
sebagainya).
b.
Perbuatan itu haruslah sesuai
dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan undang-undang. Maksudnya adalah
kalau seseorang itu dituduh atau disangka melakukan suatu tindak pidana
tertentu, misalnya melanggar ketentuan Pasal 362 KUHPidana, maka unsur-unsur
pasal tersebut haruslah seluruhnya terpenuhi. Salah satu unsurnya tidak
terpenuhi maka perbuatan tersebut bukanlah melanggar Pasal 362 KUHPidana
(tentang pencurian).
Setelah dikemukakan pengertian tindak pidana dan unsur-unsur tindak
pidana, maka akan penulis kemukakan juga pengertian tindak pidana militer.
Tindak pidana militer, adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh anggota militer yang melanggar ketentuan buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM). Ada beberapa macam kejahatan militer yang diatur dalam
buku II KUHPM tersebut, seperti: Bab I Kejahatan terhadap keamanan negara, yang
terdiri dari Pasal 64 sampai dengan Pasal 72 KUHPM. Didalamnya disebutkan
tentang tindak pidana militer berupa mata-mata atau spionase.
Adanya ketentuan-ketentuan khusus di dalam KUHPM merupakan
penambahan dari aturan-aturan yang terdapat dalam KUHPidana. Alasan-alasan penambahan
tersebut antara lain:
a. Adanya
perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh militer, contoh: desersi (Pasal
87 KUHPM), menolak perintah dinas (Pasal 78 KUHPM).
c. Adanya beberapa perbuatan yang bersifat berat, sehingga apabila dilakukan
militer didalam keadaan tertentu, ancaman pidana dalam KUHPidana dirasakan
relatif ringan.
Hubungan KUHPM dengan KUHP. KUHPM dimaksudkan sebagai tambahan dari
KUHPidana. KUHPM berlaku khusus untuk anggota tentara/militer dan orang-orang
lainnya yang tunduk kepada kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer. Jadi
orang-orang ini selain tunduk kepada KUHPM juga masih juga tunduk kepada
KUHPidana selama tidak ada ketentuan-ketentuan lainnya yang mengecualikannya.
B. Pengertian Mata-mata/Spionase
“Spionase (bahasa Belanda)
bermakna:”[7]
memata-matai mencari keterangan dengan sengaja secara diam-diam untuk
kepentingan musuh; secara luas mata-mata dibidang ekonomi berarti menyelidiki
untuk mengetahui rahasia produksi” Spionase dapat dilakukan dibidang pertahanan
keamanan Negara (militer), dibidang ekonomi, dibidang industri, dibidang
politik, sosial dan budaya. Artinya cakupan kegiatan spionase (mata-mata ini
sangat luas).
Mata-mata/Spionase sering juga disebut “Intelijen” adalah orang
yang bertugas mencari keterangan (mengamat-amati) seseorang dirahasiakan”[8]
Jadi intelijen (spionase) adalah mencari dan menemukan keterangan-keterangan
yang bersifat rahasia yang menyangkut segala aspek dalam negara.
“Secara harfiah atau dalam arti sempit pengertian intelijen itu
berasal dari kata intelijensia, intelektual atau daya nalar manusia, yaitu
manusia secara kodrati dengan intelijensia, intelektual atau daya nalarnya
selalu akan berusaha memecahkan masalah hidup dan kehidupannya.”[9]
Dalam artian yang lebih luas pengertian intelijen ini pada dasarnya
mencakup pengertian tentang organisasi intelijen, pengertian tentang kegiatan
intelijen dan pengertian tentang produk intelijen.
Kegiatan intelijen secara fungsional ini mencangkup kegiatan
penyelidikan (lid), kegiatan pengamanan (pam) dan kegiatan penggalangan (gal). Kegiatan
penyelidikan, pengamanan ini perlu diorganisir dan dikoordinir secara baik
dalam suatu siklus kegiatan intelijen, yang outputnya adalah produk intelijen.
1.
Penyelidikan
Kalau secara yuridis pengertian penyelidikan di atur dalam Pasal
1ayat (1) KUHAP “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga menentukan dapat atau
tidaknya tindakan dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut
undang-undang ini”[10]
Maka penyelidikan ialah serangkai upaya, kegiatan, pekerjaan, dan tindakan yang
dilaksanakan secara berencana, bertahap dan berkelanjutan untuk mencari,
menggali, mengumpulkan, mencatat, mengolah dan menganalisis data atau baket menjadi
informasi siap pakai sebagai produk intelijen.
Bahwa pengertian tentang kegiatan penyelidikan itu tidak hanya sekedar
kegiatan mengumpulkan data (pul data) atau bahan keterangan (baket) saja, namun
meliputi pula kegiatan mencari, menggali dan mencatat atau merekam data
sebanyak dan selengkap mungkin dari berbagai sumber, baik sumber terbuka maupun
sumber tertutup melalui kegiatan terbuka dan kegiatan tertutup secara cermat
dan teliti.
Dimana data atau bahan keterangan (baket) tersebut dicari, digali, dikumpulkan
dan direkam serta ditabulasi (digolongkan yang sejenis dalam suatu baket), maka
tidak akan berharga sama sekali, apabila tidak diambil tafsiran-tafsiran,
diolah dan dianalisis secara cepat dan tepat pada waktunya, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan intelijen.
2.
Tafsiran Dan Petunjuk
Data atau bahan keterangan (baket) yang biasanya diperoleh untuk membuat
tafsiran-tafsiran yang bermanfaat dalam penyelidikan tersebut, sebenarnya
adalah merupakan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.
Apabila petunjuk-petunjuk ini disatukan, maka ia dapat memberikan suatu
gambaran yang kita kehendaki ini jauh dari pada jelas. Dalam kehidupan
sehari-hari melalui pemberitaan dari berbagai media massa tersebut data atau
baket itu dapat dilihat dan dibaca, yang menjadi permasalahannya sekarang ini
adalah terletak pada kemampuan untuk menangkap, menterjemahkan, menafsirkan dan
menganalisis data atau baket itu, sehingga menjadi informasi. Oleh sebab itu
makin banyak data dan baket yang diperoleh atau dikumpulkan dan makin banyak pula
sumber-sumbernya yang berpencaran, maka akan lebih teliti pulalah tafsiran-tafsiran
yang dapat diambil darinya.
Mengingat sangat terbatasnya petunjuk-petunjuk yang mungkin diperoleh
dari keterangan-keterangan setempat, maka harus berhati-hati sekali dalam
membuat tafsiran-tafsiran mengenai maksud-maksud lawan atau musuh tersebut.
Alasan inilah yang menyebabkan, bahwa di kesatuan kerja rendahan hendaklah
jangan mencoba membuat tafsiran-tafsiran yang terlalu tinggi karena hal itu
akan berdasarkan dugaan-dugaan semata dari keterangan-keterangan yang
seringkali menyesatkan.
Hal ini hanya dapat diselenggarakan dengan tepat oleh kesatuan
kerja dan dilaksanakan oleh petugas-petugas Intelijen yustisial yang
profesional.
3.
Analisis
Tugas badan pengumpul atau bapul data atau baket, hanyalah sekedar mencari,
menggali, mengumpulkan dan mencatat data atau baket tersebut sebanyak dan
selengkap mungkin, baik dari sumber terbuka maupun dari sumber tertutup,
melalui kegiatan terbuka dan kegiatan tertutup.
Sedangkan tugas penafsiran dan pengolahan baket atau analisi intelijen
tersebut adalah tugas dari perwira intelijen, karena dalam penafsiran dan
pengolahan baket atau analisis intelijen tersebut memerlukan ketejaman visi dan
persepsi.
Dalam melakukan analisis ini sebaiknya menggunakan analisis kausal,
yaitu analisis sebab dan akibat beserta feedbacknya dan analisis lainnya
yang relevan dengan tugas intelijen.
4.
Produk Intelijen
Produk intelijen adalah hasil dari pelaksanaan kegiatan
penyelidikan dalam bentuk berbagai laporan yang berisikan informasi siap pakai
yang di dalamnya mengandung estimasi atau perkiraan keadaan. Untuk di
pergunakan pada proses penyelidikan.
5.
Estimasi
Estimasi atau perkiraan keadaan adalah gambaran keadaan yang diperkirakan
akan terjadi ataupun berisikan kecenderungan keadaan. Produk akhir dari setiap
kegiatan Intelijen akan tertuang dalam bentuk berbagai laporan dan dalam
laporan ini akan berisikan sejumlah informasi yang mengandung estimasi atau
perkiraan keadaan.
Suatu pekerjaan yang sangat sulit untuk membuat suatu estimasi atau
perkiraan keadaan tersebut, karena estimasi itu pada dasarnya mengadung unsur
ramalan yang akan datang.
C. Tindak Pidana Militer Mata-mata/Spionase
Tindak pidana militer dibidang mata-mata/spionase diatur dalam
Pasal 67 KUHPM.
Pasal 67 KUHPM sebagai berikut:
1) Diancam karena pemata-mataan (verspieding/spionnase) dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara sementara maksimum
dua puluh tahun:
1.
(Diubah dengan Undang-Undang No. 39
Tahun 1947). Barang siapa dengan sengaja untuk keperluan musuh, berusaha
mendapatkan keterangan mengenai kepentingan perang di sebuah perahu atau
pesawat udara dari Angkatan Perang, didalam garis-garis pos depan, disuatu tempat
atau pos yang diperkuat atau diduduki atau dalam suatu bangunan Angkatan Darat.
2.
Barang siapa yang dalam waktu
perang, dengan sembunyi-sembunyi, dengan pernyataan palsu, dengan jalan
penyamaran, atau melalui jalan lain selain dari pada jalan-jalan yang biasa,
berusaha memasuki salah satu tempat yang disebut pada nomor 1, dengan cara itu
ia terdapat ditempat tersebut, atau dengan salah satu sarana tersebut berusaha
pergi dari tempat itu.
3.
Barang siapa yang dalam waktu
perang dengan sengaja mengadakan pencatatan atau pembaganan atau penulisan
mengenai sesuatu hal tentang kepentingan militer.
Pengertian mata-mata adalah orang yang dengan alasan palsu menyamar
atau dengan tipu daya/muslihat mencari atau mencoba mencari berita atau
keterangan di dalam daerah atau wilayah perang suatu pihak yang berperang
dengan maksud untuk memberikan keterangan/berita itu kepada lawan atau musuh.
Tidak dapat dikatakan mata-mata bagi anggota militer, orang biasa yang
bertugas menyampaikan berita atau menjalankan tugas secara menyampaikan berita
atau menjalankan tugas secara terang-terangan seperti kurir atau penyelidik
militer yang menggunakan kapal udara atau penghubung militer antar daerah.
Terhadap mata-mata yang tertangkap basah tidak boleh diperlakukan dengan
tidak manusiawi, sebelum ada keputusan dari hakim. Terhadap mata-mata yang
telah ditangkap, kemudian mata-mata tersebut dapat meloloskan diri dan kembali
kepada induk pasukannya, apabila mata-mata itu tertangkap kembali terhadapnya
tidak dapat dituntut lagi tentang kejahatan yang telah dilakukan dahulu, dan
harus diperlakukan sebagai tawanan perang. Orang yang bukan militer selalu
dapat dituntut tentang perbuatannya sebagai mata-mata terhadap perbuatan yang
dahulu pernah dilakukan.
Ketentuan pasal ini menyebutkan “barang siapa” yang artinya berlaku
bagi setiap orang sipil musuh atau militer musuh yang tertangkap melakukan perbuatan
mata-mata. Didalam KUHPM tidak menyatakan dengan tegas bahwa mereka merupakan
justisiable peradilan militer. Bahkan terhadap militer yang berpakaian seragam
yang masuk ke daerah Indonesia dan melakukan tindakan mata-mata, apabila
tertangkap tidak dapat diajukan ke pengadilan umum atau pengadilan militer,
akan tetapi harus diperlakukan sebagai tawanan perang.[11]
Dari rumusan Pasal 67 KUHPM tersebut terlihat, bahwa bahwa mata-mata
atau spionase adalah orang (siapa saja) yang “dengan alasan-alasan palsu, menyamar,
atau dengan tipu daya muslihat mencari atau mencoba mencari berita,
keterangan”. Informasi di dalam suatu daerah, atau wilayah perang suatu pihak
yang berperang dengan maksud untuk memberitahu informasi keterangan atau berita
itu kepada pihak lawan atau musuh. Perbuatan tersebut sangat merugikan
kepentingan pertahanan dan keamanan negara, menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara, merugikan kepentingan negara Indonesia.
Seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana spionase
bilamana memenuhi semua unsur-unsur dalam Pasal 67 ayat (1) ke-1, ayat (1)
ke-2, ayat (1) ke-3 KUHPM.
Berdasarkan hal-hal tersebut adalah kewajiban seluruh komponen
bangsa mengambil tindakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan spionase
tersebut, demi keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, demi pertahanan dan
keamanan negara dalam arti luas (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
dan keamanan).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Perbuatan yang
dapat Dikategorikan Sebagai Kejahatan Militer Dibidang Mata-mata atau Spionase
Kejahatan merupakan perbuatan yang di benci oleh masyarakat, akan tetapi
kejahatan dilakukan oleh anggota masyarakat, sesuatu hal yang sangat paradok.
Namun ada kejahatan-kejahatan yang disebut rechts delict dan ada pula
yang disebut wets delict.
Rechts delict adalah “apabila perbuatan itu bertentangan
dengan asas-asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas
dari pada hal apakah asas-asas tersebut tercantum atau tidak dalam
undang-undang pidana”[12]
oleh karena itu maka termasuk asas-asas hukum, yang menjadi asas-asas hukum positif,
juga asas-asas hukum yang tidak tercantum secara tegas dalam undang-undang
pidana.
Dengan perkataan lain, bahwa delik hukum, merupakan suatu perbuatan
yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam
kesadaran hukum masyarakat, terlepas apakah perbuatan tersebut dicantumkan atau
tidak dalam undang-undang pidana. Sebagai contoh: pembunuhan, pencurian,
perkosaan adalah perbuatan jahat, yang dibenci, terlepas dari dicantumkan atau
tidak dalam undang-undang pidana. Dimana pun dunia ini, perbuatan tersebut
adalah perbuatan jahat, perbuatan anti social Rechts delict tersebut
dapat pula disebut dengan nama lainnya: “mala in se” perbuatan tanpa
dirumuskan dalam undang-undang pidana sudah merupakan kejahatan. disamping itu
dikenal pula apa yang disebut dengan “mala in prohibita”, artinya suatu
perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan, apabila telah
dirumuskan dalam undang-undang pidana.
Wets delict adalah “perbuatan yang bertentangan dengan
apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana, terlepas dari
pada hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan
kesadaran hukum masyarakat”[13]
Ini berarti undang-undang pidana melarang perbuatan tersebut, demi ketertiban
umum dan tidak karena perbuatan itu bertentangan dengan asas-asas hukum
masyarakat.
Pasal 67 KUHPM terdiri dari dua ayat, yakni ayat (1) terdiri dari 2
butir dan ayat (2). Ada baiknya dikemukakan bunyi Pasal 67 ayat (1) sub 1, 2 dan
3 KUHPM dan Pasal 67 ayat (2) KUHPM.
Pasal 67 KUHPM menyebutkan:
1) Diancam karena pemata-mata (verspieding/spionase) dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum dua
puluh tahun:
1.
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1947).
2.
Barang siapa dengan sengaja untuk
kepentingan musuh, berusaha mendapatkan keterangan mengenai kepentingan perang
di sebuah perahu atau pesawat udara dari Angkatan Perang, di dalam garis-garis
pos depan, di suatu tempat atau yang diperkuat atau diduduki, atau di dalam
suatu bangunan Angkatan Perang;
3.
Barang siapa yang dalam jangka
waktu perang, dengan sembunyi-sembunyi dengan pernyataan palsu, dengan jalan penyamaran
atau melalui jalan lain selain dari pada jalan yang biasa, berusaha memasuki
salah satu tempat yang disebutkan pada nomor ke-1, dengan cara itu ia terdapat ditempat
tersebut, atau dengan salah satu cara atau salah satu sarana tersebut berusaha
pergi dari tempat itu;
4.
