Label

Kamis, 08 Mei 2014

Penyertaan (Deelneming) dalam Hukum Pidana

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Banyak orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung.
Di samping itu banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang terjadi di masyarakat kita. Sering kali terjadi perdebatan dalam menjatuhkan hukuman pada pembuat langsung maupun pada pembuat tidak langsung perbuatan pidana. Untuk menjatuhkan pidana atas suatu perkara tersebut, maka hakim harus mengetahui mana pembuat yang langsung maupun yang tidak langsung dan mendasarkan putusannya selain pada undang-undang juga mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Dalam hukum perdata pertanggungjawaban dapat dialihkan ke orang lain tetapi dalam hukum pidana tidak bisa, melainkan harus dipertang-gungjawabkan masing-masing oleh pelakunya.
Untuk mengetahui lebih jelas siapa-siapa dan bagaimana pertang-gungjawabannya yang harus dijatuhi hukuman ketika terjadi perbuatan penyertaan dalam hukum pidana maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang perbuatan penyertaan dalam hukum pidana.


1.2  Rumusan Masalah
                     1.   Apa pengertian dan dasar hukum delik penyertaan?
                     2.   Apa macam-macam bentuk delik penyertaan?
                     3.   Apa syarat-syarat delik penyertaan?

1.3  Tujuan
                     1.   Mengetahui pengertian dan dasar hukum delik penyertaan.
                     2.   Mengetahui macam-macam bentuk delik penyertaan.
          3.   Mengetahui syarat-syarat delik penyertaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian dan Dasar Hukum Delik Penyertaan
2.1.1  Pengertian
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.[1] Demikian juga pembunuhan yang merupakan suatu tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang yang termaktub dalam KUHP pasal 338-340, begitu juga dengan delik penyertaan.
Adapun kata penyertaan yang bersinonim dengan Deelneming aan strafbare feiten tercantum dalam titel V buku KUHP.[2] Sedangkan arti kata penyertaaan menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. adalah turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana,[3] jadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh banyak orang yang dilakukan secara bersama-sama dengan waktu yang bersamaan dan niat yang sama pula dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, pengertian kata penyertaan atau Deelneming tidak ditentukan secara tegas dalam KUHP, mereka berpendapat penyertaan adalah suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan dan dapat pula penyertaan terjadi bersamaan dilakukannya perbuatan itu.[4]
Menurut Adami Chazawi pengertian penyertaan  (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.[5]

2.1.2  Dasar Hukum
Dasar hukum dari delik penyertaan terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal 56, sedangkan mengenai sanksi delik penyertaan terdapat dalam pasal 57. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal 55:
(1). Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana:
ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan itu.
ke-2. orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2). Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.
Pasal 56:
Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana:
ke-1. orang yang dengan sengaja membantu wwaktu kejahatan itu dilakukan.
ke-2. orang yang dengan sengaja memberi kasempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Pasal 57;
(1)   Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan dikurangi sepertiganya, bagi pembantu.
(2)   Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau dengan pidana seumur hidup, maka dijatuhkanlah pidana penjara yang selama-lamanya lima belas tahun.
(3)   Pada menentukan pidana hanya diperhatikan perbuatan yang sengaja dimudahkan atau dibantu oleh pembantu itu, serta dengan akibat perbuatan itu.[6]
Pasal-pasal tersebut merupakan dasar hukum yang menjadi acuan hakim untuk menentukan kedudukan pelaku dalam melakukan tindak pidana dan sanksi yang akan dikenakan terhadap pelaku tindak pidana penyertaan. Hakim dalam menentukan sanksi pidana terlebih dulu harus melakukan penafsiran pasal-pasal tersebut, pelaku termasuk kategori apa, dan kemudian dapat mengambil putusan sanksi pidana yang akan dikenakan  kepada pelaku tindak pidana.

2.2  Macam-macam Bentuk Delik Penyertaan
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas maka delik penyertaan dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu:
1.    Yang Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen)
Pengertian yang melakukan perbuatan (pleger) adalah: orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud.[7] Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Menurut pasal 55, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu, jika dilihat dari segi perbuatan maka mereka berdiri sendiri dan perbuatan mereka hanya memenuhi sebagian dari syarat-syarat tindak pidana.
2.      Yang Menyuruh Melakukan (Doenplegen, Medelijke Dader)
Menurut Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang.
3.    Yang Turut Serta Melakukan (Medeplegen, Mede Dader)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (mede plegen), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah ”setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakuakn suatu tindak pidana”. Keterangan ini belum menberikan penjelasan yang tuntas, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan. Begitu halnya menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam KUHP sendiri tidak ada penegasan secara jelas mengenai maksud dari turut serta melakukan (mede plegen).
Turut serta pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) yang berarti bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama memenuhi rumusan tindak pidana, ini merupakan pandangan yang bersifat sempit yang dianut oleh Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak pidana dan pandangan ini condong pada pandangan yang bersifat obyektif. Adapun pandangan yang bersifat luas tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana asalkan adanya unsur kesengajaan yang sama dengan kesengajaaan pembuat pelaksana. Pandangan ini condang pada pandangan yang bersifat subjektif.
4.    Yang Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker)
Orang yang membujuk melakukan perbuatan merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan suatu tindak pidana. Orang ini menempati posisi yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Karena dia memiliki peran akan dilaksanakan atau tidaknya suatu tindak pidana selain orang yang melakukan dan orang yang menyuruh melakukan tindak pidana.
Yang dimaksud dengan yang membujuk melakukan tindak pidana atau disebut pembujuk adalah setiap perbuatan yang menggerakkan yang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Orang yang sengaja membujuk melakukan tindak pidana disebut juga auctor intellectualis, seperti pada orang yang menyuruh melakukan tindak pidana tidak mewujudkan tindak pidana secara meteriel tetapi melalui orang lain.[8]
Menurut pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP dirumuskan bahwa penganjur atau pembujuk adalah orang yang dengan pemberian, upah, perjanjian, penyalah gunaan kekuasaan, paksaan ancaman dan tipu daya atau karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan dengan sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan.
Menurut Martiman memberikan penafsiran mengenai ikhtiar yang dimaksud dalam pasal 55 KUHP tersebut sebagai berikut ini:
1.    Pemberian-pemberian; bentuk dari pemberian ini tidak hanya berupa uang tetapi dapat juga berupa barang bahkan mungkin berupa jasa.
2.    Janji-janji; adanya bentuk janji-janji menandakan bahwa adanya kesengajaan dari penganjur.
3.    Menyalahgunakan kekuasaan; artinya menggunakan kekuasaan secara salah.
4.    Menyalahgunakan kedudukan terhormat; adanya bentuk seperti ini hanya di Indonesia dan tidak terdapat di KUHP Belanda.
5.    Kekerasan; yang dimaksud dengan kekerasan adalah apabila orang mempergunakan kekerasan terhadap orang lain agar orang itu melakukan kejahatan.
6.    Ancaman.
7.    Muslihat; hal ini merupan tipu daya, akal licik atau dengan kata-kata.
8.    Memberi kesempatan.[9]
Dari semua hal tersebut diatas merupakan daya upaya yang dilakukan seorang penganjur untuk memnganjurkan atau membujuk seseorang untuk melakukan tindak pidana yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dengan pidana. Seseorang dapat dikatakan seorang penganjur atau pembujuk harus memenuhi beberapa syarat yang akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.
Menurut pasal 56 bentuk penyertaan yang terakhir adalah bentuk membantu melakukan tindak pidana atau pembantuan (Medeplichtinghed). Bentuk ini merupakan bentuk terakhir daari delik penyertaan dan sering dilakukan oleh seseorang dalam melakukan tindak pidana. Sesuai dengan rumusan pasal 56 dapat dibedakan macam-macam bentuk pembantuan dalam melakukan perbuatan:
1.    Bentuk pertama adalah pembantuan yang dilakukan pada waktu melakukan perbuatan, yaitu dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Hal ini hampir sama dengan turut serta melakukan perbuatan (medeplegen). Dalam bentuk turut serta melakukan perbuatan adanya kerja sama yang erat antara mereka yang melakukan perbuatan, sedangkan dalam bentuk pembantuan mempunyai sifat kerja sama yang kadarnya kurang dari kadar turut serta melakukan. Orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak beitu penting.
2.    Bentuk yang kedua adalah pembantuan yang dilakukan sebelum perbuatan itu dilakukan dan ini terdiri dari pemberian kesempatan, sarana keterangan untuk melakukan kejahatan.
Selain kedua bentuk tersebut diatas, terdapat juga beberapa bentuk pembantuan yaitu; pembentuan aktif dan pembantuan pasif. Pembantuan aktif adalah bentuk pembantuan dengan melakukan perbuatan aktif, perbantuan aktif dapat juga disebut pembantuan materiil (materiele medeplitighed). Pada  bentuk pembantuan materiil dapat terjadi hanya pada pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan. Adapun bentuk pembantuan pasif adalah bentuk pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan aktif atau secara langsung.[10]

2.3  Syarat-syarat Delik Penyertaan
Suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Pada umumnya syarat-syarat tindak pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.    Unsur obyektif: unsur yang menitik beratkan pada wujud perbuatan. Dalam unsur ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.       Perbuatan manusia, yaitu suatu perbuatan positif atau perbuatan negatif yang menyebabkan pelanggaran pidana.
b.      Akibat perbuatan yaitu akibat yang terjadi atas merusak atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, ada yang timbul bersamaan dengan perbuatan dan ada yang timbul setelah perbuatan.
c.       Keadaan-keadaan sekitar perbuatan, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.
d.      Sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum, perbuatan itu melawan hukum jika bertentangan dengan undang-undang.
2.    Unsur subjektif: kesalahan (schuld) dari orang yang melanggar norma pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat dipersalahkan jika orang itu melanggar norma hukum.[11] Dari sudut subyektif, ada dua syaratnya, yaitu:
a.       Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana.
b.      Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya sengan peserta lain, dan bahkan dengan napa yang diperbuat oleh peserta lain.
Selain kedua syarat umum tersebut, masing-masing peserta mempunyai syarat-syarat sendiri sehingga dapat disebut sebagai pelaku yang turut melakukan tindak pidana. Masing-masing peserta yang turut serta melakukan tindak pidana mempunyai isyarat-syarat sebagai berikut:
1.    Mereka yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen). Pada kenyataannya menentukan seseorang pelaku tidak sukar, kriterianya cukup jelas, ialah secara umum perbuatannya telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sedangkan dalam tindak pidana meteriel perbuatan apa yang dilakuakan telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
2.    Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen), untuk dapat dikatakan sebagai menyuruh melakuakan perbuatan, haruslah memenuhi persyaratan, yakni: orang yang disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHP.[12]
3.    Mereka yang turut serta melakukan perbuatan (Medeplegen). Untuk dapat dikatakan sebagai medepeger seseorang harus mempunyai beberapa syarat-syarat:
a.       Apabila beberapa pelaku peserta melakukan sesuatau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dengan kekuatan diri sendiri.
b.      Antara beberapa pelaku yang melakukan bersama-sama dalam suatu perbuatan yang dilarang itu harus ada kesadaran bahwa mereka bekerja sama. Kesadaran itu dapat timbul karena pada umumnya apabila pelaku peserta itu, sebelumnya melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang, terlebih dahulu telah melakukan perundingan atau kesepakatan untuk melakukan kejahatan.
  
BAB III
KESIMPULAN
Penyertaaan adalah turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana, yang dilakukan secara bersama-sama dengan waktu yang bersamaan dan niat yang sama pula dalam melakukan tindak pidana tersebut. Dasar hukum dari delik penyertaan terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal 56, sedangkan mengenai sanksi delik penyertaan terdapat dalam pasal 57.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas maka delik penyertaan dapat digolongkan menjadi (1) Yang Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen), (2) Yang Menyuruh Melakukan (Doenplegen, Medelijke Dader), (3) Yang Turut Serta Melakukan (Medeplegen, Mede Dader), (4) Yang Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker).
Suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Pada umumnya syarat-syarat tindak pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu Unsur obyektif dan Unsur subjektif. Selain kedua syarat umum tersebut, masing-masing peserta mempunyai syarat-syarat sendiri sehingga dapat disebut sebagai pelaku yang turut melakukan tindak pidana. Masing-masing peserta yang turut serta melakukan tindak pidana mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
               1.      Mereka yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen), ialah secara umum perbuatannya telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana.
               2.      Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen), yakni orang yang disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHP.
               3.      Mereka yang turut serta melakukan perbuatan (Medeplegen), yaitu peserta melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang dan  melakukan bersama-sama suatu perbuatan yang dilarang dengan kesadaran bahwa mereka bekerja sama.
DAFTAR PUSTAKA
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. 1990. Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Chazawi, Adami. 2002.  Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Moeljatno. 1983. Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan. Jakarta: Bina Aksara
Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cet. Ke-7. Bandung: Refika
Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cet. Ke- 1. Jakarta: Pradnya Paramita
Sugandhi, R. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional
Susilo, R. 1983. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus. Bogor: Politeia





[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 67.
[2] Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cet. Ke- 1, (Jakarta: Pradnya Paramita,1997), hlm 49.
[3] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cet. Ke-7, (Bandung: Refika, 1989), hlm. 108.
[4] Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1990), hlm. 141.
[5] Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 71.
[6] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm. 68-73.
[7] Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 82
[8] Moeljatno, Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan, (Jakarta: Bina Aksara,1983). hlm. 52
[9] Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 58-59.
[10] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana., hlm. 151-152.
[11] R. Susilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus (Bogor: Politeia, 1983), hlm. 26-27.
[12] Yang dimaksud dengan tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah orang gila, anak-anak dibawah umue 12 tahun, orang bawahan yang tidak mempunyai kualitas sendiri (lihat Martiman Prodjohamidjojo, Pelajaran Hukm Pidana., hlm 54)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar