Label

Kamis, 04 April 2013

Hukum Islam Pasca Imam Madzhab (Syarah dan Hariyah)



BAB I
PENDAHULUAN
I.1.  Latar Belakang .
Pada masa stagnasi atau kebekuan pemikiran hukum islam, istilah taqlid tampak dalam literatur hukum, dimasa ini umat islam terlena dengan prestasi ulama terdahulu, mereka memberikan penghargaan yang berlebihan terhadap ulama terdahulu. Sehingga melahirkan kepercayaan bahwa pekerjaan menafsirkan dan mengembangkan secara mendalam sudah diselesaikan oleh ulama’ terdahulu, bagi mereka usaha ulama’ terdahulu sudah berhasil mengantarkan syariah pada bentuk final yang sempurna. Sehingga para cendikiawan diperiode ini hanya menggunakan prinsip taqlid, sehingga kegiatan dalam hukum terbatas pada pengembangan dan analisa mendetailn terhadap hasil yang sudah ada. Sehingga perlu kita ketahui lebih dalam tentang “sejarah perkembangan hukum islam pasca imam madzab” yang didalamnya dijelaskan faktor-faktor penyebab kebekuan pemikiran hukum islam, karakteristik masa stagnasi, sebab-sebab taqlid, dan tertutupnya pintu ijtihad, serta adanya ta’assub fanatik madzab,

I.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini, sebagai berikut :
1.      Apa factor-faktor penyebab stagnasi pemikiran hukum islam ?
2.      Bagaimanakah karakteristik masa stagnisi, sehingga doktrin taqlid sangat tampak dalam literatur hukum ?
3.      Bagaimanakah hukum ta’assub dalam bermadzab ?

I.3. Tujuan
Makala ini ditulis dengan tujuan :
1.      Untuk mengetahui perkembangan hukum islam pasca Imam madzab.
2.      Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya stagnasi pemikiran hukum islam
3.      Meneladani sifat-sifat imam madzab, sehinnga terhindar dari sifat ta’assub.
BAB II
PEMBAHASAN

 II.1. Sejarah singkat Munculnya Imam Madzab
     Pada masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. 
Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum. Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi.
 Teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahaminash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Ikhtilaf bukan hanya terjadi para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa “tahkim” adalah titik awal lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masing-masing mazhab teologi tersebut memiliki corak dan kecenderungan yang berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih. Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan al-Sunnah.

 II.2. Hukum Islam di masa Stagnasi
kebekuan pemikiran hukum islam disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya:
a.       Faktor politik
Campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisis ulama dalam dalam menghadapi pemerintah. Madzhab berkembang karena dukungan politik, ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengannya akan ditindas. Dengan penindasan ini pemikiran tertutup dan mereka sulit untuk bangkit.
b.      Para ulama berebut menjadi qadhi
Qadhi diangkat oleh seorang penguasa. Qadhi tidak ingi mengambil resiko berbedapendapat dengan madzhabnya, karena dikhawatirkan mereka dikucilkan masyarakat, dipinggirkan oleh ulama, dan dilaporkan kepada penguasa. Oleh karena itu yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam madzhab yang telah dibukukan. Dalam kondisi seperti ini ijtihada ulama seakan0akan telah tertutup. Mereka melakukan ijtihad hanya dalam rangka memberikan legitimasi kebijakan penguasa.
c.       Keengganan para ulama dalam melakukan ijtihad
Banyak para ulama yang enggan melakukan ijtihad, sehingga membuat orang-orang yang tidajk kredibel menjual ijtihad di hadapan penguasa. Tentu saja ini dapat menimbulkan perbedaan di kalangan umat islam. Akibatnya sebagian ulama terpaksa menutup pintu ijtihad secara mutlakdan mengharuskan untuk taklid pada para imam mujtahid
            Abd al-Wahhab Khallaf menyebutlan ada empat factor penyebab stagnasi pemikiran hukum islam:
1.      Terpecahnya kekuasaan islam menjadi Negara-negara kecil hingga umat disibukkan oleh eksistensi politik
2.      Terbaginya para pakar hukum islam tingkat mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajr
3.      Menyebarnya ulama yang member fatwa berdasarkan petunjuk penguasa
4.      Menyebarnya penyakit akhlak, seperti hasud dan egoismedi kalangan ulama
Masa stagnasi dimulai kelemahan umat islam khususnya pemegang kekuasaan yang terlena atas kemenangan islam.

 II.3. Karakteristik Masa Stagnasi
       Setelah keempat imam madzhab ahl al sunnah meninggal dunia. Hukam islam memasuki zaman kodifikasi (tadwin). Berbagai ilmu islam dibukukan dan tidak disampaikan lisan
       Dampak dari doktrin taqlid tampak dalam literature hukum. Penafsiran dan pemikiran ara imam madzhab disusun dalam buku. Banyak karya ulama yang memuat komentar dan penjelasan atas karya para imam mujahid. Pandngan-pandangan yang berbeda disatukan dan digabungkan. Disamping itu muncul pula karya ringkasan (ikhtisar) atas karya-karya tertentu.[1]
       Para penulis memperlihatkan isi, bentuk, serta susunan tulisan-tulisan terdahulu. Gerakan ini di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para ulama, tetapi di sisi lain menyebabkan para ulama merasa cukup dengan apa yang telah tersedia. Mereka tidak merasa perlu melakukan penelitian ulang. Akhirnya muncul tradisi membuat komentar (syarah) dan matan. Ini bertujuan untuk memudahkan membaca dalam memahami kitab-kitab rujukan. Dan tidak jarang komentar (syarah) suatu kitab diberi komentar lagi yang disebut (hariyah).
       Menurut Ali as-Sayis, periode ini tidak melahirkan mujtahid yang independen. Usaha ulama pada periode ini adalah:
a.       Menerima dari imam mereka berbagai hukum terhadap masalah-masalah yang telah diperkirakan sebelum kejadian terjadi.[2]
b.      Mengkaji pendapat=pendapat yang bertentangan dengan madzhab melalui tarjih, yakni mempertimbangkan dalil yang lebih kuat. Ada pertentangan diantara para pengutip pendapat imam (tarjih riwayah). Ada juga pertentangan diantara para imam atau para imam dan muridnya (tarjih dirayah).[3]
c.       Mendukung dan memperkuat madzhab yang dianut. Wujud dari dukungan antara lain, memperbanyak karya biografi para imam madzhab, membuat karya perbandingan madzhab, dan menetapkan madzhabnya yang paling benar, mengadakan perdebatan public demi mengalahkan lawan madzhabnya.[4]
Pada masa stagnasi ini, berkembang tradisi diskusi madzhab (Munaqasyah Madzhabiyah). Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing-masing. Diskusi inilah yang menyebabkan suburnya fanatisme madzhab. Untuk mempertahankan keunggualan madzhabnya, para pengikutnya meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya. Fatwa para imam lebih didahulukan daripada ayat al Qur’an dan al Sunah
Menjelang abad 14. Muncul berbagai teks hukum yang memperoleh reputasi khusus dari dari beberapa madzhab. Teks-teks ini bertahan dengan ottoritasnya sebagai ungkapan hukum islam sampai datangnya modernism hukum pada abad ini.[5]
Secara umum, terdapat dua ciri dominan yang menjadi tangda kemunduran fikih islam, yakni taklid dan tertutupnya pintu ijtihad.
a.       Sebab-Sebab Taklid
Keterpakuan tekstual terjadi karena dibelenggunya akal dan pikiran.Akibatnya hilanglah kebebasan berpikir. Atau mungkin juga disebabkan adanya pemaksaan yang dilakukan leh pihak penguasa dalam menggunakan airan atau madzhab tertentu.
Menurut Sulaiman al-Asyqar hal-hal yang menyebabkan munculnya taklid adalah sebagai berikut.
-         Adanya penghargaan yang berlebihan pada seorang guru
Mereka berasumsi bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu madzhab dan haram hukumnya jika ia keluar dari madzhab yang dianutnya. Kedua, mengambil pendapat selain pendapat dari imam yang dianutnya adalah haram. Ketiga, guru yang terdahulu lebih mengetahui makna nash daripada kita.
-         Banyaknya kitab fikih
Jumlah kitab fikih yang berlebihan dikhawatirkan dapat menjadi sebuah ancaman yang serius bagi Al-Qur’an dan As-Sunah. Kitab fikih akan menjadi pokok bahasan yang lebih utama daripada kitab dan sunah.
-         Melemahnya Daulah Islamiyah
Pemerintahan memang berperan vital dalam pengembangan ilmu pengetahuan.Jadi jika dukungan pemerintah lemah berarti melemah pula pengembangan ilmu pengethuan.
-         Adanya anjuran sultan untuk mengikuti aliran yang dianutnya
Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taklid karena sultan hanya mengangkat qadli atau hakim dari madzhab yang dianutnya.
-         Adanya keyakinan sebagian ulam yang beranggapan bahwa setiap pendapat mujtahid itu benar
Menurut sebagian ulam endapat imam sejajar dengan syariat sehingga pendapat ulam yang mana saja boleh digunakan
                  Sedangkan menurut Kamil Musa ebab-sebab taklid, dintaranya
-         Adanya ajakan kuat dari guru kepada muridnya untuk mengikuti madzhab yang ia anut
-         Lemahnya pemikiran dan peradilan
-         Adanya upaya pmbentukan dan pelestarian madzhab
-         Munculnya anggapan bahwa ijtihad telah keuar dari madzhab yang dianut
-         Berkembangnya sikap berlebihan dalam memperlakukan kitab-kitab fikih
-         Banyaknya kitab-kitab fikih
-         Tidak adanya kesesuaian antara perkembangan akal dan perkembangan pemahaman ( fikih )
      Adapun dalam pandangan Muhammad Ali Sayyis, yang menjadi penyebab taklid adalah.
-         Adanya ajakan yang kuat dari penerus madzhab untuk mengikuti madzhabnya
-         Adanya degradasi kecerdasan para hakim
-         Berkembangnya pembentukan aliran-aliran fikih
-         Adanya ulam yang saling hasut
-         Munculnya perdebatan ahli hukum secara tidak sehat
-         Berkembangnya sikap berlebihan dalam mengajarkanfikih madzhab
-         Rusaknya sistem belajar
-         Bnyaknya kitab fikih
-         Hilangnya kecerdasan individu
-         Munculnya kesenangan masyarakat pada harta secara berlebihan
      Berdasarkan pendapat para ulama diatas maka dapat saya simpulkan bahwa klid terjadi karena dua hal.
-         Keterbelengguan pemikiran,sehingga para ulam lebih suka mengikatkan diri pada madzhab tertentu
-         Ulama kehilangan kepercayaan diri, karena mereka beranggapan bahwa ulama pendiri madzhab lebih pintar daripada mereka

b.      IJtihad Ditutup
Beberapa penyebab ditutupnya pintu ijtihad, diantaranya.
1.      Munculnya hubb al-dunya di kalangan ulama
2.      Adanya perpecahan politik
3.      Adanya perpecahan aliran fikih
Akibat dari tetutupnya pintu ijtihad, keadaan umat islam lama-kelamaan mengalami kemunduran.

 II.4. Ta’assub (fanatik) madzhab
       Ta’assub (fanatik) Madzab adalah sikap mengikuti madzab tertentu secara berlebihan, memandang madzabnya yang paling benar dan madzab lain salah.
Perbedaan pendapat antar madzab yang pernah muncul sebagaimana masalah Talaffudzun Niyat (melafalkan usholli dalam sholat), jumlah rak’at sholat tarawih dan witir. Sikap fanatic madzab sebenarnya bukan sikap terpuji, dan tidak dibenarkan oleh agama, tidak di ingini serta tidak di praktekkan oleh imam madzab. Para imam sangat hormat dan menenggang rasa terhadap madzab lain.
Para imam madzab selalu rendah hati dan sangat hati-hati dalam memandang nilai kebenaran pendapatnya menghadapi pendapat lain yang tidak sama dengan pendapatnya, sikap demikian tercermin dari beberapa pesan imam madzab, antara lain :
a.       Imam Malik  berkata :
Ketahuilah, sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia, mungkin salah dan mungkin benar. Maka selidikilah olehmu segala pendapatku, apa yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dia, dan yang tidak sesuai dengan kitab dan sunnah tinggalkanlah dia.
b.      Imam Abu Hanifah berkata :
Apabila pendapatku menyalahi kitab Allah dan hadits Rosulullah, maka tinggalkanlah olehmu pendapatku itu.
c.       Imam Syafi’I berkata :
Apabila ada hadits shoheh dari nabi yang menyalahi pendapatku, maka ikutilah hadits itu, dan ketahuilah bahwa itulah madzab ku.
d.      Imam Ahmad bin Hambal berkata :
Janganlah kamu bertaqlid kepada ku, jangan pula kamu taqlid pada Malik, At Tsauri, Au Za’I, tapi ambillah olehmu dari tempat mereka mengambil.
Jadi yang bersikap ta’assub madzab menunjukkan bahwa dia tidak memahami dengan benar sikap yang harus diambil dalam bermadzab, karena sikap ta’assub madzab itu tidak sejalan dengan pendirian para imam madzab itu sendiri.

BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
       dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi semenjak masa Islam yang paling dini perbedaan pendapat itu sudah terjadi. Perbedaan terjadi adanya cirri dan pandangan yang berbeda dari setiap mazhab dalam memahami Islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita umat Islam harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memendang serta memahami arti perbedaan, hingga sampai satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik dengan bertentangan – selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran – dan Islam adalah satu dalam keragaman. Dan perbedaan pendapat itu harus dipandang sebagai bentuk-bentuk kemudahan bagi umat manusia, sebab hakikat kebenaran atau ketidak benaran dari masing-masing pendapat tersebut adalah nisbi, hanyalah Allah SWT yang maha mengetahui secara mutlak hakikat substansi kebenaran tersebut.
III.2. Saran
       Kami menyadari bahwa setiap manusia tidak lepas dari kesalahan dan keluputan. Dan kamipun mengetahui bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dalam segi pemaparan teori maupun contoh-contoh yang konkrit yang ada di masyarakat.  Sehingga kami sangat mengharap kritik dan saran yang membangun, sehingga dalam penyusunan berikutnya kami dapat menyusun lebih baik dan lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Praja, Juhaya S. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:
            Remaja Rosda Karya.
Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mubarak, Jaih . 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:
 penerbit PT. Remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun MKD.2012.Studi Hukum Islam.Surabaya:IAIN SA Press



[1] Noel, J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmd (Jakarta : P3M, 1987), 97
[2] Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam, terj. Nurhadi ( Jakarta :al-kausar,2003 ), 167-168
[3] Ibid.,169
[4] Ibid.,170
[5][5] Noel, J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif sejarah, 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar