Label

Rabu, 14 Mei 2014

PRINSIP KETATANEGARAAN (KEMERDEKAAN DAN MUSYAWARAH DALAM NEGARA)

BAB I
PEMBAHASAN

1.1  Al-Baqarah: 256
·     Ayat Al-Qur’an
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
·     Makna Mufrodat
لاَإِكْرَاهَ
Tidak ada paksaan, maksudnya dalam memasuki sebuah agama

تَبَيَّنَ
Telah nyata, Maksudnya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang kuat, bahwa keimanan itu berarti kebenaran dan kekafiran itu kesesatan.

بِالطَّغُوْتِ
Kepada taghut, maksudnya Thaghut adalah setan sangat kuat, karena sesungguhnya pengertian tersebut mencakup semua bentuk kejahatan yang biasa dilakukan oleh ahli Jahiliah, seperti menyembah berhala dan meminta keputusan hukum kepadanya serta membelanya.[1]

·     Terjemahan
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
·     Asbabun Nuzul
Ada seorang sahabat Anshar dari Bani Salim bin Auf bernama Husain mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani. Sedangkan dia sendiri taat menjalankan ajaran syariat Islam. Pada suatu ketika Hushain bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku memaksa dua orang anakku untuk memeluk agama Islam. Sebab kedua anakku itu tidak taat kepadaku dan masih berkeinginan untuk memeluk agama Nasrani”.
Kedua anak Hushain itu memeluk agama Nasrani lantaran mengikuti jejak pedagang yang datang dari Syam. Mereka berdagang anggur. Kedua anak itupun ikut ke Syam dan hidup di sana. Ketika kedua anak itu akan berangkat menuju Syam, hushain bermaksud untuk memaksanya memeluk agama Islam. Tetapi terlanjur anaknya berangkat ke Syam. Oleh sebab itulah rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk melacak sampai ke Syam. Maka turunlah ayat ke-256 yang menegaskan tidak boleh mengadakan paksaan dalam beragama. Sebab sudah jelaslah mana yang benar dan mana yang salah. Turunnya ayat ke-256 ini sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan Hushain kepada Rasulullah SAW. (HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Suddi dari Ibnu Abbas).[2]
·     Tafsir Ayat
Ayat ini menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam, dan bahwasanya karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayat dan keadaannya merupakan ajaran akal dan ilmu, ajaran fitrah dan hikmah, ajaran kebaikan dan perbaikan, ajaran kebenaran dan jalan yang lurus, maka karena kesempurnaannya dan penerimaan fitrah terhadapnya, maka Islam tidak memerlukan pemaksaan, karena pemaksaan itu terjadi pada suatu perkara yang dijauhi oleh hati, tidak memiliki hakikat dan kebenaran, atau ketika bukti-bukti dan ayat-ayatnya tidak ada, maka barangsiapa yang telah mengetahui ajaran ini dan dia menolaknya maka hal itu di dasari kedurhakaannya, karena (قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ) “sesung-guhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” hingga tidak ada suatu alasan pun bagi seseorang dan tidak pula hujjah apabila dia menolak dan tidak menerimanya.
Kemudian Allah ta’ala menyebutkan pembagian manusia kepada dua bagian:  pertama, manusia yang beriman kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya dan kafir kepada thagut yaitu segala hal yang meniadakan keimanan kepada Allah dari kesyirikan dan selainnya maka orang ini telah, (اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى) “telah ber-pegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus” bahkan tali itu lurus di atas ajaran yang benar hingga sampai kepada Allah dan negeri kemuliaanNya, kedua dapat diambil dari pemahaman terbalik ayat ini yaitu bahwa barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah bahkan dia kafir kepadaNya dan beriman kepada thagut, maka dia akan binasa dengan kebinasaan yang abadi dan disiksa dengan siksaan yang selamanya.
Dan firmanNya, (وَاللهُ سَمِيعٌ) “Dan Allah Maha Mendengar” yaitu kepada segala suara dengan segala macam perbedaan bahasanya menurut segala bentuk kebutuhannya, dan juga Maha Mendengar akan doa orang-orang yang bermunajat dan ketundukan orang-orang yang merendahkann diri kepadaNya (عَلِيمٌ) “lagi Maha Mengetahui” segala yang disembunyikan oleh hati, dan segala perkara yang tersembunyi dan tidak nampak, hingga Dia membalas setiap orang sesuai dengan apa yang diperbuatnya dari niat maupun amalannya.

