Label

Sabtu, 14 Desember 2013

PERCERAIAN: GUGATAN ISTERI (FASAKH)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
akhir-akhir ini sering terlihat, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadapsuaminya. berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di mediatelevisi adalah figure atau artis-artis terkenal. gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan,sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah allah s.w.t.
Sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat ar-rum ayat 21 yang berbunyi:“dan di antara tanda-tandanya bahwa dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan dia mengadakan sesama kamu kasih saying dan rahmat. sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”.
berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah.bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddahwa-rahmah, tapi jika hal tersebut tidak terlaksana maka salah satu pihak dapat menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam islam, cerai memang dihalalkan allah, namun sangat dibenci olehnya (“sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci allah adalah talak”, hadits riwayat abu daud dan ibn majah). Gugatan dari suami disebut dengan talaq sementara gugatan dari isteri disebut fasakh.
Alasan-alasan tersebut diatas yang mendasari kami membuat makalah ini yang  membahas tentang “Gugatan isteri (Fasakh)”.

I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.2.1  Apa pengertian dari Fasakh?
1.2.2 Apa dasar hukum dari Fasakh?
1.2.3 Bagaimana peaksanaan Fasakh?

1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan :
1.3.1 Untuk mendeskripsikan pengertian Fasakh.
1.3.2 Untuk mendeskripsikan dasar hukum fasakh.
1.3.3 Untuk mendeskripsikan tentang pelaksanaan fasakh.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian & Macam-macam Fasakh
Ø  Pengertian Fasakh
Fasakh dalam tinjauan bahasa (etimologi) adalah berasal dari akar kata (mashdar) الفسخ : مصدر من فسخ – فسخ العقد artinya: membatalkan.[1] فسخ : نقض، إبطال artinya pembatalan.[2] Kemudian dalam perkembangannya lafadz fasakh ini digunakan oleh para fuqoha untuk dijadikan istilah yang menunjukan arti tertentu.
Fasakh menurut terminologi adalah فسخ العقد : نقضه artinya: menfasakh akad, yang berarti membatalkan. Apabila terjadi pada akad nikah . fasakh berarti melepaskan ikatan  hubungan antara suami istri.[3] Dalam definisi lain, Abdul Mujib mengartikan fasakh sebagai pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja atau nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya.[4] Begitu pula menurut Gundur, bahwa fasakh adalah membatalkan akad dan menghilangkan ikatan hubungan yang menjadi konsekuensi dari akad tersebut.[5]
Dari beberapa pengertian tersebut, berarti fasakh adalah salah satu bentuk perpisahan yang dapat melepaskan atau membatalkan ikatan perkawinan.
Ø  Macam-macam Fasakh
Fasakh terbagi menjadi dua yaitu :
1.      Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah : [6]
a.       Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa isteri merupakan saudara sepersusuan suami (rada’ah).
b.      Pernikahan yang dilaksanakan saat suami isteri masih kecil. Yang menikahkan keduanya adalah wali selain ayah dan kakeknya. Kemudian setelah dewasa keduanya berhak memilih untuk meneruskan ikatan perkawinannya itu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar al-bulugh. Jika keduanya lebih memilih untuk mengakhiri ikatan suami isteri, maka hal ini disebut fasakh al-aqdi.
c.       Fasakh, karena keduanya dinikahkan pada saat salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sedang sakit.
d.      Fasakh karena pasangan yang tidak se-kufu (imbang).
e.       Fasakh karena mahar yang diberikan tidak sesuai dengan mahar pada umumnya (mahar misli).[7]
2.      Fasakh yang dianggap tidak membatalkan akad sejak semula, namun timbul cacat yang tidak diduga dikemudian hari, menyebabkan keberlangsungan akad tidak lestari :
a.       Apabila  salah seorang dari suami isteri murtad atau keluar dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akad pernikahannya menjadi batal (Fasakh) karena kemurtadan tersebut, yaitu murtad yang terjadi setelah sekian lama dari pernikahan.[8]
b.      Jika suami yang tadinya kafir itu kemudian masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akad pernikahan yang dulu telah dilaksanakan,menjadi batal (Fasakh). Lain halnya, jika istrinyaitu seorang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinan lelaki muslim dengan wanita ahli kitab adalah sah dari sejak semula.
c.       Salah seorang istri nabi melakukan hubungan intim dengan mertua atau anak tirinya.[9]
Kemudian fasakh yang dianggap tidak membatalkan akad sejak semula, dibagi menjadi dua macam :
i.         Fasakh yang berimplikasi terhadap batal atau rusaknya akad pernikahan secara selamanya (Muabbad).[10] Maka tidak boleh bagi seorang laki-laki menikahi istrinya lagi setelah peristiwa fasakh ini, dikarnakan fasakh tersebut terjadi akibat dari faktor–faktor yang berimplikasi pada keharaman menikah diantara keduanya untuk selama-lamanya, misalnya salah seorang suami istri melakukan hubungan persetubuhan dengan mertua atau anak tirinya.
ii.       Fasakh yang menghalang-halangi hubungan nikah dan mengharamkannya dengan keharaman yan bersifat temporal (muaqqotan).[11] Demikian itu dikarenakan fasakh tersebut terjadi akibat keharaman yang bersifat temporal pula. Oleh karena itu, ketika penghalangnya sudah hilang atau sembuh maka diperbolehkan kembali untuk menyambung hubungan pernikahan tersebut.
Ø  Beberapa faktor penyebab terjadinya fasakh:
Selain faktor-faktor diatas yang menyebabkan terjadinya gugatan isteri (fasakh), adapula penyebab lain adalah sebagai berikut:
1.      Syiqaq
Salah satu bentuk terjadinya fasakh ini adalah adana pertengkaran antara suami-istri yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 35.
35.dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam. dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
2.      fasakh karena cacat
Yang dimaksud cacat disini adalah cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau rohani atau jiwa. Seperti: balak (penyakit belang kulit), gila, canggu (penyakit kusta), penyakit menular (TBC, sipilis, dll), ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan, unah, yaitu zakar atau impoten (tidak hidup untuk jima’). Ada atsar sahabi ang berasal dari Umar bin Khattab dari Said bin al-Musayyab yang berbunyi:
قال أيما رجل تزوج امرأة فدخل بها فوجدها برصاء أو مجنونة أو مجونة فلها الصداق بمسيسه إياها
Umar bin Khattab berkata:” Laki-laki mana saja yang mengawini perempuan dan bergaul dengannya, menemui pada perempuan itu penyakit sopak, gila atau kusta, maka berikanlah maharnya karena telah bergaul dengannya (artinya setelah keduannya dipisahkan).”
3.      fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah
Suami selama dalam masa perkawinan berkewajiban memberi nafkah untuk istrinya, baik dalam bentuk sandang, pangan maupun papan. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin saja terjadi suami kehilangan sumber pencahariannya sehingga dia tidak dapat menjalankan kewajibannya, sehingga kehidupan rumah mulai terancam. Ada sebuah hadis yang berasal dari Abu Hurairah:
أن النبي صلى الله عليه وسلم فى الرجل لايجد ما ينفق على إمرأته قال يفرق بينهما
Bahwasanya Nabi SAW. Berbicara tentang seorang laki-laki yang tidak memperoleh sesuatu untuk nafkah istrinya dan mengatakan: “diceraikan diantara keduanya”.
4.      fasakh karena suami ghaib (al-mafqud)
Yang dimaksud dengan suami gaib disini adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak diketahui dimana perginya dan dimana beradanya dalam waktu yang sudah lama. Gaibnya suami dalam bentuk menyulitkan istrinya. Ada sebuah pendapat sahabat Ibnu Mas’ud bahwa:
hakim tidak boleh memutuskan perkawinan tersebut. Istri suami ang gaib itu masih terikat dengan suaminya sampai ada keyakinan tentang kematiannya. (Ibnu hazmin, 315).
5.      fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan
Bila terjadi pelanggaran janji, dalam kasus ta’liq thalaq umpamanya suami yang meninggalkan istrinya selama masa tertentu dan tidak memberi nafkah dalam masa itu; istri tidak rela dengan kenyataan itu, istri mengajukannya ke pengadilan untuk memperoleh perceraian dari pengadilan. Inilah salah satu bentuk dari penelesaian pelanggaran perjanjian dalam perkawinan dalam bentuk fasakh.

2.2  Sumber Hukum Fasakh
Pembatalan perkawinan mempunyai dasar hukum yang tegas dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa: ”Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Selain pasal 22 UU Nomor 1 tahun 1974 di atas, juga diatur dalam pasal 24 undang-undang tersebut, bahwa: Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 1ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.[12]
Pernyataan di atas menunjukkan kuatnya dasar hukum pembatalan perkawinan dalam undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan di dalam hukum Islam, terdapat suatu riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya anak perempuan al-Jaun tatkala dipersatukan dia kepada Rasulullah saw dan ia hampir kepadanya. Ia berkata : “Aku berlindung kepada Allah dari padamu”. Maka Rasulullah bersabda :
الحقى باهلك :رواه ابن ماجه
Kembalilah kepada keluargamu (H.R.Ibnu Majah).
Ada beberapa hadits lain yang dijadikan dasar pijakan bagi hukum fasakh an-nikah diantaranya adalah:
عن جميل بن زيد بن كعب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج إمرأة من بني غفار فلما دخل عليها فوضع ثوبه وقعد على الفراش أبصر بكشجها بياضا فنحاز عن الفراش ثم قال خذى عليك ثيابك ولم يأخذ مما أتاها شيئا. {رواه أحمد}

Dari jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah menikahi seorang perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatannya putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau telah mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR. Ahmad).[13]
عن يحي بن سعيد بن مسيب أنه قال : قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : أيما رجل تزوج إمرأة وبها جنون أو جذام أو برص فمسها فلها صداقها كاملا وذلك لزوجها غرم على وليها. {رواه مالك}
Dari yahya bin sa’id bin musayyab, ia berkata: umar bin khattab r.a berkata. Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu dari diri perempuan itu terdapat tanda-tanda gila, kusta, atau bulak, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka hak baginya menikahi dengan sempurna (mahar sempurna). Dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas walinya.” (Riwayat Malik).[14]
Hadis di atas menunjukkan adanya pembatalan perkawinan yang telah dipraktekkan dalam Islam, bahkan oleh Rasulullah saw sendiri. Bahkan dalam Islam sudah sangat jelas bahwa segala sesuatu akad, termasuk akad perkawinan yang tidak memenuhi syarat atau menyalahi aturan yang telah ditetapkan, secara otomatis batal, sekalipun tidak dibatalkan secara resmi oleh pihak yang berwenang.

2.3  Pelaksaan Fasakh
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’. Maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, saudara susuan, dan sebagainya.
Akan tetapi, bila terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaanya adalah:
1.      Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa ia untuk itu. Dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti: Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya, seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Artinya:Dari Umar r.a bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar-pembesar tentara, tentang laki-laki yang telah jauh dari isteri-isteri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap merekaagar mereka mengirimkan nafkah, atau menceraikan isterinya. Maka bila mmreka telah menceraikannya, hendaklah mereka kirim semua nnafkah yang telah mereka tahan”. (H.R. Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi)
2.      Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang-kurangnya tiga hari mulai dari hari istri mengadu.
Bila masa perjanjiann itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya. Rosulullah SAW bersabda:
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah Saw. bersabda tentang yang tidak memperoleh apa yang telah dinafkahkannya kepada isterinya, bolehlah keduanya bercerai.” (H.R. Darutqutni dan Al-Baihaqi)
Di Indonesia, masalah pembatalan perkawinan diatur dalam kompilasi hukum islam sebagai berikut:
1.      Seorang suami dan isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yeng melanggar hukum.
2.      Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.      Apabila ancaman telah berhenti, maka bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
 Adapun yang berhak mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:
a.       Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b.      Suami atau isteri.
c.       Pejabat yang berwenang mengatasi pelaksanaan pernikahan menurut undang-undang.
d.      Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat pernikahan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.      Permohonan pembatalan pernikahan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri, atau tempat pernikahan dilangsungkan.
2.      Batalnya suatu pernikahan dimulai setelah Putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya pernikahan.[15]




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ø  Fasakh dalam tinjauan bahasa (etimologi) adalah berasal dari akar kata (mashdar) الفسخ : مصدر من فسخ – فسخ العقد artinya: membatalkan. فسخ : نقض، إبطال artinya pembatalan. Fasakh menurut terminologi adalah فسخ العقد : نقضه artinya: menfasakh akad, yang berarti membatalkan. Apabila terjadi pada akad nikah . fasakh berarti melepaskan ikatan  hubungan antara suami istri.
Ø  Pembatalan perkawinan mempunyai dasar hukum yang tegas dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa: ”Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Ø  Di Indonesia, masalah pembatalan perkawinan diatur dalam kompilasi hukum islam sebagai berikut:
1.      Seorang suami dan isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yeng melanggar hukum.
2.      Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.      Apabila ancaman telah berhenti, maka bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur

3.2  Saran
Agar fasakh tidak terjadi maka sebagai sepasang suami istri haruslah menjaga rumah tangganya tetap harmonis maka dari itu kepercaaan, komunikasi dan tanggung jawab dari masing-masing pasangan sangat dibutuhkan. Selain hal tersebut juga agar meminimalisirkan pergesekan-pergesekan atau pertengkaran dari sepasang suami istri tersebut karena walau perceraian dihalalkan oleh Allah tetapi Allah juga membeci perceraian tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

A. W. Munawwir. 1997. Al-Munawwir. Cet. Ke-14. Surabaya: Pustaka Progressif
Atabik Ali. 1996. Kamus Kontenporer. Yogyakarta: Yayasan ali Maksum Ponpes Krapyak
Sayyid Sabiq. 1983. Fiqh As-Sunnah. Cet. Ke-4. Beirut: Daar Al-Fikr
M. Abdul Mujied. 1994. Kamus Istilah Fiqh. Cet. Ke-1. Jakarta: Pustala Firdaus
Ahmad Gundur. 1967. At-Thalaq. Cet. Ke-1. Makkah: Daar al-Ma'arif
Abu Ainaini Al-Badran. Al-Fiqh Al-Muqaran Li Al-Akhwal Asy Syakhsiyah. Juz.1. Beirut: Daar An-Nuhdhah AlArabiyah
Muhammad Ibnu Abidin. Hasiyah Radd Al-Mukhtar.  Beirut: Daar Al-Fikr
Undang-Undang Perkawinan (UU.No.1 Th.1974, PP.No.9 Th.1975, PP.No.10 Th.1983, PP.No.45 Th.1990). Cet. II. 2012. Bandung: Citra Umbara
Malik. 1974. Muwatha' Malik. Beirut; Daar al-Fikr
Slamet Abidin. 1999. Fiqih Munakahat II. Bandung: CV Pustaka Setia


[1] A. W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-14, h. 1054
[2] Atabik Ali, Kamus Kontenporer, (Yogyakarta; Yayasan ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996), h. 1392
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut; Daar Al-Fikr, 1983), Cet. Ke-4, h. 268
[4] M. Abdul Mujied, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta; Pustala Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 75
[5] Ahmad Gundur, At-Thalaq, (Makkah, Daar al-Ma'arif, 1967), Cet. Ke-1, h. 35
[6] Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
[7] Abu Ainaini Al-Badran, Al-Fiqh Al-Muqaran Li Al-Akhwal Asy Syakhsiyah, (Beirut; Daar An-Nuhdhah AlArabiyah, tth), Juz.1, h. 295
[8] Muhammad Ibnu Abidin, Hasiyah Radd Al-Mukhtar, (tt, Daar Al-Fikr, tth), h 28
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Loc. Cit.
[10] Badran Abu Ainain Bahran, Op. Cit. h. 296
[11] Ibid., h. 297
[12] Undang-Undang Perkawinan (UU.No.1 Th.1974, PP.No.9 Th.1975, PP.No.10 Th.1983, PP.No.45 Th.1990), (Cet II, Bandung : Citra Umbara, 2012).
[13] Malik, Muwatha' Malik, (Beirut; Daar al-Fikr, 1974), Ket. Ke-3, h. 298
[14] Ibid. h. 299
[15] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.79-81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar