Label

Rabu, 30 Oktober 2013

KEDUDUKAN HAK WARIS ATAS ANAK SYUBHAT BERDASARKAN KUHPerdata & KHI



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Anak Syubhat
Anak syubhat adalah anak yang lahir dari suatu hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan atas dasar kekeliruan dan harus benar-benar terjadi karena kekeliruan, artinya bukan karena disengaja atau rekayasa. Seorang anak syubhat akan memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya jika si laki-laki yang telah membenihkannya mengakui si anak. Kedudukan tentang anak syubhat sebenarnya masih dalam perdebatan karena beberapa ulama’ tetap mengatakan sebagai anak sah sebagaimana anak yang lahir dari perkawinan yang sah, sedangkan ulama’ yang lainnya menggolongkan anak syubhat sebagai anak luar kawin kecuali jira anak tersebut di akui oleh ayahnya.[1]
Anak syubhat dibagi menjadi dua golongan antara lain:
1.      Anak syubhat karena syubhat perbuatannya.
Anak syubhat ini lahir karena seorang laki-laki telah keliru menyetubuhi wanita yang sebenarnya bukanlah isterinya, misalnya dalam suatu rumah seorang suami salah masuk kedalam kamar yang dikira adalah kamar isterinya, ternyata adalah kamar adik iparnya dan adik iparnya menyangka bahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya sehingga terjadilah persetubuhan yang keliru. Jika perbuatan itu terjadi semata-mata memang karena kekeliruan dan tidak ada unsur kesengajaan, maka dari persetubuhan itu akan melahirkan anak, anak syubhat dalam kategori syubhat perbuatannya.
2.      Anak syubhat karena syubhat hukumnya.
Anak syubhat dalam kategori ini lahir karena kekeliruan tentang hukum yang seharusnya tidak boleh dilanggar, misalnya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, yang dikemudian hari ternyata baru diketahui bahwa wanita yang dinikahinya itu adalah adik kandungnya sendiri atau saudara sepersusuan dengannya, padahal berdasarkan hukum perkawinan hal itu dilarang. Pada saat diketahui bahwa sebenarnya ada larangan bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut harus segera diputuskan jika atas perkawinan seperti itu telah melahirkan anak, aka anak yang dilahirkan anak, maka anak yang dilahirkan akan menyandang status sebagai anak syubhat.
Anak syubhat ini juga tergolong anak luar kawin. tentang anak subhat akad maknanya hampir sama dengan anak sumbang atau incest. Meski hubungan incest, yaitu hubungan sexual yang terjadi pada pasangan yang memiliki hubungan darah, telah terjadi sejak zaman dahulu kala, namun sampai kehidupan modern seperti sekarang, masyarakat umumnya masih menggap hal ini tabu. Dalam syubhat hukum, setelah diketahui adanya kekeliruan itu, maka isterinya haruslah diceraikan, karena merupakan wanita yang haram dinikahi dalam Islam.[2] Maka, apabila keduanya tidak mengetahui fasid (rusak) dan batilnya akad keduanya, maka keduanya tidak berdosa dan tidak dikenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada bapaknya seperti pernikahan yang sah meskipun keduanya langsung dipisahkan karena fasidnya akad keduanya. Sedangkan apabila mereka telah mengetahui tentang fasid dan batilnya akad tersebut, maka tidak syak lagi tentang dosanya dan wajib bagi mereka dikenakan hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada bapaknya.[3]
Oleh karena masalah syubhat ini sesuatu yang diragukan keadaannya (ada kesamaran antara yang hak dan batil), maka perlu syubhat ini tidak dikenakan sanksi had (yaitu pukul 100 kali bagi yang belum kawin sebelumnya atau rajam bagi yang telah kawin) apabila syubhat betul-betul terjadi dengan tidak dengan sengaja, sama sekali tidak direkayasa.
2.2  Hak Waris Anak Syubhat dalam KUHPerdata & KHI
Dari penjelasan diatas tentang anak syubhat akad maknanya hampir sama dengan anak sumbang. Anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah yang dekat, sehingga antara mereka dilarang undang-undang untuk menikah.[4] Sedangkan pengertian incest ada beberapa pengertian:
1.      Incest = Penodaan darah.[5]
2.      Incest (zina dengan saudara) ialah relasi-relasi seksual diantara orang-orang berbeda jenis kelamin yang berkaitan darah dekat sekali, lewat ikatan darah.
3.      Incest adalah hubungan seks antara pria dan wanita di dalam atau diluir ikatan perkawinan, di mana mereka terkait hubungan kekerabatan atau keturunan yang dekat sekali. Sebenarnya secara hukum dan kesehatan tidak diizinkan terjadinya hubungan seks tersebut.[6]
4.      Incest adalah kekerasan seksual yang terjadi antar anggota keluarga. Pelaku biasanya adalah anggota keluarga yang lebih dewasa dan korbannya anak-anak.[7] Kejadian incest yang paling banyak dilaporkan adalah antara bapak dan anak perempuannya.
Tentang hak pemberian harta terhadap anak subhat berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan, di dalam hukum Islam, Muhammad Jawad Mughniyah menyatakan bahwa orang yang dilahirkan dari hubungan subhat itu merupakan anak sah sebagaimana halnya dengan anak yang lahir melalui perkawinan yang sah, tanpa ada perbedaaan sedikit pun, baik subhat tersebut merupakan subhat akad maupun perbuatan, maka anak itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut.[8][9]
Ø  Berdasarkan KUH-Perdata
Dalam KUH Perdata juga sama, hal ini sesuai dengan Pasal 95 bahwa “Suatu perkawinan, walaupun telah dinyatakan batal, mempunyai segala akibat perdatanya, baik terhadap suami istri, maupun terhadap anakanak mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua suami istri itu.”. Alasan pembatalannya sesuai dengan Pasal 90 yang menyebutkan “Semua perkawinan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 30, 31, 32 dan 33, boleh dimintakan pembatalan, baik oleh suami istri itu sendiri, maupun oleh orang tua mereka atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, atau oleh siapa pun yang mempunyai kepentingan dengan pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan”,