1.2  Ali ‘Imran: 159
·      Ayat Al-Qur’an
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ  


·      Makna Mufrodat

غَلِيْظَ القَلْبِ
keras hati adalah ungkapan untuk muka yang selalu masam, tidak peka terhadap segala keinginan dan kurang memiliki rasa kasih sayang

فَاعْفُ
Maafkanlah, maksudnya memaafkann semua kesalahan yang diperbuat
Îû ͐öDF{$#
Urusan itu, maksudnya urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru sunnah dan jejak langkah Rasulullah SAW
zMøBztã
Berketetapan hati, maksudnya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki setelah bermusyawarah
·      Terjemahan
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[3] kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
·      Asbabun Nuzul
Pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam peperangan Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khathab. Rasulullah SAW meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar bin khathab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja, yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini. Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ke-159 yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati, tentu mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberikan peringatan kepada Umar bin Khathab, apabila dalam permusyawarahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkal kepada Allah SWT. Sebab Allah SWT sangat mencintai orang yang bertawakkal, dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepasskan sebagaimana saran Abu Bakar. (HR. Kalabi dari Abi Shalih dari ibnu Abbas).[4]
·      Tafsir Ayat
Pada ayat ini disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. Untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu, walaupun dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan Perang Uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.
Pertama, berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama harus ia hindari adalah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi.
Kedua, memberi maaf, dan membuka lembaran baru. Dalam bahasa ayat diatas. Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedngkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.
Ketiga, permohonan maghfirah dan ampunanIllahi, sebagaimana pesan terakhir ayat diatas dalam konteks musyawarah setelah musyawarah usai yaitu “kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.  [5]
  
BAB II
PENUTUP
Kandungan/Kesimpulan Hukum
1.    Ayat Al-Baqarah: 256
Pelajaran yang bisa diambil dari ayat ini di antaranya adalah :
1.    Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama Islam.
2.    Hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk atau kesesatan.
3.    Tidak akan sempurna keikhlasan seseorang kepada Allah kecuali dengan menolak semua bentuk kesyirikan.
4.    Setiap sesuatu yang disembah selain Allah adalah thogut.
5.    Keselamatan dunia dan akhirat hanya dengan mengingkari thogut dan beriman kepada Allah Ta’ala..
6.    Amal perbuatan itu bertingkat-tingkat. Semakin utama amal perbuatan yang dilakukan seseorang maka semakin utama dan mulia orang tersebut.
Islam mengajarkan kebebasan dan persamaan serta kepemilikan hak, Namun perlu digarisbawahi bahwa kebebasan manusia yang dimaksud dalam Islam tidaklah absolut. Demikian juga hak asasinya. Seorang muslim yang menerima konsep tauhid, berarti ia mengakui bahwa segala kekuasaan yang (barang kali) ia punya, bukanlah secara sah miliknya. Tetapi itu adalah bagian  dari kepemilikan Tuhan. Ini adalah konsep persamaan Islam secara umum.[6]
Dalam Islam di kenal ada dua macam hak, yakni : hak manusia dan hak Allah. Antara keduanya saling melandasi satu sama lain, hak Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya. Dalam penerapannya, tidak ada satu pun yang terlepas dari dari kedua hak tersebut. Shalat misalnya, adalah hak Allah yang wajib di tunaikan oleh manusia. Ia merupakan kewajiban pribadi yang bersangkutan dengan Allah, tidak ada kekuatan apapun yang dapat memaksa seseorang untuk melakukan shalat.[7]
Dalam Islam, al-Dharuriyyat al-Khams dianggap (oleh beberapa kelompok) sebagai bentuk lain konsep umum HAM, karena cakupannya yang bersifat universal atas hak-hak dasar manusia.
Al-Dharuriyyat al-Khams mencakup lima hal: Hak beragama (Hifzh al-Din), Hak hidup (Hifzh al-nafs), Hak berpikir (Hifzh al-‘Aql), Hak berketurunan (Hifzh al-Nasl), Hak memiliki harta (Hifzh al-Mal)[8]
1. Hak beragama. Islam sepenuhnya bersikap toleran terhadap kebebasan menganut suatu agama bagi umat manusia. Sikap tersebut berdasarkan atas tiga hal utama. Pertama: Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memasuki agama Islam dari agama yang dianut sebelumnya. dalam Firman Allah: “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (al-Baqarah : 256). Kedua : Di anjurkan kepada umat Islam untuk mendiskusikan dan memperdebatkan mengenai kebenaran dengan penganut agama lain, kalau memang hal itu di perlukan. Ketiga : Iman yang di anut oleh seseorang menurut ajaran islam tidak di lakukan berdasarkan ikut-ikutan dan sikap taklid, melainkan dengan penuh keyakinan.[9]
2. Hak hidup. Disebutkan dalam al qur’an: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia (tanpa alasan yang pantas) tanpa di rencanakan, atau bukan karena melakukan perusakan di muka bumi maka seakan-akan ia di pandang dia telah membunuh manusia seluruhmya.” (Al-Ma’idah:32)
Perbuatan menghilangkan nyawa karena alasan dendam atau untuk menebar kerusakan hanya dapat di putuskan oleh pengadilan yang berwenang. Dalam setiap peristiwa, tidak ada satu individu pun yang memiliki hak untuk mengadili secara main hakim sendiri.
Rasulullah saw, telah menyatakan pembunuhan sebagai dosa yang paling besar setelah menyekutukan tuhan (Allah). Dan juga hadits Rasul menyatakan: “Dosa yang paling besar adalah menyekutukan Tuhan dan membunuh sesama manusia. “Hak untuk Hidup” yang di berikan kepada segenap umat manusia hanya di berikan oleh islam.[10]
Keterangan ini cukuplah menjadi dasar untuk memasukkan hak hidup sebagai salah satu hak asasi.
3. Hak berpikir. Implementasi dari prinsip ini, dapat ditemukan dalam banyaknya larangan bagi manusia, mengerjakan sesuatu yang bisa mengganggu kesehatan akalnya (seperti minum khomr dan makan makanan yang tidak sehat. Bahkan dalam taraf ini, syari’ah juga bersikap jauh ke depan dengan memberikan rambu-rambu hukuman yang tegas sebagai tindakan pencegahan.
Islam, juga memuliakan kedudukan akal dengan memberikan celah baginya untuk selalu berkembang. Islam menghormati para pemilik ilmu, serta menekankan pemahaman akal dalam setiap dogma yang dibawanya.
4. Hak berketurunan. Dalam tujuannya untuk mensejahterakan manusia, lahirlah tuntunan-tuntunan semacam pernikahan, menjaga keharmonisan keluarga, dan pengajaran akhlak terhadap hubungan antar jenis.
5. Hak memiliki harta. Prinsip ini, dapat ditemukan dalam khotbah Rasulullah saw, yang disampaikan pada saat haji terakhir, beliau mengatakan: “Hidup dan harta kekayaanmu adalah terlarang bagi sesama kalian hingga kalian menemui Tuhan-mu pada Hari Kebangkitan”. Islam secara jelas memberikan hak keamanan atas kepemilikan harta kekayaan. Al-Qur’an telah menyatakan bahwa mengambil harta kekayaan orang lain adalah di larang kecuali jika di lakukan melalui cara-cara sah, Hukum Tuhan menyatakan secara tegas: “Janganlah kamu memakan harta sesama dengan cara yang tidak halal”. (Al-Baqarah: 188).[11]
Mayoritas ulama’ sepakat, bahwa segala aspek hukum yang diterapkan dalam Islam, berlandaskan satu dari lima maksud tersebut. Lima prinsip ini, dianggap mewakili untuk menunjukkan unsur-unsur pokok tentang hak-hak asasi.
Hal lain yang luput diperhatikan oleh “Barat” adalah pemenuhan kewajiban berkaitan dengan pemerolehan hak. Menurut al-Quran, Kewajiban dan hak tidak dapat dipisahkan. Kewajiban tidak dapat terlaksana tanpa adanya hak, begitu juga sebaliknya. Al-Quran adalah sebuah dokumen yang menyerukan kebajikan dan tanggung jawab moral yang kuat. Rasa tanggung jawab yang komprehensif dapat menjamin keberlangsungan hak-hak manusia, bukan sebaliknya.[12]

2.    Ayat Ali ‘Imran: 159
Adapun hal-hal yang dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari setelah mempelajari QS Ali Imraan: 159  adalah sebagai berikut:
a.       Tidak boleh berkeras hati dan bertindak kasar dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tetapi dengan hati yang lemah lembut.
b.      Setiap muslim harus berlapang dada, berperilaku lemah lembut, pemaaf dan memohonkan ampun kepada Allah.
c.       Dalam kehidupan sehari-hari kita harus mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap persoalan.
d.      Apabila telah tercapai mufakat, maka setiap individu harus menerima dan melaksanakan keputusan musyawarah.
e.       Selalu berserah diri kepada Allah sehingga tercapai keseimbangan antara ikhtiyar dan berdo’a.
Konsep musyawarah sebagai tradisi yang disyari’atkan di dalam al-Qur’an, salah satunya  dalam hal kebijakan pemerintahan dan politik, dalam surat ‘Ali-‘Imraan ayat 159, bahwa Allah SWT memerintahkan kepada Nabi untuk melaksanakan musyawarah dengan para sahabatnya dalam memecahkan berbagai persoalan. Perintah tersebut tidak hanya dikhususkan kepada nabi Muhammad tetapi kepada seluruh umatnya   yang menjalankan suatu pemerintahan atau politik dalam suatu negara bahwa landasan dasar  pemerintahan Islam yang ideal dalam suatu pemerintahan ialah harus adanya konsep musyawarah di dalamnya.
Dalam sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden, kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, oleh karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintahan dan seluruh warga yang menghuni suatu negara tersebut.[13] Hal ini sebagaimana tercantum dalam piagam Madinah yang di kalangan para sarjana politik (Islam) dikenal sebagai “Konstitusi Madinah” Piagam Madinah ini, telah didokumentasikan para ahli sejarah klasik Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (w. 218 H).
Konstitusi ini merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan kaum Muslim dan Nonmuslim Madinah, di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, untuk membangun masyarakat politik bersama. Dalam model pemerintah tersebutlah Rasulullah meletakan salah satu dasar pemerintahan  dalam Islam yaitu musyawarah.
Musyawarah bisa dihubungkan dengan sistem Demokrasi karena sistem demokrasi memiliki kecenderungan pemerintahan  ke arah sistem politik yang lebih terbuka. bahwa warga negara atau rakyat harus didengar suaranya dalam proses-proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka, bahwa rakyat punya hak untuk tidak diperlakukan secara tidak adil.
Sistem Demokrasi memiliki tempat sebagai sistem pemerintahan yang diterima dengan baik di Indonesia karena dalam konsep Demokrasi tersebut terdapat nilai-nilai yang di ambil dari konstitusi Piagam Madinah yang dibawa oleh Nurcholis Majid sebagai bentuk penyesuaian dengan negara Indonesia yang memilki identitas sebagai negara majemuk, di mana sebuah perbedaan adalah sebuah identitas murni yang di miliki negara Indonesia.  Yakni adanya perbedaan keyakinan, kebudayaan, dan perbedaan strata sosial yang menuntut adanya kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Adanya sistem Demokrasi seharusnya bisa membentuk suatu pemerintahan yang berdasarkan syari’at Islam yakni adanya aktivitas Syura (Musyawarah) dalam pemerintahan tersebut dapat terwujud  Sehingga pemerintahan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejateraan, keamanan, kedamaian dan ketentraman masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Sapardi. 1987. Hak azazi manusia dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Wafi, Ali Abdul Wahid. 1991. Prinsip hak asasi dalam Islam . terj. Abu ahmad al wakidy. Solo: Pustaka Mantiq
Askiah Adam dkk. 1999. Menakar “Harga” Perempuan. Bandung: Mizan
Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an). Jakarta: Penerbit Lentera Hati
Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. 2000. Tafsir Ibnu Kasir Juz 3 (Al-Baqarah 253 s/d Ali Imran 91). Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset
Mahali , A. Mudjab. 2002.  Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat Al-Baqarah-An Nas.  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Shihab, M. Quraish. 2003.Refleksi : jurnal kajian agama dan filsafat”. Jakarta : UIN Syahid press
Maulana Abul a’la al maududy. 2005. hak-hak asasi manusia dalam Islam, terj. Bambang Iriana. Jakarta: Bumi aksara
Nata, Abuddi. 2009. Metodologi Study Islam. Jakarta: Rajawali Press
Imam Jalaluddin Al-Mahalli & Imam Jalaluddin As-Suyuti. 2011. Terjemahan Tafsir Jalalain berikut Asbabun nuzul jilid 1. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Muhammad bin Thohir bin ‘Asyur, maqoshid al syari’ah al islamiyyah, CD ROM. al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi syuruh al hadis. Vol.1



[1] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 3 (Al-Baqarah 253 s/d Ali Imran 91). (Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset, 2000), h.48
[2] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat Al-Baqarah-An Nas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.118
[3] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[4] A. Mudjab Mahali,  Ibid, h.184
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an). (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), h.244
[6] Sidney Hook, Renungan tentang hak – hak asasi manusia terj. Badri yatim, dalam Sapardi (ed.) Hak azazi manusia dalam Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), h. 57
[7] Yusran Razak,hak – hak asasi manusia : perspektif al qur’an” dalam (ed.) M. Quraish Shihab “Refleksi : jurnal kajian agama dan filsafat” (Jakarta : UIN Syahid press, 2003, h.24
[8] Askiah Adam dkk. Menakar “Harga” Perempuan, cet. I(Bandung: ,Mizan, 1999), h.114.
[9] Ali Abdul Wahid Wafi, Prinsip hak asasi dalam Islam . terj. Abu ahmad al wakidy, (Solo : Pustaka Mantiq, 1991) h.103-105
[10] Maulana Abul a’la al maududy, hak hak asasi manusia dalam Islam, terj. Bambang Iriana (Jakarta : Bumi aksara, 2005), h.12-13
[11] Muhammad bin Thohir bin ‘Asyur, maqoshid al syari’ah al islamiyyah, CD ROM. al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi syuruh al hadis. Vol 1, h.11-14
[12] Maulana Abul a’la al maududy, Op.cit, h.22-23
[13] Prof. Dr. H. Abuddi Nata, M.A, Metodologi Study Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2009), h. 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar