Label

Selasa, 31 Desember 2013

SENGKETA TANAH WARGA DAN TNI DALAM PANDANGAN HUKUM PERTANAHAN



BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian hukum untuk seseorang sejahtera hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya bisa mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum di dalamnya, misalnya dalam kepemilikan tanah.
Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun pajak-pajak yang lain misalnya sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam masyarakat.[1]


1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
  1. Apa arti dari sengketa Tanah ?
  2. Apa hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah?
  3. Bagaimana penyelesaian kasus penyelesaian sengketa tanah antara militer dengan warga masyarakat di jawa timur ?
  4. Sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah ?
  5. Bagaimana contoh dalam masyarakat secara nyata?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan penelitian dari paper ini yaitu :
1.      Untuk mendeskripsikan arti sengketa tanah.
2.      Untuk mendeskripsikan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah.
3.      Untuk mendeskripsikan bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut.
4.      Untuk mendeskripsikan sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah.
5.      Untuk mendeskripsikan contoh dalam masyarakat secara nyata.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sengketa Tanah
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.[2]
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara lain :
  1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
  2. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
  3. Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.
  4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
1.      Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2.      Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
3.      Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4.      Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
5.      Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah. [3]
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan yaitu :
  1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
  2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
  3. Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
  4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
  5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.[4]
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah memakai tanah tersebut.
2.2 Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1.      Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2.      Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3.      Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
2.3 Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
  1. mengenai masalah status tanah,
  2. masalah kepemilikan,
  3. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
  1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
  2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
  3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
  4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
2.4 Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1.      Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2.      Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3.      Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
·        SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1.      Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2.      Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
2.5 Contoh dalam masyarakat tentang sengketa tanah yang terjadi
·        Contoh Yang pertama yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini cukup banyak, yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Sumberanyar, Dusun Curah Timo, Nguling, Pasuruan, Jawa Timur dengan TNI AL terhadap lahan di Desa Sumberanyar, Dusun Curah Timo, Nguling, Pasuruan, Jawa Timur.
Persoalan terjadi saat TNI AL mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Sementara TNI AL, yang diwakili Letkol Laut (P) Sa'ban Nur S, tetap akan menempati lahan tersebut sesuai dengan perintah negara. "Pada intinya, kami tunduk pada negara. Kalau negara memberikan tempat latihan di situ (Desa Sumberanyar) ya kami akan menempatinya. Kalau pemerintah memberikan lahan untuk latihan di tempat lain, ya kami akan melaksanakannya," kata Sa'ban usai gelar mediasi di Kantor Gubernur Jawa Timur.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan diantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.[5]
·        Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan  Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat, sementara  TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum.  Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland reform dengan verponding  (tanda hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.[6]
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
1.      Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
2.      Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
3.      TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.[7]
Pembuat Undang-undang Pokok Agraria member kesempatan bagi setiap orang yang memegang Hak Milik Adat di seluruh Indonesia untuk mendaftarkan haknya dan akan memperoleh sertifikat Hak Milik melalui prosedur konversi Hak Adat(peraturan Menteri Pertanian dan Agraria).[8]
Jadi walaupun itu berdasarkan tanah adat maupun turun temurun dari nenek moyang, tetap harus berdasarkan hukum yang berlaku, karena Indonesia ini adalah negara hukum dan lebih kuat juga bila ada bukti hukum yang pasti seperti surat tanah atau akta tanah tersebut. Sangatlah penting tentang surat tanah yang salah satu manfaatnya yaitu untuk kepastian hukum.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.



3.2 Saran
Dari kasus-kasus yang telah di kemukakan di atas, maka dapat disarankan bahwa semua hukum yang ada pada negara ini, telah dimasuki kepentingan negara dalam rangka mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Jadi hukum tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara Indonesia yang sudah tertera pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Salah satunya yaitu mensejahterakan rakyat.
Menjadi warga negara yang baik harus tahu akan hukum serta tidak hanya tahu, juga haruslah melaksanakan hukum tersebut. Untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik (good citizen),  maka harus taat dan mengerti akan hukum. Hal itulah yang ditujukan untuk penulisan makalah ini tentang penanaman kesadaran hukum haruslah ditingkatkan di Indonesia agar tidak terjadi konflik-konflik dari yang ditimbulkan oleh penyelewengan hukum, atau pelanggaran hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005


[1] C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1986 hal. 34
[2] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal 23
[3] Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009, hal 35
[4] Maria SW sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009,hal 18
[6] http://www.tempo.co/read/news/2013/07/08/058494576/Warga-Tagih-Penyelesaian-Sengketa-Tanah-Dengan-TNI
[7] Soedigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970, hal. 51
[8] Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal.94-95 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar