Label

Senin, 06 Oktober 2014

Gharawain



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’). Harta Warisan yang dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah sesuau yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.[1]
Didalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus. Masalah-masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan yang khusus pula. Misalnya sebuah persoalan kewarisan yang harus diselesaikan secara khusus, yaitu terdiri dari Al-Gharawain (Umariyatin).


1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dari gharawain?
2.      Bagaimanakah perbedaan pendapat tentang gharawain?
3.      Bagaimanakan permasalahan gharawain?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mendeskripsikan pengertian dari gharawain?
2.      Mendeskripsikan perbedaan pendapat tentang gharawain?
3.      Mendeskripsikan permasalahan gharawain?
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Pengertian Gharawain
Gharawain, dari lafadz ghara (bintang cemerlang). Itu disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan bintang yang cemerlang. Nama lain dari gharawain adalah Umariyatain karena cara penyelesaiannya tersebut diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.[2]
Gharawain atau yang disebut umariyatain merupakan permasalahan pada ilmu mawarits yang mana apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, ayah dan ibu, ataupun istri, ayah, dan ibu. Permasalahan ini disebut sebagai permasalahan Umariyatain karena perdebatan tentang masalah ini muncul pada masa Kholifah Umar bin Khattab ra. Pada waktu itu Kholifah Umar berdebat dengan Ibnu Abbas ra tentang lafadz “jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja)” dalam Q.S An Nisa ayat 11.
2.2  Perbedaan Pendapat tentang Gharawain
Ada perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini:
1.      Menurut Umar r.a, yang kemudian diikuti oleh para sahabat, seperti Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, serta para ahli ra’yi dan para ahli fuqaha, seperti Al-Hasan, As-Saury, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, ibu menerima bagian 1/3 sisa. Dengan demikian, penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
AW
Bagian
AM= 6
Suami
½
½ x 6 = 3
Ibu
1/3 sisa
1/3 x 3 = 1
Ayah
Ashabah
6 - 4 = 2
Jumlah
6

AW
Bagian
AM= 12
Istri
¼
¼ x 4 = 1
Ibu
1/3 sisa
1/3 x (4-1) = 1
Ayah
Ashabah
4 – 2 = 2
Jumlah
4
Mereka berpendapat demikian dengan mengemukakan alasan sebagai berikut: Rangkaian kalimat فلأ مه الثلث  dalam firman Allah SWT. Surat An-Nisa ayat 11, maksudnya adalah sepertiga peninggalan, baik seluruh harta peninggalan atau sebagiannya. Andaikan tidak mengacu pada pengertian demikian, niscaya firman Allah SWT. وورثه ابوه  tidak berarti apa-apa. Ketika menerangkan bahwa jika yang mewarisi hanya ibu dan ayah saja, Allah menjelaskan bagian ibu, yaitu 1/3 nya, yang berarti 1/3 harta yang diwarisi oleh ibu dan ayah. Jadi, sekiranya ibu dan ayah tidak bersama-sama dengan suami atau istri, mereka mendapat hak atas seluruh harta penunggalan sehingga bagian ibu pun, adalah 1/3 seluruh harta peninggalan. Apabila ibu dan ayah mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri, bukan seluruh harta peninggalan yang dijadikan hak oleh keduanya, melainkan sisa setelah diberikan kepada salah seorang suami istri, ibu hanya menerima 1/3 sisa harta peninggalan.
Sesuai dengan nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya hanya ibu dan ayah saja, ibu mendapat bagian 1/3 secara fard dan ayah menerima sisanya, yaitu 2/3, dengan perbandingan 1:2. ketentuan ini tidak berlaku bila ibu-ayah mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri. Kalau ini dijalankan, bagian ibu tentumelebihi dari separuh bagian ayah.
Dalam masalah pertama, ibu mendapat 1/3 dari asal masalah 6 = 2, sedangkan ayah hanya mendapat sisanya, yaitu 6-3-2 = 1.
Dalam masalah kedua, ibu menerima 1/3 dari asal masalah 12 = 4, sedangkan ayah hanya menerima 12-3-4 = 5.
Jadi, perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam masalah pertama 2:1, dan perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam maslah kedua = 4:5, yang demikian ini bertentangan dengan nash.
2.      Ibnu Abbas r.a, berpendapat bahwa ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat bagian 1/3 harta peninggalan. Oleh karena itu, penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
AW
Bagian
AM = 6
Suami
½
½ x 6 = 3
Ibu
1/3
1/3 x 6 = 2
Ayah
Asabah
6 – 5 = 1
Jumlah
6

AW
Bagian
AM = 12
Istri
¼
¼ x 12 = 3
Ibu
1/3
1/3 x 12 = 4
Ayah
Asabah
12 – 7 = 5
Jumlah
12
Untuk mempertahankan pendapatnya, Ibnu Abbas r.a. mengemukakan alasan sebagai berikut:
a.       Kalimat فلآ مه الثلث dalam surat An-Nisa: 11, maksudnya adalah 1/3 harta peninggalan ثلث الباقى sebab kalimat tersebut di-ataf-kan pada kalimat فلآ مه الثلث ماترك  sebagaimana kalimat فلها النّصف juga di-ataf-kan padanya sehingga نصف ماترك. Dengan demikian, kalimat فلآمه الثلث lengkapnya adalah فلآمه الثّلث ماترك yang berarti, “Maka ibunya mendapat sepertiga harta peninggalan”.
b.      Semua macam fard yang disebutkan dalam Al-Quran itu disandarkan kepada pokok harta peninggalan yang dibagi. Misalnya: fard ½ artinya ½ harta peninggalan, fard ¼ artinya ¼ harta peninggalan, dan seterusnya setelah dilunaskannya wasiat dan utang-utang orang yang meninggal. Seandainya fard ibu 1/3 sisa harta peninggalan itu tidak ditunjuk oleh nash, harus diartikan dengan 1/3 seluruh harta peninggalan.
c.       Ibu termasuk ahli waris ashabul furud dan ayah termasuk ahli waris asabah binafsih (dalam masalah tersebut), sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. Yang berbunyi:
الحقواالفرائض باهلها فما بقي فلاولى رجل ذكر (متفق عليه)
Artinya:”Berikanlah harta pusaka kepada mereka yang berhak. Sesudah itu, sisanya (kalau masih ada) untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
3.      Ibnu Sirin dan Abu Tsaur mengatakan bahwa dalam masalah pertama, suami bersama-sama dengan ibu dan ayah maka ibu mendapat 1/3 sisa harta peninggalan. Adapun dalam masalah yang kedua, istri bersama-sama ibu dan ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 harta peninggalan, seperti pendapat Ibnu Abbas r.a, sehingga penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
AW
Bagian
AM = 6
Suami
½
½ x 6 = 3
Ibu
1/3 sisa
1/3 x (6-3) = 1
Ayah
Asabah
6 – 4 = 2
Jumlah
6

AW
Bagian
AM = 12
Istri
¼
¼ x 12 = 3
Ibu
1/3
1/3 x 12 = 4
Ayah
Asabah
12 – 7 = 5
Jumlah
12
Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah bahwa ibu dan ayah jika bersama-sama mewarisi dengan tidak ada ahli waris yang lain, maka ibu menerima bagian 1/3 dan ayah menerima ashabah. Karena itu cara demikian wajib diberlakukan manakala terdapat sisa. Mereka memandang sebagai suatu hal yang menyalahi prinsip apabila bagian yang diterima ibu lebih besar daripada bagian yang diterima ayah.
2.3 Permasalahan dalam Gharawain
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.[3]
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut:
1.      Jika seorang yang meninggal dunia memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah
2.      Jika seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah
Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan, yaitu suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah, dapat dipastikan bahwa persoalan warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang diistilahkan dengan gharawain.[4]
Adapun penyelesaian kasus dalam masalah Gharawain ini tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya, sebab apabila diselesaikan secara biasa maka hasilnya sebagai berikut :
AW
Bagian
AM (6)
Suami
½
3
Ibu
1/3
2
Bapak
Ashabah
1
Jumlah
6/6
Apabila penyelesaiannya dilakukan seperti di atas terlihat hasilnya bahwa untuk ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan bapak hanya memperoleh 1. Padahal semestinya pendapatan bapak haruslah lebih besar dari pendapatan ibu. Sebab bapak selain sebagai shahibul fardh juga merupakan ashabah (dapat menghabisi seluruh harta).
Jadi, persoalan Al-Gharawain ini terletak pada pendapatan ibu yang lebih besar dari pendapatan bapak. Untuk menghilangkan kejanggalan ini haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu pendapatan ibu bukanlah 1/3 dari harta warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa harta.[5]
Maka penyelesaian yang benar adalah sebagai berikut :  
AW
JP
AM (12)
Istri
¼
3 (sisa=9)
Ibu
1/3 dari sisa
1/3 x sisa(=9) = 3
Bapak
Ashabah
6
Jumlah
12/12
Prinsip dasarnya adalah bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan bapak bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri diberikan maka ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.[6]

Ø  Contoh Kasus:
1.      Untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak 'ashabah. Misalnya harta peninggalannya adalah sebagai berikut :
AW
JP
AM (Rp. 60.000.000)
Suami
½ x (Rp. 60.000.000)
Rp. 30.000.000_sisa (Rp. 30.000.000)
Ibu
1/3 x (Rp. 30.000.000)
Rp. 10.000.000
Bapak
Ashabah
Rp. 20.000.000
Jumlah
Rp. 60.000.000

2.      Untuk masalah kedua maka bagian masing-masing adalah istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak 'ashabah. Misalnya harta peninggalan sebesar Rp. 90 Juta Cara pembagiannya adalah sebagai berikut:
AW
JP
AM (Rp. 90.000.000)
Suami
¼ x (Rp. 90.000.000)
Rp. 22.500.000_sisa (Rp. 67.500.000)
Ibu
1/3 x (Rp. 67.500.000)
Rp. 22.500.000
Bapak
Ashabah
Rp. 45.000.000
Jumlah
Rp. 90.000.000




BAB III
PENUTUP

Ø  Kesimpulan
·         Gharawain atau yang disebut umariyatain merupakan permasalahan pada ilmu mawarits yang mana apabila ahli waris hanya terdiri dari suami, ayah dan ibu, ataupun istri, ayah, dan ibu.
·         Ada perbedaan pendapat tentang permasalahan gharawain ini:
1.      Menurut Umar r.a, yang kemudian diikuti oleh para sahabat Sesuai dengan nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya hanya ibu dan ayah saja, ibu mendapat bagian 1/3 secara fard dan ayah menerima sisanya, yaitu 2/3, dengan perbandingan 1:2. ketentuan ini tidak berlaku bila ibu-ayah mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri. Kalau ini dijalankan, bagian ibu tentumelebihi dari separuh bagian ayah.
2.      Ibnu Abbas r.a, berpendapat bahwa ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat bagian 1/3 harta peninggalan.
3.      Ibnu Sirin dan Abu Tsaur mengatakan bahwa dalam masalah pertama, suami bersama-sama dengan ibu dan ayah maka ibu mendapat 1/3 sisa harta peninggalan. Adapun dalam masalah yang kedua, istri bersama-sama ibu dan ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 harta peninggalan.
·         Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut: Jika seorang yang meninggal dunia memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah. Jika seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah.
Prinsip dasarnya adalah bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan bapak bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri diberikan maka ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.

DAFTAR PUSTAKA

Djalal. Maman Abd. 2006. Hukum Mawaaris. Bandung: CV Pustaka Setia
Khairul Umam, Dian. 1999. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia
Otje Salman dan Mustafa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama
Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqh Mawaris, cet IV. Jakarta: Raja Grafindo persada
Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak. 2008. Hukum Waris Islam; lengkap dan praktis.  Jakarta: Sinar grafika



[1]Djalal. Maman Abd, Hukum Mawaaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006 ) hlm.43,44
[2] Prof. DR. H. R. Otje Salman S.,S.H dan Mustafa Haffas, S.H. Hukum Waris Islam. (Bandung: Refika Aditama, 2006) hal.75
[3] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Kencana, 2005 ) hal. 108
[4] Drs. Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal.189
[5] Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam; lengkap dan praktis, ( Jakarta : Sinar grafika, 2008) hal. 133
[6] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, cet IV (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2001) hal. 130

2 komentar:

  1. Playtech in Malta, play with real casino software - DrmC
    This 안산 출장마사지 new gambling and gaming app 구리 출장마사지 from Playtech has gone live, and you can 구미 출장안마 get 성남 출장마사지 your hands on some great games for real money with the bonus and 통영 출장안마

    BalasHapus