Pasal 31 berbunyi “Juga dilarang perkawinan:
1.      Antara ipar laki-laki dan ipar permpuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
2.      Antara paman atau paman orang tua dengan anak perempuan saudara, sepertipun antaa bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara,  yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.”
Namun yang menjadi permasalahan adalah anak sumbang (termasuk anak luar kawin yang tidak dapat diakui).[10] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 867 berbunyi: “Ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari perzinaan atau penodaan darah. Undang–undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka”.
Dalam pasal di atas ada dua status anak yang mana tidak berhak menuntut atas waris dari kedua orang tua mereka selama mendapat asupan nafkah selama hidupnya anak tersebut yaitu; Anak zina (Overspeleg kind) dan anak sumbang (Bloed Schenneg/ darah yang dikotori). Pasal 868 KUH Perdata juga menjelaskan tentang hak waris terhadap sumbang. Undang-undang hanya memberikan kepada anak sumbang hak menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap harta yang besarnya tidak tertentu tergantung dari Keadaan ahli waris yang sah, apakah mereka mampu atau miskin, turut menentukan besarnya hak alimentasi anak-anak zina atau sumbang hal ini sesuai dengan pasal 868 KUH Perdata, yaitu nafkah diatur sesuai kekayaan bapak atau ibu. Harus ditegaskan pula, bahwa tuntutan anak seperti itu akan memperoleh sesuatu dari harta warisan, bukanlah merupakan sesuatu tuntutan sebagai ahli waris, tetapi sebagai suatu tuntutan seperti dari seorang piutang (kreditur). [11]
Adakalanya anak semacam ini oleh si ibu atau si bapak pada waktu mereka masih hidup, sudah dijamin penghidupanya. Kalau ini terjadi maka menurut pasal 869 KUH Perdata, untuk anak seperti ini sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan bagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sanak keluarga dari atau si bapak.[12]
Ø  Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Didalam KHI pasal 76 disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Salah satu alasan batalnya perkawinan dalam pasal 70 KHI disebutkan adanya perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah. Dalam KHI dinyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki nasab dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 100 KHI) sehingga anak luar kawin tersebut hanyalah mewarisi dari ibu dan keluarga ibunya (Pasal 186 KHI), karena pada prinsipnya setiap perkawinan harus didaftarkan/dicatatkan (Pasal 5 Ayat 1 KHI). Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010 menyatakan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayahnya jira dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti berdasarkan teknologi, hanyalah berakibat bahwa si anak tersebut barhak atas nafkah sehari-hari dan biaya sampai dia dewasa. Hal ini juga ditegaskan MUI yang menyatakan bahwa anak luar kawin hanyalah berhak atas wasiat wajib.
Adapun pembuktian asal usul anak, Undang-Undang Perkawinan mengaturnya dalam pasal 55, dan Kompilasi menjelaskannya dalam pasal 103 yang isinya sama:
(1)       Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2)       Bila akta kelahiran atau akta lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3)       Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka Instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Ketentuan hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti otentik asal-usul anak, meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis ia merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal-usul anak dapat diketahui dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka pembuktian secara formal kendati ini bersifat administratif, asal-usul anak dengan akta kelahiran atau surat kelahiran. Penetuan perlunya akta kelahiran tersebut, didasarkan atas prinsip maslahat mursalah, yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain anak akan mengetahui secara persis siapa orang tuanya, juga apabila suatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta anak tersebut dapat melakukan upaya hukum.


[1] D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar kawin,  Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2012, h. 47-48.
[2] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Yakarta: Penerbit Kencana,
2008, h. 80..
[3] Abdul Hakim bin Amir Abdat, www.almanhaj.or.id, diakses pada tanggal 30 Oktober 2013,
pukul 17.00 WIB.
[4] J. Satrio, Hukum Waris, Bandung: Paramita, 1988, h. 173
[5] Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, 1989, Cet. VI, h. 255.
[6] Moh. Rasyid, Pendidikan Seks Mengubah Seks Abnormal Menuju Yang Lebih Bermoral , Kudus: Syiar Media Publishing, 2007, Cet. I, h. 151.
[7] Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender), Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000, Cet. I, h. 39.
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit. h. 80.
[9] J. Satrio, loc. Cit
[10] Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, mudah dan Bijak Memahami masalah Hukum Waris, Cet.1, Bandung: Kaifa, 2012, h. 108.
[11] J. Satrio, op. cit. hlm. 173.
[12] ibid

1 komentar: