BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum. Semua
yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam
bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian hukum untuk
seseorang sejahtera hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di
Indonesia.
Jadi perlunya hukum untuk negara kita
yaitu untuk mengatur supaya bisa mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara,
untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum
di dalamnya, misalnya dalam kepemilikan tanah.
Tanah adalah suatu aset negara yang
sangat banyak sekali, sumber penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak
dan salah satu pajak yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun
pajak-pajak yang lain misalnya sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis
dengan setiap tanah bermilik atau berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk
Indonesia. Bisa jadi lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk
dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu
peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup kemasyarakatan yang
bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam masyarakat.[1]
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam
makalah ini adalah, sebagai berikut :
- Apa arti dari sengketa Tanah ?
- Apa hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah?
- Bagaimana penyelesaian kasus penyelesaian sengketa tanah antara militer dengan warga masyarakat di jawa timur ?
- Sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah ?
- Bagaimana contoh dalam masyarakat secara nyata?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan penelitian dari paper ini yaitu :
1.
Untuk mendeskripsikan arti
sengketa tanah.
2.
Untuk mendeskripsikan hal-hal
yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah.
3.
Untuk mendeskripsikan bagaimana
penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut.
4.
Untuk mendeskripsikan sejauh
mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah.
5.
Untuk mendeskripsikan contoh
dalam masyarakat secara nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sengketa Tanah
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga
dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum
yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi
keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau
kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama,
yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air,
tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.[2]
Secara umum ada beberapa macam sifat
permasalahan dari suatu sengketa tanah antara lain :
- Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
- Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
- Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.
- Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru.
Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada
masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
1. Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang
dan tidak merata;
2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan
tanah nonpertanian;
3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat
golongan ekonomi lemah;
4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
Menurut Maria
S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan yaitu
:
- Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
- Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
- Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
- Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
- Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.[4]
Melihat
penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari
sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang
disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa
tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan
prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu
keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri
yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah
seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan
dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan
tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Sebagai contohnya banyak
konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya sengketa tanah oleh lembaga
negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki
bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan
mereka juga menjalankan tugas negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil
tanah itu tetapi dari masyarakat juga dikuatkan dari faktor sejarah yang dari
turun-temurun keluarganya sudah memakai tanah tersebut.
2.2 Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama
yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1.
Persoalan administrasi
sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki
oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2.
Distribusi kepemilikan tanah
yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini
baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan
baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat
bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan
distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung
kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani
atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga
murah.
3.
Legalitas kepemilikan tanah
yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan
produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah
bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka
telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan
memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini
merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian?
karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan
agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
2.3 Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui
BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan /
keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang
telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka
atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
- mengenai masalah status tanah,
- masalah kepemilikan,
- masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas,
pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan
pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih
lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang
harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984,
maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu
para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status
quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB)
dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor
Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan
asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian,
asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan
masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan
Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan
pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara
musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta
sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai
saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana
penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai
dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita
acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam
akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di
dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan
tersebut antara lain :
- Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
- Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
- Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
- Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang
merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang
bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
2.4 Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan
membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti
tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian,
yaitu:
1.
Kekuatan pembuktian formil.
Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tersebut.
2.
Kekuatan pembuktian materiil.
Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam
akta itu telah terjadi.
3.
Kekuatan mengikat. Membuktikan
antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang
ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata
otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
·
SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid
menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1.
Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan
itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta
merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2.
Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam
sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang
sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
2.5 Contoh dalam masyarakat
tentang sengketa tanah yang terjadi
·
Contoh Yang pertama yaitu
konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini cukup banyak, yang melibatkan
warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI
tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Sumberanyar, Dusun Curah Timo,
Nguling, Pasuruan, Jawa Timur dengan TNI AL terhadap lahan di Desa Sumberanyar,
Dusun Curah Timo, Nguling, Pasuruan, Jawa Timur.
Persoalan terjadi saat TNI AL
mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik
mereka. Sementara TNI AL, yang diwakili Letkol Laut (P) Sa'ban Nur S, tetap
akan menempati lahan tersebut sesuai dengan perintah negara. "Pada
intinya, kami tunduk pada negara. Kalau negara memberikan tempat latihan di
situ (Desa Sumberanyar) ya kami akan menempatinya. Kalau pemerintah memberikan
lahan untuk latihan di tempat lain, ya kami akan melaksanakannya,"
kata Sa'ban usai gelar mediasi di Kantor Gubernur Jawa Timur.
Sementara itu, TNI yang merupakan
lembaga pemerintah di bawah Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat
utama sistem pertahanan negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan
sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi
yang terkandung dalam bumi, air, dan diantara yang dapat digunakan untuk
kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah
tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan
pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas
bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1
Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa
pertahanan negara mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen
pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara
Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas
pertahanan. Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah
disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat
kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya
nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan
komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah
sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang
terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan
di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai
sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas
tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan
tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar
pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun
pihak masyarakat menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA,
namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan
tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban
dari kedua belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi
antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status
tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh
hak atas tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan
tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang
digunakannya.[5]
·
Contoh sengketa yang kedua
yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara konflik pertanahan yang
terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 13 tahun terakhir sejak reformasi
bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan
sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga
Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya
terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumber Majing, Kabupaten
Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai
titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat,
sementara TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut,
sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di
kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan
TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban
berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan
karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia,
para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973,
tanah yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan
obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974
lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650
hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam
Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai
milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973,
yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara
Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti
rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak
klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut
Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk
Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan
tanah sengketa itu obyekland reform dengan verponding (tanda
hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa
Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo,
dan Mulyosari.[6]
Hak atas tanah yang dilekatkan pada
tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA
menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama
jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan
yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa
apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini
diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
1. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
2. Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
3. TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak
atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari
seoarang yang telah ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan
memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri
benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat
keperluan sendiri.[7]
Pembuat Undang-undang Pokok Agraria
member kesempatan bagi setiap orang yang memegang Hak Milik Adat di seluruh
Indonesia untuk mendaftarkan haknya dan akan memperoleh sertifikat Hak Milik
melalui prosedur konversi Hak Adat(peraturan Menteri Pertanian dan Agraria).[8]
Jadi walaupun itu berdasarkan tanah
adat maupun turun temurun dari nenek moyang, tetap harus berdasarkan hukum yang
berlaku, karena Indonesia ini adalah negara hukum dan lebih kuat juga bila ada
bukti hukum yang pasti seperti surat tanah atau akta tanah tersebut. Sangatlah
penting tentang surat tanah yang salah satu manfaatnya yaitu untuk kepastian
hukum.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka
dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita harus mengidentifikasi
terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa
subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum
yang berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna
untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah
antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau
institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga
Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai
lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai
mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap
keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan
TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila
sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang
No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan
komponen utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan
pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan
hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi
kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas yang merupakan sengketa
dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada
negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.
3.2 Saran
Dari kasus-kasus yang telah di
kemukakan di atas, maka dapat disarankan bahwa semua hukum yang ada pada negara
ini, telah dimasuki kepentingan negara dalam rangka mencapai cita-cita bangsa
dan tujuan negara. Jadi hukum tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu cara
yang dilakukan pemerintah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara
Indonesia yang sudah tertera pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Salah
satunya yaitu mensejahterakan rakyat.
Menjadi warga negara yang baik harus
tahu akan hukum serta tidak hanya tahu, juga haruslah melaksanakan hukum
tersebut. Untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik (good citizen),
maka harus taat dan mengerti akan hukum. Hal itulah yang ditujukan untuk penulisan
makalah ini tentang penanaman kesadaran hukum haruslah ditingkatkan di
Indonesia agar tidak terjadi konflik-konflik dari yang ditimbulkan oleh
penyelewengan hukum, atau pelanggaran hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak
atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria
di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir
(Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi
Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah
Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan
Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005
[1] C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1986 hal. 34
[2] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta:
Prenada Media, 2005, hal 23
[3] Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya,
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009, hal 35
[4] Maria SW sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2009,hal 18
[6] http://www.tempo.co/read/news/2013/07/08/058494576/Warga-Tagih-Penyelesaian-Sengketa-Tanah-Dengan-TNI
[7] Soedigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta:
Penerbit Bhratara, 1970, hal. 51
[8] Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir
(Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal.94-95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar