Label

Senin, 14 April 2014

QISHASH dan TA'ZIR



BAB I
PEMBAHASAN
A.  Qishash
1.    Pengertian Qishas
Qishash sendiri menurut etimologi yakni memotong atau mengikut.  Sedangkan menurut terminologi qishash berarti hukuman balasan yang seimbang atau yang sama, setara dengan perbuatan kejahatan yang dilakukan bagi para pelaku sengaja dan pelaku peaniyayaan secara fisik dengan sengaja. Hukuman yang sama dengan perbuatan kejahatan yang dilakukan adalah, jika seseorang melakukan pembunuhan dengan sengaja maka pelakunya harus dihukum bunuh, jika seseorang melakukan peaniayaan secara fisik dengan sengaja kepada orang lain maka pelakunya harus dikenai hukuman yang sama dengan bentuk kejahatan yang dilakukanya.[1]
2.    Macam-Macam Qishash
Qishash ada 2 macam :
a.    Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b.   Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
3.  Syarat-Syarat Qishash
a.    Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b.    Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qisas bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c.    Orang yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempua dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d.   Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e.    Qishash itu dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f.     Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâi’)
g.    Pembunuhan olah massa / kelompok orang. Sekelompok orang yang membunuh seorang harus di qisas, dibunuh semua.
4. Klasifikasi Hukum Qishash
Maka secara umum, pembagian tindak pidana qishash berdasarkan pendapat para ulama dibagi menjadi beberapa bagian yakni sebagai berikut :
a.    Pembunuhan sengaja
Pembunuhan sengaja adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang dengan sengaja dan mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Tindakan ini biasanya dilakukan dengan niat dari si pelaku untuk menghabisi nyawa seseorang, sehingga bisa saja pelaku menggunakan alat berupa benda tajam, dan alat alat yang mematikan lainnya.[2]
Dalam bahasan ini, maka jelas berlaku hukum qishash pada pelaku sebagaimana yang dia lakukan terhadap korbannya. Namun dalam pelaksanaan nya, ulama mazhab berbeda pendapat apakah boleh untuk tindak pidana ini hukum qishash dilakukan oleh wali atau ahli waris korban atau tidak.
Disamping itu pihak keluarga juga berhak untuk mema’afkan pelaku dengan berdasarkan pada ayat diatas. Sehingga pelaku tidak dikenai hukum qishash atau diyat. Namun ia tetap harus menerima hukum ta’zir dan kafarat.
b.    Pembunuhan serupa sengaja
Pembunuhan serupa sengaja maksudnya ialah tindak kekerasan atau yang berkaitan dengan fisik orang lain yang menyebabkan kematiannya padahal tidak ada niat pelaku untuk membunuhnya.
Dalam hal ini, maka pelaku tidak dihukum qishash sebagaimana pembunuhan sengaja, namun pelaku wajib membayar diat mukhaffafah yang diangsur selama tiga tahun.
c.    Pembunuhan tersalah
Pembunuhan tersalah adalah sebuah tindak pidana yang dilakukan seseorang dengan tiada maksud dan usaha untuk membunuh namun perbuatannya itu menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Hal ini biasa dikenal dengan istilah salah sasaran.
Dalam perkara ini pelaku meskipun salah sasaran tetap dikenai hukuman membebaskan seorang budak wanita yang adil.
d.   Penganiayaan sengaja
Penganiayaan sengaja adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang menyebabkan orang lain terluka. Dalam hal ini pelaku memang memiliki niat untuk melukai orang tersebut namun tidak sampai menyebabkan orang itu mati.
Dalam tindak pidana penganiayaan sengaja ini, maka pelaku akan dikenai hukum qishash sesiau dengan apa yang dia lakukan pada korbannya.
e.    Penganiayaan tidak sengaja
Penganiayaan tidak sengaja adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang yang mengakibatkan orang lain terluka. Namun dalam hal ini pelaku tidak memiliki niat untuk melukai orang lain, namun  disebabkan hal-hal yang tidak terduga, maka menyebabkan orang lain terluka.

B.  Ta’zir
1.    Pengertian Ta’zir
Ta’zir secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Sedangkan ta’zir secara terminologi adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara’ dan penentuan hukumnya menjadi kekuasaan hakim.[3]

2.    Macam-macam Ta’zir
Ta’zir ada 2 macam:
a.    Jarimah ta’zir yang menjadi wewenang ulil amri yang merupakan jarimah demi kepentingan kemaslahatan.
b.    Jarimah ta’zir yang ditentukan syara’, yaitu yang telah dianggap jarimah.
3.    Klasifikasi Hukuman Ta’zir
a.    Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syariat islam hukuman ta’zir adalah untuk member pengajaran dan tidak sampai membinasaka, akan tetapi kabanyakan fuqaha membuat suatu pengecualian dari aturan umum tersebut, Ini hanya boleh dilakukan  apabila memang kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan pembuat tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya seperti mata-mata, pembuat fitnah. Oleh karena hukuman mati, sebagai hukuuman ta’zir merupakan suatu pengecualian, maka hukuman tersebut tidak boleh diperluas.
b.    Hukuman Penjara
Ada dua macam hukuman dalam syariat islam, yaitu hukuman terbatas dan hukuman tidak terbatas (terbatas dan tidak terbatas disini adalah dari segi waktu)
1)   Hukuman kawalan terbatas
Batas terendah bagi hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas setinggi-tingginya tidak menjadi kesepakatan. Ulama- ulama syafi’iyah menetapkan batas tertingginya satu tahun. Sedangkan fuqaha-fuqaha lainnya menyerahkan batas tertingginya kepada penguasa Negara.
2)   Hukuman kawalan tidak terbatas
Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini ialah penjahat yang berbahaya atau orang-orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya, atau oaring-orang yang tidak tegas dijatuhi hukuman-hukuman biasa, yang biasa melakukan jarimah pembunuhan, penganiayaan atau pencurian.
c.    Hukuman Jilid
Hukuman jilid merupakan hukuman yang pokok dalm syariat islam, dimana untuk jarimah-jarimah hudud sudah tertentu jumlahnya misalnya seratus kali untuk zina, setentu jumlahnyadang untuk jarimah-jarimah ta’zir tidak tertentu jumlah, ini diserahkan kepada penguasa.
d.   Hukuman Pengasingan
Dalam hukuman pengasingan ini ulama berbeda pendapat, menurut imam syafii dan imam ahmad tidak lebih dari satu tahun, agar tidak melebihi masa pengasingan yang telah ditetapkan sebagai hukuman had, yaitu satu tahun juga. Dan menurut fuqaha lain membolehkan pengasingan lebih dari satu tahun dan tidak memberikan batasan waktu tertentu.
e.    Hukuman denda ( al-gharamah).[4]
Hukuman denda ditetapka juga oleh syariat islam, antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung di denda dengan dua lipat harga  buah tersebut. Dalam masalah denda ini ulama berbeda pendapat, ada yang tidak memperbolehkan karna hukuman denda mula-mula ditetapkan pada masa rasulullah Saw kemudian di batalkan. Selain itu menurut mereka hukuman tersebut bukan cara yang baik untuk memberantas jarimah, bagi  fuqaha-fuqaha yang memperbolehkan dijatuhkannya hukumman denda sebagai hukuman umum memberikan ikatan-ikatan  tertentu. Yaitu agar harta benda pembuat dikuasai, sedangkan pembuat sendiri ditahan (dipenjarakan) sehingga dirinya baik. Kalau sudah baik maka harta tersebut di kembalikan padanya, dan apabila tidak menjadi baik maka harta tersebut digunakan dalam kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA

Zainal, Eldin. Hukum Pidana Islam. Bandung: Cita Pustaka
Mustofa Hasan & Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah): Dilengkapi dengan Kajian Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia


[1] Eldin, Zainal. Hukum Pidana Islam. (Bandung : Cita Pustaka) h.162
[2] Op. Cit, h.165
[3] Mustofa Hasan & Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah): Dilengkapi dengan Kajian Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) h.594
[4] Op. Cit, h.596

Tidak ada komentar:

Posting Komentar