Barang siapa yang dalam waktu
perang dengan sengaja mengadakan pencatatan atau pembagian atau
penulisan,mengenai sesuatu hal tentang kepentingan militer.
2) Ketentuan-ketentuan tersebut nomor ke-2 dan ayat 3 ayat pertama tidak
dapat diterapkan, bilamana menurut pendapat hakim, bahwa petindak melakukannya
untuk kepentingan musuh.
Dengan demikian bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai kejahatan
militer di bidang spionase, bilamana memenuhi unsur-unsur Pasal 67 ayat (1),
sub. 1. 2. 3 dan ayat (2) KUHPM
Unsur-unsur Pasal 67 ayat (1) ke 1 KUHPM:
1.
Barang siapa, menunjukkan pada
sipelaku. Pelakunya siapa saja, yaitu anggota militer atau orang sipil.
2.
Sengaja; artinya mengetahui,
menginsafi perbuatan dan akibat perbuatannya.
3.
Untuk kepentingan musuh, ini
artinya kepentingan lawan (berperang).
4.
Berusaha mendapatkan keterangan
perang di sebuah pelaku, pesawat angkatan perang, artinya untuk mendapatkan
informasi untuk kepentingan (keperaturan) perang pada pelaku (kapal perang),
aparat angkatan perang.
5.
Didalam garis-garis pos depan,
disuatu tempat atau yang diperkuat atau diduduki atau suatu hangar angkatan
perang. Artinya batas-batas pos (tempat kedudukan, tugas) yang diperkuat diduduki
atau hangar (tempat pesawat terbang).
6.
Ancaman pidana mati, seumur hidup
atau pidana penjara maksimal 20 tahun.
Unsur–unsur Pasal 67 ayat (1) ke 2 KUHPM
1.
Barang siapa, artinya pelakunya
(anggota militer atau sipil)
2.
Dalam waktu perang
3.
Dengan sembunyi-sembunyi; artinya:
tidak diperlihatkan, dirahasiakan
4.
Dengan jalan penyamaran atau
melalui jalan-jalan selain jalan yang biasa. Artinya tidak nyata kelihatan,
tidak terang terangan
5.
Berusaha memasuki salah satu tempat
pada butir ke 1 dengan cara itu terdapat ditempat tersebut atau dengan salah
satu cara atau salah satu sarana tersebut berusaha pergi dari aparat tempat
itu.
Unsur-unsur Pasal 67 ayat (1) ke 3
2.
Barang siapa
3.
Adanya kesengajaan
4.
Dalam waktu perang
5.
Melakukan pencatatan atau
pembagauan (gambar denah) atau penulisan
6.
Mengenai kepentingan militer
Bahwa ketentuan pada angka nomor 2 dan 3 tersebut pada ayat (1) Pasal
67 KUHPM tidak berlaku bilamana menurut pendapat hukum, bahwa pelaku tersebut
tidak untuk kepentingan musuh (lawan).
Perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan karena menghianati rahasia
keamanan dan pertahanan negara kepada pihak musuh, merencanakan, mempersiapkan
dan mengutamakan intervensi dari luar negeri, merencanakan, mempersiapkan, dan
melakukan sabotase-sabotase. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 67
ayat (1). sub 1. 2. dan 3 dan Pasal 67 ayat (2) KUHPM, sangat-sangat
membahayakan pertahanan dan keamanan negara, serta dapat membahayakan kehidupan
rakyat. Oleh karena itu pula diperlukan pemberian pidana yang sedemikian rupa
(pidana yang berat) terhadap para penjahat perang atau mereka yang turut serta
melakukan kejahatan-kejahatan tersebut, demi keutuhan, keamanan dan perbuatan
Negara Republik Indonesia. Serta dapat disimpulkan bahwa tujuannya antara lain
untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari setiap
bentuk ancaman baik yang datangnya dari luar negeri maupun ancaman dari dalam
negeri. Ketentuan tersebut merupakan salah satu aspek untuk pertahanan keamanan
negara dari pihak musuh dan ketentuan Pasal 67 ayat (1) butir 1, 2 dan 3 KUHPM merupakan
penangkal dalam mengatasi segala bentuk ancaman yang mengganggu ketahanan dan
keamanan negara.[14]
B.
Sasaran
(objek) terjadinya Kejahatan Militer Dibidang Mata-mata atau Spionase
Sepanjang ada ummat manusia di muka bumi ini sepanjang itu pula ada
kejahatan; kejahatan itu abadi, sepanjang ada ummat manusia (crime as eternal,
as eternal society) Semenjak Nabi Adam di turunkan ke bumi bersama istrinya
(Siti Hawa), karena memakan buah terlarang (buah Qulbi) di dalam surga firdaus,
maka turunan Nabi Adam yang pertama Khabil dan Qabil, telah berseteru satu sama
lainnya, yang akhirnya Qabil sang adik mati ditangan kakaknya bernama Khabil.
Inilah pertama kali kejahatan membasahi bumi ini. Sejak itu silih berganti
kejahatan terjadi di muka bumi ini.
Tidak ada satu manusiapun yang mentolerir terjadinya kejahatan di dalam
masyarakat, masyarakat anti terhadap kejahatan namun masyarakat tidak berdaya
untuk menumpas kejahatan dari muka bumi, oleh karena kejahatan merupakan
penyakit masyarakat yang akan muncul dan berkembang bilamana benih-benih
tersebut mencapai kondisi-kondisi tertentu. Inilah manusia yang didalam hatinya
ada nilai-nilai suci dan baik, namun disisi lain terkandung nilai-nilai yang
buruk dan jahat. Bilamana didalam hati manusia dominan nilai-nilai yang baik,
maka perilaku manusia akan melahirkan perilaku yang positif. Akan tetapi
apabila yang dominan didalam hati manusia adalah nilai yang buruk, yang jahat
(negatif), maka perilaku yang terpancar keluar adalah perbuatan yang buruk,
yang negatif, yang merugikan pihak lain, masyarakat dan negara.
Kejahatan mata-mata/spionase/intelijen adalah suatu kejahatan yang ditujukan
pada objek dan sasaran tertentu, demi kepentingan negara yang melakukan
tindakan spionase (intelijen). Kejahatan Spionase, Intelijen dibidang politik
umpamanya bertujuan agar pemerintahan suatu negara menjadi goyah dan tidak
stabil, sehingga mengganggu stabilitas suatu negara, yang mengakibatkan program-program
yang dicanangkan oleh suatu Pemerintah Negara tidak akan terlaksana. Hal ini
melahirkan ketidak percayaan rakyat suatu Pemerintahan yang sedang berkuasa.
ketidak percayaan ini menimbulkan reaksi-reaksi dari masyarakat yang di
expresikan melalui unjuk rasa atau demonstrasi hal mana berakibat pertahanan
dan keamanan negara menjadi goyah, lemah.
Kejahatan intelijen dibidang pertahanan keamanan Negara (dibidang militer),
bagaimana caranya untuk mencari dan mencuri data kekuatan militer suatu negara,
baik berupa alat-alat perlengkapan militer suatu negara, baik berupa alat-alat
perlengkapan militer, jumlahnya, macam peralatan senjatannya, angkatan laut,
angkatan udara, macam-macam jenis senjata berat dan ringan, jumlah kekuatan
personil militer lokasi-lokasinya dan sebagainya.
Atau kemajuan teknologi dibidang militer dan pertahanan suatu
negara, di cari dan di curi dengan berbagai cara untuk dipergunakan untuk kepentingan
dan kemajuan peralatan militer bagi negara yang melakukan kejahatan intelijen
di bidang militer dan pertahanan negaranya.[15]
Dengan mengetahui kekuatan peralatan militer dan jumlah kekuatan personel
militer dari suatu negara, sedikit banyak akan dipergunakan untuk bagaimana
caranya untuk melumpuhkan, menghancurkannya, demi kepentingan dan keunggulan
negara yang melakukan kejahatan di bidang intelijen. Spionase dampak dari
kejahatan spionase di bidang militer ini mengakibatkan pertahanan dan keamanaan
negara diketahui oleh pihak Negara lain yang berakibat pada suatu saat tertentu
dapat dihancurkan dan dilumpuhkan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Suatu perbuatan dikategorikan
sebagai tindak pidana Spionase, bilamana perbuatan seseorang tersebut memenuhi
semua unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 67 KUHPM ayat (1). Sub, ke 1, ke 2,
dan sub ke 3 dan ayat (2) KUHPM. Bilamana salah satu unsur dari Pasal 67 ayat
(1) ke 1, ke 2, dan ke 3, dan ayat (2). Jika unsur-unsur dalam KUHPM tidak
terpenuhi, maka perbuatan tersebut bukan tindak pidana atau kejahatan Spionase.
2.
Objek atau sasaran dari tindak
pidana atau kejahatan Spionase, antara lain dapat dibidang politik, ekonomi,
pertahanan keamanan negara, perindustrian, perdagangan kebudayaan yang
tujuannya untuk keuntungan pihak yang melakukan kejahatan Spionase
B.
Saran
1.
Perlunya penegakan hukum yang tegas
terhadap pelaku kejahatan Spionase oleh aparat penegak hukum dan koordinasi
yang baik dari aparat penegak hukum serta berkesinambungan.
2.
Perlunya ditingkatkan kesejahteraan
rakyat, dengan cara programprogram pembangunan yang pro rakyat banyak guna
terwujudnya kemakmuran seluruh Rakyat Indonesia.
3.
Perlunya peningkatan pengawasan
daerah-daerah yang berbatasan dengan pihak negara lain (tetangga), dengan
memperhatikan fasilitas-fasilitas rakyat di pembahasan, sehingga rakyat Indonesia
yang berada dengan perbatasan negara tetangga, merasa diperhatikan (tidak di
anak tirikan). Dengan demikian rasa kecintaan dan kebanggaan sebagai bangsa
indonesia sangat mengedepankan.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Dasar 1945
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer
Buchari Said. H. 2008. Sekilas Pandang Tentang Hukum Pidana
Militer. Bandung: F.H. Unpas
_ _ _ _ _ _ 2008. Hukum Acara Pidana. Bandung: F.H. Unpas
Budiono. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit
Karya Agung
N.E. ALGRA dan Kawan-Kawan. 1983. Kamus Istilah Hukum Fockema
Andual. Bahasa Belanda-Indonesia. Penerbit Bina Citra
E.Utrecht. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: PT.
Ikhtiar Baru
George Carpozi. 1970. Jr Red Spies In Washington. Jakarta: PT.
Kirana
Moch. Faisal Salam. 2006. Hukum Pidana Militer di indonesia.
Bandung: C.V. Mandar Maju
Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Penerbit Bineka Cipta
R. Tresna. 1959. Asas-asas Hukum Pidana. Bandung:
PT. Tiara
Wahyu Wiriadinata. 2010. Intelijen Yustisial
Teknik Penyidikan. Vilawa
Penerbit Media Pressindo Yogyakarta 2004 hlm.
4
[3]
E.Utrecht Pengantar Dalam Hukum Indonesia .PT.
Ikhtiar Baru Jakarta 1989, hlm 253
[4]
Ibid. hlm 257
[6]
R. Tresna. Asas-asas Hukum Pidana. PT. Tiara
Bandung, 1959, hlm 27.
Indonesia.
Penerbit Bina Citra 1983. hlm 527
[8]
Budiono. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Penerbit Karya Agung Surabaya. 2005. hlm 204
[9]
Wahyu Wiriadinata. Intelijen Yustisial Teknik
Penyidikan. Vilawa 2010. hlm 3
[10]
Buchari Said H. Hukum Acara Pidana F. Unpas
2008. hlm 30
[11]
Moch. Faisal
Salam. Hukum Pidana Militer di indonesia.C.V. Mandar Maju Bandung 2006.
hlm : 192.
[13]
Ibid, hlm 86
hlm 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar