Label

Senin, 24 Maret 2014

PRODUK HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANG DI INDONESIA (PERADILAN AGAMA & HUKUM KELUARGA)


BAB I
PENDAHULUAN
 1.1    Latar Belakang
Kelembagaan hukum Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keinginan masyarakat Indonesia untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis yang isinya merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat, baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan agama yang ada. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Keberhasilan yang dimulai dengan dibentuknya UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses 24 tahun sejak mulai perancangan,[1] disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang secara resmi mengakui eksistensi Peradilan Agama serta disusul oleh perundang-undangan lainnya. Namun, secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu belum bisa memuaskan kebutuhan masyarakat. Hal menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan ini. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
Melihat diatas maka dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk memaparkan tentang produk hukum islam mengenai pengadilan agama dan hukum keluarga dalam perundang-undangan di Indonesia.
 1.1  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut
1.      Apa produk hukum islam mengenai peradilan agama dalam perundang-undangan di indonesia?
2.      Apa produk hukum islam mengenai hukum keluarga dalam perundang-undang di indonesia?
1.2  Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan ini adalah:
1.      Mendeskripsikan produk hukum islam mengenai peradilan agama dalam perundang-undangan di indonesia.
2.      Mendeskripsikan produk hukum islam mengenai hukum keluarga dalam perundang-undangan di indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Produk Hukum Islam Mengenai Peradilan Agama Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia
Dua tipe pemimpin Islam yaitu ulama dan pejabat agama, memainkan peranan yang sangat penting dalam proses Islamisasi di Indonesia. Mereka mengaktualisasikan kepemimpinannya melalui pranata politik. Ketika Islam menjadi kekuatan politik, yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Islam yang memerintah, terjadi suatu hubungan simbiotik ulama-ulama dan pejabat agama yang menjadi pusat kekuatan Islam.[2]
Lembaga Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan keyakinana umat Islam jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Usaha Belanda menghapuskan lembaga tersebut tidak berhasil, dan karenanya, wajar apabila umat Islam sangat mendambakan segera keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah mengakui Peradilan Agama setara dengan peradilan lainnya. Ini terdapat pada pasal 10 ayat 2, yaitu: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara”. Hal ini membuat umat Islam semangat untuk membuat Undang-Undang yang mengatur Peradilan Agama.
Makna kekuasaan kehakiman sama artinya dan tujuannya dengan kekuasaan peradilan atau judicial power yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.[3]
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak tahun 1961, yaitu sejak dibentuknya sebuah panitia dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961. Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR Republik Indonesia selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR Republik Indonesia guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat dibagi kedalam tiga periode, yaitu:[4]
1.    Tahun (1961-1971), dalam periode ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern Departemen Agama sendiri dan belum dilakukan langkah-langkah keluar;
2.    Tahun (1971-1981), dalam periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama, namun belum diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui gagasan dipersiapkannya RUU PA;
3.    Tahun (1981-1988), dalam periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh Departemen Agama langsung mendapat persetujuan dari instansi terkait yang lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung pada tahun 1981 dan kemudian oleh Departemen Kehakiman pada tahun 1982, yaitu melalui Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr. Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung saat itu).
Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun 1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan Undang-Undang mengenai Peradilan Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai peradilan ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr. Bustanul Arifin sebagai ketua tim pembahas RUU. Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden Republik Indonesia menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.[5]
Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas dan diuji dengan berbagai wawasan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, akhirnya pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, RUU Peradilan Agama itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama. Lima belas hari kemudian, tanggal 29 Desember 1989, Undang-Undang tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden RI, diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembar Negara Nomor 49 Tahun 1989.
 2.2    Produk Hukum Islam Mengenai Hukum Keluarga Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia
Di Indonesia persoalan perkawinan di samping dapat dijumpai dalam kitab-kitab fiqh juga telah diatur dalam perundang-undang perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974[6] dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.[7]
·      Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang didominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[8] kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi permulaan lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan[9] yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[10] Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam yang diketuai Mr. Teuku Muhammad Hasan. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konfrensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).[11]
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah. Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972  menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[12]
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal. RUU ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[13]
Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.[14]
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.[15] Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:[16]
1.    Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.    Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan.
3.   Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR segera akan dihilangkan.
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[17]
·      Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didadasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut :
1.    Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.    Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan  menyebabkan hal-hal:
a.     Ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam,
b.    Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan hukum Islam, dan
c.     Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.[18]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bushtanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI,[19] yang ditindak lanjuti dengan keluarnya intruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentangPerwakafan. Inpres tersebut ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Dengan keluarnya Inpres dan SK tersebut menurut Abdul Gani Abdullah sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu dicatat:[20]
1.    Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain adalah kewajiban masyarakat Islam untuk mengfungsikan ajaranIslam sepanjang mengenai normatif sebagai hukum yang harus hidup dalam masyrakat.
2.    Rumusan hukum Islam dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda dari keberlakuan hukum Islam yang ditunjuk oleh Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU Tahun 1989 tentang segi-segi HukumFormalnya.
3.    Menunjuk secara tegas wilayah keberlakuan KHI dengan sebutan Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya, dalam kedudukan sebagai pedoman penyelesaian masalah di tiga bidang hukum dalam KHI.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah perstasi besar yang dicapai umat Islam. Menurut Yahya Harahap, KHI diharapkan dapat:
1.    Melengkapi Pilar Peradilan Agama.
2.    Menyamakan persepsi penerapan Hukum.
3.    Mempercepat proses taqrib bainal ummah.
4.    Menyingkirkan paham private Affair.[21]
Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.
            
BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas,maka dapat disimpulkan:
·      Produk peradilan agama dalam perundang-undangan di indonesia.
Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas dan diuji dengan berbagai wawasan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, akhirnya pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, RUU Peradilan Agama itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama. Lima belas hari kemudian, tanggal 29 Desember 1989, Undang-Undang tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden RI, diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembar Negara Nomor 49 Tahun 1989.
·      Produk hukum keluarga dalam perundang-undangan di indonesia.
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Kurang lebih mengalami proses 24 tahun sejak mulai perancangan dan akhirnya berhasil membentuk UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu belum bisa memuaskan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.

DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 1978. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. 1978. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
Cansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Abdullah, Abdul Ghani. 1994. Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V. Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI
S. Praja, Juhaya. 1994. Hukum Islam di Indonesia (pemikiran dan praktek). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Harahap, M. Yahya. 1997. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini
Zarkasyi, Muchtar. 1997.  Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989. Bandung: Ulul Albab Press
Bisri,MS, Cik Hasan. 1998. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Halim, Abdul. 2002. Peradilam Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Hadikusuma, Hilman. 2006. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Kencana
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,1 993/1994. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Harahap, Yahya. 1991. Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Memotifikasikan Abstarksi Hukum Islam. Jakarta: Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Departemen Agama.


[1] Abdul Halim, Peradilam Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. II, 2002), h. 9
[2] Drs. Cik Hasan Bisri,MS, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 126
[3] M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), cet. Ke-3, h. 89
[4] Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), h. 305
[5] Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (pemikiran dan praktek), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), h. 76.
[6] Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian
[7] KHI memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229)
[8] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 1989, cet. II), h. 224-225
[9] Keburukan-keburukan yang dimaksudkan yaitu antara lain: perkawinan kanak-kanak (anak di bawh umur), kawin paksa, poligami, talak sewenang-wenang dan lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon perempuan Indonesia terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai ketentuan hak dan kewajiban suami isteri disebabkan oleh ketentuan yang mengatur bahwa; a. suami berhak menahan isteri untuk tetap di rumah; b. bahwa isteri wajib patuh kepada suami; c. bahwa suami berhak memberikan pelajaran kepada isteri; d. bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan seks suami.
[10] Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 9
[11] Ibid, h.10
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,  (Jakarta: Kencana, 2006), h.4
[13] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 111
[14] Abdul Manan, Op. cit, h. 5.
[15] Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Op. cit, h. 27
[16] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 24-25
[17] Yaitu undang-undang Perkawinan yang berlaku sampai saat sekarang ini yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1974, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019. lebih lanjut lihat C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 222
[18] Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bushtanul Arifin, SH,i (Jakarta : GemaInsani Pers,1996), h.11-12.
[19] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,1 993/1994, h.129-130.
[20] Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994)  h. 94-106.
[21]Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Memotifikasikan Abstarksi Hukum Islam, (Jakarta : Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Departemen Agama,1991), h.27-29.

1 komentar: