Label

Rabu, 30 Oktober 2013

LEMBAGA AL-FUTYA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Futiya atau fatwa, ialah menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya yang berarti jawaban atas pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum. Maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid sebagai hasil ijtihadnya.
Berijtihad tidak mungkin dilakukan oleh seluruh kaum muslimin.Pada masa dahulu mujtahid merupakan orang yang dianggap ahli dalam semua disiplin ilmu, sehingga semua masalah dan peristiwa ditanyakan hukumnya terhadap mereka, lalu peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Diantara Siyasah Syar’iyah  yang harus diketahui adalah lembaga Al-futya
Maka di makalah ini kami akan membahas tentang “Lembaga Al-futya”


I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.2.1  Apa pengertian dari Lembaga Al-Futya?
1.2.2 Apa Sumber Hukum Fatwa?
1.2.3 Bagaimanakah Tingkatan-tingkatan Fatwa?
1.2.4 Apakah Lembaga Fatwa di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan :
1.3.1 Untuk mendeskripsikan pengertian Lembaga Al-Futya
1.3.2 Untuk mendeskripsikan Sumber Hukum Fatwa.
1.3.3 Untuk mendeskripsikan Tingkatan-tingkatan Fatwa.
1.3.4 Untuk mendeskripsikan Lembaga Fatwa di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Lembaga Al-Futya
Futiya atau fatwa, ialah menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya. Fatwa juga dapat diartikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat.
Jadi dapat disimpulkan lembaga al-futya adalah sebuah wadah yang menaungi para penjawab pertanyaan yang tidak jelas hukumnya.
Ma’ruf Amin dalam bukunya Fatwa dalam Sistem Hukum islam berpendapat bahwa terdapat dua hal penting di  dalam fatwa, yaitu:[1]
1.      Fatwa bersifat responsive. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand).
2.      Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat mengikat.
Unsur-unsur dalam proses pemberi fatwa, yaitu:
1.      Mustafti Fih, yaitu masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya.
2.      Mustafti, yaitu individu, kelompok atau lembaga yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa.
3.      Fatwa, artinya jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan
4.      Al ifta atau al futya, yaitu kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas pertanyaan yang di ajukan.
5.      Mufti, yaitu orang yang memberi jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang yang memberi fatwa.

2.2  Sumber Hukum Fatwa
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam syariat Islam. Didalamnya tertuang kalimat-kalimat Allah SWT yang menerangkan berbagai bidang kehidupan dunia sampai akhirat. Dalam memahami Al-Qur’an terdapat empat prinsip dasar, yaitu:
a.       Al-Qur’an merupakan keseluruhan syari’at dan sendinya yang fundamental. Setiap orang yang ingin mencapai hakikat agama dan dasar-dasar syari’at, haruslah menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat tempat berputarnya semua dalil yang lain dan Sunnah sebagai pembantu dalam memahaminya
b.       Sebagian besar ayat-ayat hukum Turín karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya, sehingga perlu memahami asbabun nuzulnya.
c.       Setiap berita kejadian masa lalu yang diungkap
2.      As-Sunnnah atau Hadis
As-Sunnah atau Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah SAW yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri. Hadits terbagi menjadi tiga, yaitu Hadis mutawatir, Hadis masyhur, dan Hadis ahad.  Hadis mutawatir adalah hadis yang dengan sendirinya mempunyai efek ilmiah dan kekuatan yang menentukan disebabkan karena jumlah banyaknya perawinya sehingga tidak mengandung kemungkinan adanya kepalsuan atau kedustaan. Hadis masyur adalah hadis yang asalnya pada zaman sahabat diriwayatkan satu dua orang sahabat Rasulullah tapi kemudian tersebar luas oleh umum. Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (dalam genrasi saabat, tabi’in dan tabi’ittabi’in) yang tidak mencapai tawatur
3.      Ijtihad
Sumber ukum islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah ijma’ dan qiyas. Dalam menetapkan hukum yang dilakukan dengan berijtihad, hal-hal yang harus dilakukan adalah:
a.       Mengetahui penetapan dalia-dalil dan syarat-syaratya yang dengan syarat ini dalil tersebut bisa menjadi bukti-bukti.
b.      Mengetahui bahasa dan tata bahasa.
c.       Mengetahui nasikh dan mansukh dlam Al-Qur’an dan al-Sunnah.
d.      Mengetahui riwayat dan dapat membedakan kesahihan l-Sunnah.

2.3  Tingkatan fatwa
Abdul Wahab Khallaf membagi periode tasyri’ (pembentukan hukum Islam) kepada 4 (empat) periode,[2] yaitu:
1.      Masa Rasul. Masa ini disebut juga dengan masa pemunculan dan pembentukan. Periode ini berlangsung selama lebih kurang 22 tahun (610-632 M).
2.      Masa Sahabat. Masa ini disebut juga dengan masa penafsiran dan penyempurnaan. Periode ini berlangsung selama 90 tahun, mulai wafatnya Nabi Muhammad sampai akhir abad pertama hijriyah.
3.      Masa pembukuan dan munculnya imam-imam mujtahid. Masa ini berlangsung selama 250 tahun, dimulai dari kira-kira tahun 100 H sampai tahun 350 H.
4.      Masa taqlid. Masa ini disebut juga dengan masa terhentinya ijtihad. Masa ini dimulai dari berakhirnya periode ketiga di atas.
Sebenarnya, munculnya fatwa para ulama dan mujtahid berkaitan erat dengan periode di atas. Orang yang pertama kali melakukan tugas berfatwa dalam Islam adalah Nabi Muhammad SAW., dimana fatwa-fatwa Nabi tersebut adalah merupakan wahyu dari Allah SWT. dan merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya[3]. Fatwa-fatwa Nabi tersebut dikenal dengan sebutan sunah.
Pada masa sahabat, materi fatwa itu dapat dibagi kepada 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Fatwa yang materinya hanya pengulangan kembali apa yang telah jelas disebutkan di dalam al-Quran dan sunnah Nabi SAW, artinya materi hukum yang di fatwakan oleh para sahabat itu memang sudah jelas dan terang.
2.      Fatwa yang materinya merupakan hasil ijtihad para sahabat itu sendiri. Dalam berijtihad tersebut, para sahabat tentu saja tidak melepaskan diri dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Bentuk kedua inilah yang lebih dikenal dengan sebutan “Fatwa Shahabi” seperti disebutkan di atas.
Pada masa sahabat ini, masalah fatwa itu melembaga dalam pemerintahan, artinya khalifah menampung semua permasalahan yang memerlukan penentuan status hukum, kemudian khalifah memberikan fatwanya tentang masalah-masalah itu.
Khalifah Abu Bakar misalnya, apabila ia tidak menemukan hukum di dalam kitab Allah dan sunnah, kerap kali ia mengumpulkan para ulama sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian jika para ulama itu telah sepakat untuk menetapkan suatu pendapat, Abu Bakar lalu menghukum menurut pendapat yang disepakati itu.[4] Hal inilah yang dinamai dengan Ijma’.
Menurut catatan para ahli,[5] diantara sahabat yang banyak fatwanya adalah:


1.      Umar Ibn Khattab;
2.      Abdullah Ibn Mas’ud;
3.      Aisyah;
4.      Zaid Ibn Tsabit;
5.      Abdullah Ibn Abbas; dan
6.      Abdullah Ibn Umar.


Selain itu dikenal juga beberapa orang sahabat lain yang tingkatan jumlah fatwanya di bawah sahabat-sahabat Nabi tersebut di atas. Diantaranya ialah:


1.      Abu Bakar;
2.      Ummu Salamah;
3.      Anas Ibn Malik
4.      Abu Sa’id al-Khudri;
5.      Abu Hurairah;
6.      Utsman Abdullah Ibn Amru Ibn Ash;
7.      Abdullah Ibn Zubeir;
8.      Abu Musa al-Asy’ari;
9.      Sa’ad Ibn Abi Waqqash;
10.  Salman al-Farisi;
11.  Jabir Ibn Abdullah;
12.  Muaz Ibn Jabal;
13.  Thalhah;
14.  Zubeir Ibn Awwam;
15.  Abdurahman Ibn Auf;
16.  Amran Ibn Hussein;
17.  Ubadah Ibn Shamit;
18.  Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan


Kemudian pada masa tabi’in dikenal ulama-ulama pemberi fatwa yang tersebar di negeri-negeri Islam yang pada masa itu juga telah berkembang. Di Madinah terkenal Sa’id Ibn al-Musayyab, di Mekah terkenal Atha’ Ibn Abi Rabah, di Kufah terkenal Ibrahim al-Nakh’i dan Say’biy, di Bashrah terkenal Hasan al-Bisri, di Yaman terkenal Thaus Ibn Kisan dan di Syam terkenal Makhul.
Di masa periode ketiga dari periode tasyri’, yaitu masa munculnya Imam-imam Mujtahid besar, pembangun mazhab-mazhab dan masalah-masalah fiqh mulai dibukukan. Masalah-masalah fiqh yang dibukukan itu merupakan masalah-masalah hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan sunnah, fatwa sahabat dan fatwa-fatwa mujtahidin sebagai hasil ijtihad mereka pada masa itu. Masalah-masalah fiqh dikelompokkan dalam bentuk yang tersusun baik, sehingga memudahkan pembacanya mencari masalah yang diinginkannya.
Pada periode ketiga ini pula munculnya perbedaan-perbedaan faham diantara para mujtahid dalam berijtihad, sehingga tentu saja fatwa-fatwa yang dihasilkannya berbeda pula. Dari perbedaan faham itulah muncul fatwa-fatwa para mujtahid sebagai hasil ijtihad mereka. Faktor-faktor ini dihimpun dalam kitab-kitab fiqh yang merupakan sistematisasi dari hukum syari’at itu sendiri. Kitab-kitab fiqh itulah yang sekarang terkenal dengan sebutan “kitab kuning.”
Diantara ulama-ulama mujtahid pada masa ini ada 13 (tiga belas) orang ulama besar mempunyai kemampuan berfikir dan berijtihad yang luar biasa.[6] Mereka itu adalah:
1.      Sufyan Ibn Uyainah (182 H) di Mekah;
2.      Anas Ibn Malik (179) di Madinah;
3.      Hasan al-Bishri di Bashrah;
4.      Abu Hanifah (150 H) di Kufah;
5.      Sofyan al-Tsauri (161 H) di Kufah;
6.      Al-Syafi’i (204 H) di Mesir;
7.      Al- Auza’i (157 H) di Syria;
8.      Al-Laits (175 H) di Mesir;
9.      Abu Tsaur di Baghdad;
10.  Ahmad Ibn Hambal (241 H) di Baghdad;
11.  Daud al-Zahiry (270 H) di Baghdad;
12.  Ibn Jarir (310 H) di Baghdad;
13.  Ishaq Ibn Rahawaih (238 H) di Naisabur.
Setelah periode ini muncullah periode taqlid dalam tubuh umat Islam. Pada periode ini umat Islam mulai hidup bermazhab-mazhab, mengikuti imam-imam mujtahid yang terdahulu, maka dari itu terkenallah empat mazhab yang termahsyur:
1.      Mazhab Syafi’i, pengikut Imam Syafi’i;
2.      Mazhab Hanafi, pengikut Imam Abu Hanifah;
3.      Mazhab Maliki, pengikut Imam Malik bin Anas;
4.      Mazhab Hambali, pengikut Imam Ahmad bin Hambal.


 Pada periode taqlid ini, fatwa-fatwa yang muncul dikalangan umat Islam adalah fatwa-fatwa mazhab. Keadaan seperti ini berlaku terus keseluruh penjuru dunia Islam sampai sekarang ini, termasuk Indonesia.
Namun demikian patut juga dikemukakan di sini, kira-kira pada pertengahan abad ke 18 bangkitlah sejumlah ulama yang dengan tegas dan penuh tanggung jawab menyerukan perlunya dikalangan umat Islam, demi kemajuan Islam dan umat Islam itu sendiri. Hal ini dikarenakan mereka menyadari akibat-akibat yang negatif dari pada tetap dipertahankannya fatwa ulama tentang tertutupnya pintu ijtihad.
Diantara ulama-ulama itu adalah:
1.      Syah Waliyullah Dihlawi (1703-1768 M), dari New Delhi-India;
2.      Syah Ahmad Khan (1817-1898), dari India;
3.      Syah Jamaluddin al-Afghani (1849-1897), dari Afganistan;
4.      Muhammad Abduh (1849-1905), dari Mesir;
5.      Muhammad Iqbal (1873-1938), dari Fakistan.[7]
Pada umumya sejak Islam masuk ke indonesia, maka umat Islam Indonesia adalah penganut mazhab Syafi’i. Namun demikian sejak munculnya ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam (termasuk dalam masalah-masalah hukum), pengaruhnya juga sampai ke Indonesia. “Hal ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah (18 November 1912 M), Nahdhatul Ulama (1926) dan lain-lain.[8]
Dengan kata lain dapatlah dikatakan pada tahun-tahun berdirinya organisasi ini terjadi pergeseran sikap umat Islam dalam memahami hukum Islam. Kalau pada waktu sebelum adanya organisasi-organisasi ini, para ulama lebih terikat pada aturan-aturan mazhab Syafi’i saja, maka sejak munculnya organisasi-organisasi ini keterikatan kepada mazhab dirasakan melonggar. Oraganisasi-organisasi ini mempengaruhi faham hukum Islam yang dianut masyarakat.
Muhammadiyah misalnya, mempunyai Majelis Tarjih yang bertugas mentarjih masalah-masalah hukum Islam yang hasilnya disebarluaskan kepada umat untuk dijadikan pedoman. Begitu juga Nahdhatul Ulama mempunyai Majelis Syari’ah. Kedua badan ini dapat dikatakan sebagai Majelis Ifta’[9] atau Dar al-Ifta dalam kehidupan umat Islam Indonesia.
Selain badan-badan resmi dari organisasi-organisasi di atas, masalah fatwa dalam kehidupan umat Islam Indonesia juga muncul dalam bentuk fatwa perorangan. Peran ulama-ulama besar yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri sangat berpengaruh. Fatwa-fatwa mereka secara pribadi-pribadi dengan taat dan patuh diikuti oleh umat pendengarnya. Hal ini umumnya terdapat disetiap daerah, dengan kharismanya yang kuat ulama-ulama itu dengan tekun membimbing umat Islam untuk menjalankan hukum Islam itu dalam kehidupan mereka sehari-hari.

2.4  MUI
Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia, Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai suatu keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan pelaksanaan ibadah umat Islam di Indonesia. MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
fungsi MUI dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang intinya adalah memberi nasihat, fatwa, dan saran kepada pemerintah; mempererat hubungan sesama, dan menjadi mediator antara pemerintah dan masyarakat dengan tidak masuk ke dalam hal-hal praktis baik dalam dunia politik maupun sosial.
Untuk mewujudkan itu semua, MUI kemudian mencanangkan lima perannya dalam masyarakat, yaitu :
1.      sebagai pewaris tugas-tugas para nabi;
2.      sebagai pemberi fatwa;
3.      sebagai pembimbing dan pelayan umat;
4.      sebagai gerakan islāh wa al-tajdīd; dan
5.      sebagai penegak amar ma’ruf dan nahyi munkar.
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:
No
Nama
Awal Jabatan
Akhir Jabatan
1
Prof. Dr. Hamka
2
3
4
Prof. KH. Ali Yafie
5
sekarang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut:
Ø  Pengertian Lembaga Al-Futya: sebuah wadah/lembaga yang bertugas menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya.
Ø  Sumber Hukum Fatwa: Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad.
Ø  Tingkatan-tingkatan Fatwa: Fatwa Rasulullah SAW, Fatwa para sahabat, Fatwa para tabi’in, Fatwa para mujtahid, Fatwa para imam mazhab.
Ø  Lembaga fatwa yang ada di Indonesia adalah MUI. perannya dalam masyarakat, yaitu : sebagai pewaris tugas-tugas para nabi, sebagai pemberi fatwa, sebagai pembimbing dan pelayan umat, dan sebagai gerakan islāh wa al-tajdīd; dan
Ø  sebagai penegak amar ma’ruf dan nahyi munkar.

3.2 Saran
Kepada lembaga-lembaga pemberi fatwa disarankan agar:
Ø  Dalam menetapkan hukum terhadap suatu persoalan atau permasalahan yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat, benar-benar dapat duduk bersama guna mencapai kesatuan pandangan dalam pertimbangan dan kesimpulan, sehingga fatwa yang dikeluarkan dapat memenuhi kemaslahatan umat.
Ø  Dalam menetapkan hukum, pertimbangannya benar-benar berdasarkan ketentuan dalam sumber-sumber hukum Islam, bukan karena adanya kepentingan lain tertentu, sehingga kebutuhan masyarakat tentang hukum betul-betul terlindungi.


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1963. Pengantar Hukum Islam. Cet. III  Jakarta:Bulan Bintang.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1997. Peradilan & Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Salma Barlinti, Yeni. 2010. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia. Jakarta:Badan Litbang Diklat Kementerian Agama RI.
Salam Mazkur, Muhammad. 1964. Al-Qadha-u Fi al-Islami. Kairo:al-’Alimiyah.
Wahab Khallaf, Abdul. 1968. Khulashatu al- Tasyri’I al-Islami. Jakarta:Majlisu al-A’la Indonesia li ad-Da’wati al- Islamiyatu.
Zuhdi, Masyfuk. 1981. Ijtihad Dan Problematikanya Dalam Memasuki Abad XV Hijriyah. Cet. I. Surabaya:Bina Ilmu.


[1] Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta:Badan Litbang Diklat Kementerian Agama RI, 2010, Hlm. 65.
[2] Abdul Wahab Khallaf, Khulashatu al- Tasyri’I al-Islami, Majlisu al-A’la Indonesia li ad-Da’wati al- Islamiyatu, Jakarta, 1968, Hlm. 7.
[3] Muhammad Salam Mazkur, Al-Qadha-u Fi al-Islami, al-’Alimiyah, Kairo, 1964, Hlm. 136
[4] T.M. Hasbi, Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. III, 1963 Hlm. 41.
[5] Muhammad Salam Mazkur, Loc-Cit. Hlm. 137.
[6] Masyfuk, Zuhdi, Ijtihad Dan Problematikanya Dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Bina Ilmu, Surabaya, Cet. I, 1981. Hlm. 30.
[7] Ibid, Hlm. 28.
[8] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980. Hlm. 23.
[9] Ifta’ adalah keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar