Label

Senin, 22 April 2013

Hudud Gugur Karena ada Syubhat



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Salah satu esensi hukum yang terkandung dalam kaidah asasi berkenaan dengan keyakinan dan keraguan adalah keharusan untuk menjalankan syari’at Islam diatas keyakinan. Rasulullah menyatakan bahwa hendaklah seseorang berpegang kepada hal yang meyakinkan dan membuang hal yang meragukan.
Pada asalnya, setiap perbuatan yang diharamkan terlarang dilakukan bagi setiap orang dalam keadaan umum, kecuali syara’ melihat sebagai kekecualian sehingga hukuman dapat dihapuskan. oleh sebab itu perlu dikajinya makalah ini untuk mengetahui  seperti apakah syubhat dan hal-hal yang dapat mempengaruhi hukum tersebut.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Had dan Syubhat?
2.      Bagaimana kaidah gugurnya pertanggung jawaban pidana berkenaan dengan adanya maksud tertentu?
3.      Bagaimana Syubhat dan hal-hal yang dapat mempengaruhi hukuman?
4.      Bagaimana tata cara penetapan hukuman Had?
C.     Tujuan
1.      Menggetahui pengertian Had dan Syubhat.
2.      Mengetahui kaidah gugurnya pertanggung jawaban pidana berkenaan dengan adanya maksud tertentu.
3.      Mengetahui Syubhat dan hal-hal yang dapat mempengaruhi hukuman.
4.      Mengetahui tata cara penetapan hukuman Had.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Had dan Syubhat
Had adalah hukuman yang telah ditentukan batas kadarnya, karena melanggar jarimah yang merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera atau rajam bagi pezina, dan sebagainya.[1]
Ibnu Syurayh menjelaskan bahwa syubhat adalah sesuatu yang tidak diketahui dengan pasti kehalalannya atau keharamannya. Sementara Ibnu Nujaym menyatakan bahwa syubhat adalah sesuatu yang tetap sehingga menjadi tidak ada kepastian lagi.[2]
Salah satu esensi hukum yang terkandung dalam kaidah asasi berkenaan dengan keyakinan dan keraguan adalah keharusan untuk menjalan-kan syari’at Islam diatas keyakinan. Rasulullah menyatakan bahwa hendaklah seseorang berpegang kepada hal yang meyakinkan dan membuang hal yang meragukan.
Rasulullah SAW bersabda:

حدثنا عبد الرحمن بن الأسود أبو عمرو البسري حدثنا محمد بن ربيعة حدثنا يزيد بن زياد الدمشقي عن الزهري عن عمرة عن عائشة قالت قال رسول الله عليه وسلم ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن كان له مخرج  فخلوا سبيله فإن الإمام أن يخطئ في الفوخيرمن أن يخطئ في العقوبة.
Artinya: “… dari Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: hindarilah hukuman hudud dari kaum muslimin sedapat mungkin, jika ada jalan keluar bagi tersangka (untuk bebas dari hukuman) maka bebaskanlah. Sesungguhnya kesalahan imam (hakim) dalam member pemaafan itu lebih baik disbanding dengan kesalahannya dalam memberikan hukuman.”
Berdasarkan hal itu para ulama menyusun kaidah:

اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبْهَاتِ
“Hudud gugur karena ada syubhat”
Contoh hukum yang masih syubhat adalah adanya hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira istrinya, hubungan nikah mut’ah dimana sebagian ulama memperbolehkan sedang yang lain mengharamkan, nikah tanpa wali dimana sebagian ulama’  memperbolehkan sedang yang lain mela-rangnya, kesemuanya tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.

B.     Kaidah Gugurnya Pertanggung Jawaban Pidana Berkenaan dengan Adanya Maksud Tertentu.
Pada asalnya, setiap perbuatan yang diharamkan terlarang dilakukan bagi setiap orang dalam keadaan umum, kecuali syara’ melihat sebagai keke-cualian, yaitu membolehkan sebagian perbuatan yang diharamkan bagi yang memenuhi syarat dalam keadaan-keadaan yang khusus. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa pada asalnya membunuh adalah terlarang bagi setiap orang. Akan tetapi bagi Algojo[3] merupakan kewajiban dalam kerangka melaksanakan syari’at. Perbuatan Algojo tersebut dibenarkan oleh syara’.
Demikian juga, ada perbuatan-perbuatan yang dibenarkan oleh syara’ sehingga tidak ada pertanggungjawaban pidana meskipun dalam tampak lahirnya seperti perbuatan terlarang, karena da maksud baik yang terkandung didalamnya. Perbuatan-perbuatan tersebut diantaranya adalah perbuatan yang dilakukan dalam kerangka pengajaran atau pendidikan dan permainan atau olahraga.

a.       Pengajaran atau Pendidikan
Mendidik atau mengajar adalah upaya mentransmisikan ilmu dan sikap terhadap peserta didiknya. Adakalanya dalam me-ngajar atau mendidik diperlukan tindakan-tindakan tertentu agar tercapai tujuan. Tindakan-tindakan tersebut mulai dari yang paling halus sampai yang paling keras seperti memukul atau menampar. Tindakan-tindakan tersebut dibenarkan oleh syara’ demi tercapai-nya tujuan pendidikan. Tentunya, tindakan-tindakan itu disesuai-kan dengan tingkat pendidikan dan dalam batas-batas kewajaran, sesuai dengan kaidah:

لايسأل جنائيا ولامدنيا عن التأديب مادام في حدوده المشروع
“tidak ada pertanggungjawaban pidana dan perdata dalam melakukan pengajaran selama dilakukan dalam batas-batas syari’at yang diajarkan”
Kaidah ini didasarkan atas Firman Allah SWT:

... وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نَشُوزَهُنَّ فَعِظَوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي المَضَاجِعِ وَاضْرِبُو هُنَّ فَاٍنْ أطعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاَ إنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيَّا كَبِيرًا
“wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nase-hatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.[4]
Rasulullah SAW bersabda:

أخبرنا أبو يكر بن الحارث أنبأ علي بن عمر ثنا محمد بن مخلد ثنا أحمد بن منصور زاج ثنا النضر بن شميل أنبأ أبو حمزة الصير في وهو سوار بن داود عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال قالرسول الله عليه وسلم مرواصبيانكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع  
“dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya r.a., ia berkata : Rasulullah bersabda: Suruhlah anak-anak kalian untuk melak-sanakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun dan pisaahkan tempat tidur mereka”.
b.      Olah Raga
Olah raga merupakan kebutuhan manusia agar tetap terpelihara kesehatannya. Adakalnya didalam olah raga terjadi benturan-benturan fisik sehingga menyebabkan cedera bahkan tidak jarang terjadi kematian. Selama benturan-benturan fisik itu masih dalam batas-batas yang ditentukan dalam olah raga tersebut maka tidak ada pertanggungjawaban pidana, sesuai dengan kaidah:

الألعاب التي تستلزم استعمال القوة مع الخصم فلا عقاب عليه إذالم يعتد محدثها الحدود المرسومة للعب
“permainan (olah raga) yang memerlukan pemakaian kekuatan terhadap lawannya, maka tidak ada hukuman (akibat penggunaan kekuatan tersebut) selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.
Kaidah-kaidah ini didasarkan Firman Allah SWT:

وَأعِدُّوالَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قَوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ عَدُوَّ الله وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لَا تَعْلَمُوْنَهُم 
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya”.[5]
Sabda Rasulullah SAW:

حدثنا أبوبكربن أبي شيبة وابن نمير قالا حدثنا عبد الله بن إدريس عن ربية بن عتمان عن محمد بن يحيى بن حبان عن الأعرج عن أبي هريرة قال قال رسولالله صلى الله عليه وسلم المؤمن القوي خير وأحب المؤمن الضعيف
“… Dari Abu Hurayrah r.a., ia berkata: Rasulullah bersabda: Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”.
            Sebagai contoh kasus, misalnya petanding pencak silat dengan lawannya. Masing-masing peserta tentunya menggunakan kekuatan untik saling mengalahkan. Pertanggungjawaban pidana menjadi gugur walaupun lawannya menjadi cedera, jika penggunaan kekuatan itu masih dalam ketentuan yang ditetapkan.

C.     Syubhat dan Hal-hal yang dapat Mempengaruhi Hukuman
Hukum dapat dihapus apabila:
a.       Pelaku meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan harta.
b.      Hilangnya anggota badan yang harus dikenai hukuman, maka hukumannya berpindah kepada diyat dalam kasus jarimah qishash.
c.       Taubat dalam kasus jarimah hirabah, meskipun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum meng-hendakinya.
d.      Perdamaian dalam kasus jarimah qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir bila kemaslahatan umum menghendaki.
e.       pemanfaatan dalam kasus qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak adami.
f.        Diwarisinya qishash. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menja-tuhkan hukuman ta’zir.
g.       kadaluwarsa. Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad didalam hudud tidak ada kadaluwarsa. Sedangkan dalam jarimah ta’zir mereka memperbolehkan adanya kadaluwarsa bila Ulil Amri menganggap padanya kemaslahatan umum.[6]
D.     Tata Cara Penetapan Hukuman Had
1.      Pembunuhan
Harus terbukti tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa pembunuhan itu benar-benar dilakuan dengan sengaja sebagai tindak kriminal. pelaksanaan hukuman mati tidak boleh terjadi kecuali ada beberapa orang yang jujur atau adil telah memberikan buktinya, si pembunuh itu mengakui perbuatannya.
Namun jika ada seorang putra dari anak laki-laki korban dalam kasus pembunuhan memutuskan untuk memaafkan si pembunuh, maka ia tak dapat dihukum mati. Namun para ahli waris itu tetap dapat berhak memperoleh bagian dari Diyat yang ditetapkan.[7]
Apabila dalam kasus pembunuhan itu para ahli warisnya terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka yang perempuan tidak diperkenankan oleh undang-undang untuk membatalkan tuntutan  Qishas ataupun memberikan maaf. Bila pembunuhan itu dimaafkan, namun ia tetap harus dihukum seratus kali canbukan dan dipenjara selama satu tahun.[8]

2.      Pencurian
Misalnya harta milik seseorang oleh ayahnya sendiri. Di sini prasangkaan tentang hak ayah terhadap hak milik anaknya muncul.
Keragun tentang kasus pencurian dapat muncul karena kekurangan bukti-bukti. Hal ini  dapat terjadi jika seseorang melakukan suatu perbua-tan yang diancam hukuman had dan bukti satu-satunya adalah pengaku-annya sendiri. Akan muncul keraguan apabila ia menarik keraguannya itu.
Dalam kejahatan-kejahatan hudud, keraguan membawa pembe-basan si terdakwa dan pembatalan hukuman had. Akan tetapi, ketika membatalkan hukuman had ini, hakim masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir kepada terdakwa.[9]
3.      Persetubuhan
a.       Menyetubuhi Binatang
لاحدعلى من وطء البيمة
“tidak ada had bagi yang menyetubuhi binatang”
            Hanafiah berpendapat bahwa menyetubuhi binatang tidak dapat dikatakan zina karena persetubuhan itu tidak sempurna. Demikian juga Hanabilah berpendapat bahwa ada perbedaan antara farji binatang dengan farji manusia sehingga persetubuhan itu bukan sesuatu yang disenangi oleh kebanyakan manusia. Oleh karena itu, tidak perlu ada had terhadap penyetubuh binatang. Meskipun demikian, persetubuhan itu tetap haram hukumnya dan harus dikenai ta’zir.
b.      Laki-laki Menyetubuhi Mayat Perempuan

لاحد على من وطء المرأة الميتة
“tidak ada had terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perem-puan”
            Sebagaimana halnya pada pesetubuhan dengan binatang, Jumhur berpendapat menyetubuhi mayat perempuan bukan termasuk zina yang harus dikenai had, karena persetubuhan itu bukan kecenderungan (keinginan) dari keumuman manusia. Oleh karena itu, hukuman had menjadi tidak perlu. Orang yang melakukan persetubuhan dengan mayat cukup dikenai sanksi ta’zir.
            Berbeda dengan Jumhur, Malikiyah dan sebagian Hana-bilah berpendapat bahwa:
وجوب الحد على من وطء المرأة الميتة
“had wajib ditegakkan terhadap lak-laki yang yang menyetubuhi mayat perempuan”.
            Mereka beralasan bahwa persetubuhan tersebut kedudukannya sama dengan persetubuhan wanita yang hidup. Hal ini dikarenakan kebutuhan syahwat dapat terpenuhi dengan menyetubuhi perempuan sebagaimana menyetubuhi perempuan yang hidup.
c.       Perempuan yang Menyetubuhi Mayat laki-laki

لايحد من ادخلت ذكر ميت في فرجها
“tidak ada had bagi perempuan yang memasukkan kelamin laki-laki yang sudah meninggal ke dalam farjinya”.
            Menurut Malikiyah, hal ini didasarkan  bahwa persetubu-han itu tidak mendatangkan kenikmatan.
d.      Menyetubuhi Istri yang Sedang Haid
Nabi Muhammad SAW bersabda:

حدثنا محمد بن يحيى قال ثنا يزيد بن هارون قل ثنا حماد بن سلمة عن حكيم الأثرم عن أبي تميمة الهجيمي عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من أتى كاهنا فصد قة بما يقول أو أتى امرأة في دبرها أو أتى امرأة وهي حائض فقد برئ بما أنزل الله على محمد صلى الله عليه وسلم
“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun)lalu membenarkan ucapannya; atau menyetubuhi istrinya melalui duburnya; atau menyetubuhi istri yang sedang haid, maka ia telah berlepas diri (tidak beriman) terhadap apa yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW”.
            Hadits diatas sekaligus menunjukkan bahwa bersetubuh dengan istri yang sedang haid adalah perbuatan terlarang yang tidak dikenai dengan had melainkan ta’zir.

BAB III
KESIMPULAN

Had adalah hukuman yang telah ditentukan batas kadarnya sedangkan syubhat adalah sesuatu yang tidak diketahui dengan pasti kehalalannya atau keharamannya. Rasulullah menyatakan bahwa hendaklah seseorang berpegang kepada hal yang meyakinkan dan membuang hal yang meragukan. Berdasarkan hal itu para ulama menyusun kaidah:

اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبْهَاتِ
“Hudud gugur karena ada syubhat”
Pada asalnya, setiap perbuatan yang diharamkan terlarang dilakukan bagi setiap orang dalam keadaan umum, kecuali syara’ melihat sebagai keke-cualian, yaitu membolehkan sebagian perbuatan yang diharamkan bagi yang memenuhi syarat dalam keadaan-keadaan yang khusus. Seperti halnya dalam pengajaran atau pendidikan dan olahraga.
Hukum dapat dihapus apabila pelaku meninggal dunia, hilangnya anggota badan yang harus dikenai hukuman, taubat, perdamaian, pemanfaatan, diwarisinya qishash, kadaluwarsa. Dalam hal ini hukuman terhapus namun masih dikenai ta’zir.
DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta. Gema Insani.
Rahman, Abdur. 1992. Tindak Pidana dalam Syariat islam. Jakarta. Rineka Cipta.
Djazuli. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal. 2004. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam). Bandung. Pustaka Bani Quraisy.
Usman, Muhlish. 2002. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.



[1] Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 151
[2] Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinyah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka bani Quraisy, 2004), hlm. 62
[3] Algojo adalah orang yang ditugasi untuk membunuh terhukum.
[4] Q.S An-Nisa’: 34
[5] Q.S Al-Anfal: 60.
[6] Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 33
[7] Besarnya diyat dihubungkan dengan orang yang memiliki unta sama dengan seratus ekor unta. Sedangkan bagi orang yang mempunyai emas kadarnya adalah seribu keeping emas.
[8] Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 30
[9] Topo santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar